Saksi kasus dugaan korupsi timah, Vina Eliani, mengungkapkan PT Timah Tbk mengalami kerugian saat adanya perjanjian kerja sama dengan lima smelter yang dimulai pada September 2018 dan berakhir pada Desember 2020.
Vina, yang merupakan Direktur Keuangan PT Timah tersebut, mengungkapkan kerugian PT Timah mulai terjadi pada 2019, yakni sebesar Rp611 miliar dan pada 2020 sebesar Rp340 miliar. Padahal pada tahun 2018 atau sebelum kerja sama dilakukan, PT Timah mencatatkan laba sebesar Rp132 miliar.
"Setelah perjanjian kerja sama diberhentikan, PT Timah mencatat laba pada tahun 2021 dan 2022 masing-masing Rp1,3 triliun dan Rp1 triliun," kata Vina dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Kerja sama PT Timah dengan lima smelter swasta dimaksud meliputi kesepakatan jatah 5 persen produksi bijih timah dari kuota ekspor smelter swasta dan sewa peralatan processing (pengolahan) untuk penglogaman timah.
Kelima smelter tersebut, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), serta PT Tinindo Internusa, masing-masing beserta perusahaan afiliasinya.
Kendati demikian, selama periode kerugian keuangan perusahaan tersebut, Vina tak menampik terdapat penurunan harga bijih timah, meski volume produksi dan volume persediaan bijih timah PT Timah tercatat meningkat.
"Di sisi lain kami juga memiliki beban bunga pinjaman yang cukup tinggi di dua tahun itu," ucap Vina menambahkan.
Dia menjelaskan dalam dua tahun tersebut, PT Timah memang memiliki pinjaman guna membiayai seluruh kegiatan operasional.
Vina bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.
Kasus itu antara lain menyeret Direktur Utama PT Timah periode 2016–2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016–2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP MB Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim sebagai terdakwa.
Riza bersama Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah, sedangkan MB Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 56 ke-1 KUHP.
Perbuatan para terdakwa dalam kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
Vina, yang merupakan Direktur Keuangan PT Timah tersebut, mengungkapkan kerugian PT Timah mulai terjadi pada 2019, yakni sebesar Rp611 miliar dan pada 2020 sebesar Rp340 miliar. Padahal pada tahun 2018 atau sebelum kerja sama dilakukan, PT Timah mencatatkan laba sebesar Rp132 miliar.
"Setelah perjanjian kerja sama diberhentikan, PT Timah mencatat laba pada tahun 2021 dan 2022 masing-masing Rp1,3 triliun dan Rp1 triliun," kata Vina dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Kerja sama PT Timah dengan lima smelter swasta dimaksud meliputi kesepakatan jatah 5 persen produksi bijih timah dari kuota ekspor smelter swasta dan sewa peralatan processing (pengolahan) untuk penglogaman timah.
Kelima smelter tersebut, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), serta PT Tinindo Internusa, masing-masing beserta perusahaan afiliasinya.
Kendati demikian, selama periode kerugian keuangan perusahaan tersebut, Vina tak menampik terdapat penurunan harga bijih timah, meski volume produksi dan volume persediaan bijih timah PT Timah tercatat meningkat.
"Di sisi lain kami juga memiliki beban bunga pinjaman yang cukup tinggi di dua tahun itu," ucap Vina menambahkan.
Dia menjelaskan dalam dua tahun tersebut, PT Timah memang memiliki pinjaman guna membiayai seluruh kegiatan operasional.
Vina bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.
Kasus itu antara lain menyeret Direktur Utama PT Timah periode 2016–2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016–2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP MB Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim sebagai terdakwa.
Riza bersama Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah, sedangkan MB Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 56 ke-1 KUHP.
Perbuatan para terdakwa dalam kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024