Pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) ibarat pedang bermata dua, bisa bermanfaat dan bisa pula digunakan pihak tertentu untuk merugikan pihak lain bahkan bisa masuk ranah pidana.
 
Apakah masih perlu ada peraturan perundang-undang yang mengatur lebih perinci agar implementasi artificial intelligence (AI) bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia?
 
Pertanyaan itu berkaitan dengan penerapan AI yang telah merambah berbagai sektor dan industri sehingga membawa dampak yang luas pada efisiensi, inovasi, dan transformasi bisnis.
 
Sebenarnya, sudah ada Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Surat edaran ini dibuat pada hari Kamis, 21 Desember 2023, sebelum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bertransformasi menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
 
Dalam beberapa kasus, sebagaimana termaktub dalam SE tersebut, implementasi kecerdasan artifisial (AI) telah mengubah cara manusia berinteraksi dengan teknologi, menghadirkan kemampuan seperti analisis data yang canggih, pemrosesan bahasa alami, dan pembelajaran mesin otomatis.
 
Surat edaran ini merupakan bentuk respons terhadap pesatnya pemanfaatan AI. Target dari SE ini adalah pelaku usaha, baik pemerintahan maupun swasta, berbasis AI seperti aktivitas pemrograman serta penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup publik dan privat.

Masih berupa imbauan
 
Namun, menurut pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha, surat edaran ini masih berupa imbauan kepada pelaku usaha karena dalam surat edaran ini tidak ada sanksi hukum terhadap mereka jika tidak mengindahkan SE ini dan tetap melakukan keputusan perusahaan terkait dengan pemanfaataan teknologi AI.
 
Surat edaran soal etika AI ini tidak bersifat mengikat secara hukum, tetapi hanya sebagai pedoman kepada pelaku usaha sehingga pemanfaatan AI harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya.
 
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
 
Pengabaian SE Kominfo ini tidak berdampak secara hukum, namun hanya berdampak pada reputasi serta kredibilitas dari pelaku usaha jika ternyata publik mengetahui pelaku usaha ternyata melakukan praktik pemanfaatan AI yang tidak baik serta tidak sesuai dengan SE tersebut.
 
Bentuk regulasi yang optimal untuk mendukung ekosistem AI di Indonesia, kata Pratama yang juga Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, harus mencerminkan keseimbangan antara mendorong inovasi dan perlindungan kepentingan publik yang memiliki beberapa elemen yang dapat menjadi bagian dari regulasi yang efektif.
 
Misalnya, adanya kerangka hukum yang jelas dan konsisten untuk mengatur pengembangan, pengujian, dan implementasi teknologi AI yang mencakup undang-undang, peraturan, dan pedoman yang terperinci.
 
Di samping itu, inklusi pedoman etika yang kuat untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi AI bersifat etis dan tidak merugikan masyarakat atau individu. Pedoman etika ini dapat mencakup prinsip-prinsip seperti keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan privasi.
 
Regulasi yang ketat terkait dengan perlindungan data pribadi dan keamanan informasi setidaknya meminimalkan risiko penyalahgunaan data dan pelanggaran keamanan.
 
Ilustrasi ini merupakan hasil artificial intelligence (AI). ANTARA/HO-CISSReC


Regulasi juga perlu memperhatikan kolaborasi aktif antara Pemerintah, perusahaan teknologi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk merancang dan memperbarui regulasi sesuai dengan perkembangan terkini dalam dunia AI.
 
Selain itu, juga pengembangan sertifikasi dan standar untuk menilai kualitas, keamanan, dan etika produk dan layanan AI. Sertifikasi ini dapat memberikan kepercayaan kepada pengguna bahwa teknologi AI yang mereka manfaatkan memenuhi standar tertentu.
 
Mekanisme pengawasan yang efektif, lanjut Pratama, juga perlu diperhatikan dalam regulasi. Hal ini untuk memastikan kepatuhan pada regulasi yang ada, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran, termasuk sanksi yang sesuai.
 
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK itu juga menekankan bahwa regulasi harus bersifat dinamis dan dapat beradaptasi dengan perkembangan cepat dalam teknologi AI.
 
Seiring dengan berjalannya waktu, evaluasi dan penyesuaian terus-menerus sangat perlu untuk menjaga relevansi dan efektivitas regulasi tersebut. Hal ini mengingat kecerdasan buatan memiliki peluang besar untuk terus berkembang dan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
 
Ada beberapa isu serta tantangan yang berkaitan dengan pemanfaatan AI seperti kesalahan atau misinformasi, privasi atau kerahasiaan, toxicity atau ancaman berbasis siber, perlindungan hak cipta, bias implementasi AI, dan pemahaman nilai kemanusiaan.
 
Isu serta tantangan ini, masih kata Pratama, seharusnya tidak perlu sampai ada regulasi baru karena sudah ada beberapa regulasi yang mengaturnya seperti UU ITE yang mengatur tentang misinformasi dan toxicity, UU PDP yang mengatur tentang privasi atau kerahasiaan, serta UU Hak Cipta yang mengatur tentang pelindungan hak cipta.

Tidak punya hak cipta
 
Terkait dengan hak cipta, beberapa ahli hukum, baik di Indonesia maupun di luar negeri menyatakan bahwa karya yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan tidak memiliki hak cipta.
 
Salah satunya adalah karena karya yang diciptakan oleh AI tidak penuhi konsep orisinalitas karena selain tidak dibuat oleh manusia, karya AI adalah kombinasi dari karya-karya terdahulu yang dimodifikasi oleh mesin. Dengan demikian, karya tersebut tidak mencerminkan ciri khas serta pribadi dari penciptanya.
 
Surat edaran etika AI yang diterbitkan oleh Kominfo seharusnya dapat dibagi menjadi empat area utama dalam siklus hidup pengembangan sistem AI, yaitu desain yang aman dengan memahami risiko, pemodelan ancaman, serta pertimbangan khusus dalam desain sistem dan model.
 
Pengembangan aman dengan mempertimbangkan keamanan rantai pasokan, dokumentasi, dan manajemen aset serta utang teknis.
 
Penyebaran aman dengan melindungi infrastruktur dan model dari kompromi, ancaman atau kehilangan, mengembangkan proses manajemen insiden, pelepasan yang bertanggung jawab, serta operasi dan pemeliharaan aman dengan melakukan berbagai tindakan setelah penyebaran, termasuk logging dan monitoring, manajemen pembaruan, dan berbagi informasi.
 
Panduan yang dirancang oleh Kominfo, lanjut Pratama, sepatutnya juga mengikuti pendekatan secure by default seperti yang dapat dilihat pada panduan dari NCSC (National Cyber Security Centre) serta Institut Standar dan Teknologi Nasional (NIST).
 
Selain itu, prinsip secure by design (aman berdasarkan desain) yang diterbitkan oleh Certified Information Systems Auditor (CISA), NCSC, dan agensi siber internasional.
 
Adapun prioritasnya meliputi kepemilikan hasil keamanan untuk pelanggan, transparansi radikal, dan akuntabilitas serta membangun struktur organisasi dan kepemimpinan agar secure by design menjadi prioritas utama bisnis.
 
Panduan dari Kominfo terkait dengan AI seharusnya tidak hanya untuk pelaku usaha saja, tetapi juga harus ada poin-poin panduan untuk masyarakat luas mengingat saat ini hampir semua lapisan masyarakat sudah mulai terbiasa menggunakan berbagai teknologi berbasis AI.
 
Dengan demikian, masyarakat luas juga akan dapat menggunakan teknologi AI dengan baik. Jika tidak, akan banyak hal negatif yang juga dapat dihasilkan dari teknologi AI seperti disinformasi serta keamanan data pribadi.
 
Secara umum, panduan kebijakan yang dirancang oleh Kominfo sebaiknya juga mencakup beberapa aspek seperti pembuatan dokumen sasaran pencapaian yang ditujukan untuk penyedia sistem AI yang akan membantu mereka mengembangkan sistem AI yang berfungsi sesuai dengan tujuan, tersedia saat dibutuhkan, dan menjaga data sensitif dari pihak yang tidak berwenang.
 
Panduan juga perlu mengatur tentang sasaran pengguna, terutama untuk penyedia sistem AI yang menggunakan model yang di-hosting oleh organisasi atau Application Programming Interface (API) eksternal.
 
Hal lain yang patut mendapat perhatian semua pihak adalah perlu ada aturan manfaat AI karena kecerdasan buatan ini berpotensi membawa manfaat besar bagi masyarakat. Namun, harus dikembangkan, dikerahkan, dan dioperasikan secara aman dan bertanggung jawab.
 
Sistem AI juga memiliki kerentanan keamanan yang unik. Hal ini juga harus dipertimbangkan bersama ancaman keamanan siber standar dan keamanan harus menjadi persyaratan inti sepanjang siklus hidup sistem.
 
Tidak kalah pentingnya adalah dukungan Pemerintah dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) melalui program pendidikan dan pelatihan khusus di bidang AI. Pasalnya, peningkatan pengetahuan dan keahlian akan membantu mengurangi kesenjangan keahlian di sektor AI.
 
Semua negara berusaha untuk mengawal perkembangan AI ini agar lebih banyak kebermanfaatan dan melindungi warganya dari dampak negatif AI ini.
 
Sampai sekarang, Amerika Serikat juga tidak memiliki peraturan federal apa pun terkait AI, namun memiliki berbagai undang-undang yang membatasi penggunaan AI terkait privasi, perlindungan data, dan diskriminasi. 
 
Ke depan, Amerika mengeluarkan rencana untuk meluncurkan Undang-Undang Hak AI yang dapat memberikan standar yang lebih komprehensif.
 
Uni Eropa sudah selangkah lebih maju dimana sudah mengesahkan UU AI no.1689 tahun 2024 yang merupakan undang-undang AI komprehensif pertama di dunia.
 
Sementara Indonesia bila mengacu peraturan perundang-undangan yang sudah ada, seperti UU ITE dan UU PDP, instrumen hukum ini sudah mencukupi. Kini, tinggal bagaimana penegak hukum menerapkan penegakan hukum secara tegas dan berkeadilan, tanpa pandang bulu.
 

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024