Jambi, 26/11 (Antara) - Izin alih fungsi lahan gambut di Provinsi Jambi harus dihentikan karena jika tidak dilakukan penataan dan pengelolaan yang tepat akan menyebabkan terjadinya bencana ekologis.

Hal ini terangkum dalam workshop "Peran tata ruang dalam pengelolaan lahan gambut" yang digelar di aula Bappeda Provinsi Jambi bersama KKI Warsi, Selasa.

Menurut Koordinator Ecosystem Alliance-Wetlands International Indonesia Programme, Iwan Tri Cahyo Wibisono,  saat ini Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan tercatat mempunyai kawasan gambut masing-masing seluas 716.838 hektare dan 1.420.042 hektare.

Ironisnya, sebagian kawasan gambut tersebut sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Ia menjelaskan, alih fungsi gambut menjadi perkebunan dan hutan tanaman industri telah menyebabkan terganggunya keseimbangan hidrologis di lahan gambut, karena perusahaan selalu membangun kanal (saluran drainase) untuk menurunkan muka air tanah sehingga gambut bisa ditanami.

Sayangnya justru saluran drainase/kanal inilah yang kemudian memicu terjadinya proses oksidasi yang melepas CO2 dan dekomposisi yang melepas CH4, terutama pada lapisan gambut yang berada di atas muka air tanah dan terpapar oleh oksigen.
 
"Sebagian kawasan gambut ada sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit dan HTI," ujarnya.

Iwan menjelaskan saat ini program Ecosystem Alliance memfasilitasi pemutahiran peta sebaran dan kedalaman gambut di tiga provinsi (Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan Tengah) dan memfasilitasi rehabilitasi gambut serta pemberdayaan masyarakat, guna pengelolaan gambut yang lebih baik di masa depan.

Ia mengingatkan, kondisi lahan gambut saat ini sudah sangat memprihatinkan di banyak tempat. Merujuk pada kajian yang dilakukan kelompok Hoijjer pada tahun 2012, lahan gambut yang telah dikonversi menjadi lahan sawit dan akasia pada lima tahun pertama setelah drainase akan berpotensi menurunkan muka gambut (subsiden) 142 Cm dan setelah lima tahun akan konstan lima Cm pertahun.

Sementara itu, Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat menilai, rendahnya perhatian terhadap kawasan gambut disebabkan kebijakan pembangunan yang masih berorientasi ekonomi semata dengan masih dikonversinya hutan dan gambut menjadi tanaman monokultur skala besar perkebunan besar sawit dan HTI, pemukiman dan infrastruktur.
 
"Kondisi ini menyebabkan rusak dan miskinnya ekosistem lahan gambut, menurunnya keanekaragaman hayati,  menurunnya fungsi sistim hidrorologi, berkurangnya sumber bahan makanan dan mata pencaharian," katanya.

Ia juga mengingatkan, ketidakseimbangan pengelolaan gambut juga telah menghilangkan hak-hak masyarakat adat/lokal terhadap sumber hidup serta meningkatnya konflik masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan pemerintah, begitupun sebaliknya.

"Diperlukan komitmen para pihak untuk menjamin kelestarian gambut di Jambi berupa penyelamatan kawasan gambut tersisa, dengan melakukan moratorium jangka panjang pada kawasan tersebut berupa stop perizinan baru di kawasan gambut," katanya.

Tak hanya itu, penting juga untuk dilakukan review terhadap izin-izin yang sudah terlanjur dikeluarkan, mana yang tidak sesuai peruntukan, pemerintah harus melakukan pemulihan kawasan gambut tersebut," katanya.(Ant)

Pewarta: Putra Agung

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013