Alam Kerinci dalam konstelasi  perjalanan sejarah dan  kebudayaan merupakan  sebuah suku yang dikenal telah memiliki kebudayaan dan peradaban yang sangat tinggi pada masanya. Dalam lapangan kesusastraan di bumi alam Kerinci ( wilayah Kota Sungai Penuh  dan Kabupaten Kerinci ) banyak ditemui dokumen atau naskah yang ditulis dalam tulisan / Aksara “ I N C U N G ”.

Aksara Incung merupakan  aksara  tulisan yang digunakan masyarakat suku Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab – Melayu  bersamaan dengan masuknya agama Islam di bumi alam Kerinci  dan sampai saat ini masih disimpan oleh masyarakat adat suku Kerinci sebagai benda pusaka yang dirawat secara turun temurun.

Catatan terakhir menyebutkan bahwa sampai tahun 1825   aksara Incung masih digunakan masyarakat  suku Kerinci. Pada awal abad ke  XX  aksara Incung secara perlahan  tidak lagi digunakan sebagai media komunikasi tertulis menyusul masuknya  pengaruh kebudayaan  Islam. Dan hingga saat ini tokoh dan budayawan  yang dapat menulis, memahami dan melestarikan aksara Incung hanya tinggal beberapa orang, dan yang memahami aksara Incung itu umumnya telah berusia lanjut.

Drs,H.Ilyas Latif, Mantan Kepala Bidang Musjarla Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jambi kepada penulis di Sanggaran Agung  mengemukakan bahwa  hingga  akhir tahun 1970 an  Bumi Alam Kerinci masih memiliki  tokoh budayawan sekaligus pakar adat alam Kerinci  yakni H.Abdul Kadir Djamil yang  sangat memahami dan mengerti tentang aksara Incung disamping beberapa orang tokoh adat lainnya yang sezaman dengan beliau.

Sebagian besar para pemerhati dan peneliti  budaya dari dalam dan luar negeri  khususnya yang mempelajari aksara Incung dari H.Abdul Kadir Djamil. H.Abdul Kadir Djamil disamping dikenal sebagai  sosok pemangku adat,  beliau sangat memahami  aksara Incung dan dapat mengerti bahasa Belanda, kondisi ini lah yang membuat para  ilmuawan dan peneliti  kebudayaan dari dalam dan luar negeri  menjadikan beliau sebagai sosok budayawan dan pemangku adat yang sangat disegani  tidak hanya oleh para pemangku adat di alam Kerinci akan tetapi juga dihargai oleh para ilmuawan.

Sebagai pakar yang mengerti dan memahami aksara Incung, beliau tidak segan segan  mentransferkan  pengetahuannya tentang Incung  kepada  masyarakat termasuk  dilingkungkungan Kanwil Depdikbud Propinsi Jamb. Sejumlah budayawan di alam Kerinci mempelajari aksara Incung dari beliau. Beliau juga merupakan salah satu tokoh adat yang mampu menerjemahkan  aksara Incung yang tertulis  di dalam Tambo Tambo Kerinci  khususnya di tanduk kerbau dan ruas ruas buluh.

Pada era tahun 1980 an terdapat beberapa orang  dikategorikan sebagai sosok budayawan/tokoh  adat alam Kerinci yang memahami aksara Incung secara benar dan murni tercatat nama  Depati H Amirudin Gusti, (alm)  Depati.H.Hasyimi,BA,(Alm) Depati H.A.Norewan(Alm)  Depati.H.Alimin, dan Depati Hasril Meizal, namun sayangnya ketiga orang tokoh yakni Depati.H.Amiruddin Gusti,Depati.H.Hasyimi,BA dan H.A.Norewan,BA telah tiada. Dan saat ini tercatat hanya dua orang budayawan yang  dapat memahami aksara Incung secara benar dan murni.

Depati.H.Amiruddin Gusti (wawancara oktober 2010 ) dan Depati H.Alimin (Wawancara  agustus 2013)  mengemukakan bahwa  seorang  ahli Antropologi C.W. Watson seorang  peneliti asing yang melakukan penelitian di Kerinci sejak  tahun 1970  menyebutkan bahwa Alam Kerinci adalah daerah yang penting di Indonesia. Suku Kerinci dikenal sebagai suku yang memiliki kecerdasan dan  peradaban yang tinggi. hal ini dapat dibuktikan dengan  ditemukannya  naskah  kuno di  Desa Tanjung  Tanah Kecamatan Danau Kerinci, Naskah Kuno Tanjung Tanah di  duga berasal dari abad ke  XIV dengan menggunakan media kulit kayu sebagai media tulis.

Pada tahun 1941 Voorhoeve melalui sekretarisnya menyalin dan mengetik naskah kuno Kerinci termasuk naskah Aksara Incung yang berjumlah  252   naskah  Kerinci  setebal 181  Halaman  yang  diberi judul  Tambo Kerinci  dan  Tambo  itu  sempat dinyatakan hilang dan ditemukan  kembali oleh seorang antropolog  Inggeris  bernama  Watson  pada  tahun 1975.

Salinan naskah  yang  ditemukan  kembali  itu diserahkan  kembali  oleh  Watson  kepada Voorhoeve di  Belanda,  dan sampai saat ini Tambo  Kerinci  masih disimpan di perpustakaan Koninklijk Institut voor de Tall-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden Belanda, dengan  nomor inventaris D Or.415.

Catatan hasil penelitian para ahli mengungkapkan, hampir semua naskah Kerinci  ditulis  pada  lima  jenis media yakni bambu, kulit kayu, daun lontar, tanduk dan kertas dengan menggunakan tiga jenis aksara yakni Aksara / surat incung, Jawi, dan  sejenis  aksara yang oleh  Voorhoeve disebut  “Jawa Kuno”.  Unieknya  di  Tanjung Tanah  ditemui Aksara yang ditulis pada media tidak lazim yakni di tulis  di daluang.

Beberapa aksara Incung di alam Kerinci di tulis diatas bambu, terdapat sekitar 34 naskah aksara Incung yang ditulis diatas bambu,kebanyakkan naskah tersebut mengandung nilai  kesusastraan, naskah tersebut isinya antara lain kata kata percintaan, ratapan tangis seorang jejaka terhadap sang kekasih pujaan hati,-karena  patah  hati  cinta ditolak sang kekasih.

Pada masa lalu ketika masyarakat masih menganut  kepercayaan animisme  mereka  menganggap semua makhluk  hidup termasuk flora dianggap bernyawa, bambu diketahui selama ratusan tahun sanggup menciptakan alunan nada yang lembut, santai dan syahdu bila dihembus angin.

Alam Kerinci sejak lama telah mengenal Aksara dan memiliki bahasa tersendiri yang berbeda  dengan bahasa bahasa daerah lainnya yang ada di Pulau Sumatera, Bahasa Kerinci memiliki banyak dialeg, antara satu dusun dengan dusun yang lain memiliki dialeg tersendiri dan terkadang sulit dimengerti oleh sesama pengguna bahasa Kerinci.

Aksara Incung oleh para ilmuawan  dikenal  dengan sebutan  Aksara  Ka-Ga-Nga,  aksara ini sebagian besar di tulis pada  media tanduk, ruas bambu, tulang,  tapak  gajah,  setelah  kebudayaan  baru masuk sebagian lain Aksara ini di tulis diatas kertas Di Kota Sungai Penuh aksara  sebagian di tulis pada tanduk kerbau, sedangkan di Hiang Kecamatan Sitinjau laut Kabupaten Kerinci aksara incung ada yang di tulis di atas tanduk kambing hutan.     Hasil Penelitian  Dr.  P. Voorhove, di alam Kerinci terdapat 271 Naskah Kuno dan 158 bertuliskan  rencong yang ditulis pada 82 potong tanduk kerbau.59 ruas buluh,13 lembar diatas kertas 1 potong tulang,2 potong kulit kayu dan 1 potong tapak gajah.
 
Hasil penelitian  menyebutkan bahwa didalam naskah Kuno termasuk  aksara  Incung  yang  ditulis pada media tanduk kerbau,buluh, kertas,tulang  dan tapak Gajah  terungkap  beberapa cerita sejarah, syair kerinduan, ungkapan hati/ perasaan. Dll-  yang secara sastra dan kebudayaan bernilai  sangat tinggi dan  berisikan pesan pesan moral.

Dewasa ini  Aksara  Incung  telah mulai memasuki pintu ambang kepunahan, oleh sebab itu  kita berharap  agar kaum  intelektual terutama para budayawan  ilmuawan dan cendekiawan  yang lahir di bumi alam Kincai untuk mengambil langkah yang kongkrit untuk menggali kembali, menyelamatkan dan melestarikan  kebudayaan  suku Kerinci .

Upaya untuk mentradisikan kembali budaya yang terdistorsi itu bukan berarti ntuk menumbuhkan semangat  kedaerahan dalam  makna yang sempit, tetapi justru  untuk  menjadikannya  sebagai bagian dari identitas bangsa dalam kerangka NKRI ,kita berharap Aksara Kerinci termasuk bahasa Kerinci dan Antalogi penyair Alam Kerinci  akan membumi dan  menjadi warisan peradaban dan kebudayaan suku Kerinci.

(Budhi Vrihaspathi Jauhari)

Pewarta:

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015