Jambi (ANTARA) - Keberadaan hutan adat mampu menekan kerusakan hutan di Provinsi Jambi karena kawasan hutan yang dikelola masyarakat terbukti tetap lestari.
Ketua Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur, Amris Khahar melalui keterangan resminya yang diterima, Rabu, mengatakan melalui aturan adat terbukti mampu menjaga kelestarian hutan di Provinsi Jambi khususnya yang mengalami kebakaran hutan setiap tahunnya.
"Kami warga Lekuk 50 Tumbi Lempur, Kelurahan Lembur Tengah, Kabupaten Kerinci, Jambi yang memiliki hutan adat yang disebut dengan 'Imbo Hulu Ayek' merupakan daerah yang tidak boleh diganggu sehingga sampai saat ini masih terus lestari," kata dia.
Hutan adat Lekuk 50 Tumbi Lembur seluas 858 hektar dibiarkan menjadi wilayah resapan air dan menjaga keseimbangan lingkungan di kawasan tersebut, dimana hutan adat tidak bisa diganggu dan kemudian menjadi sumber air bersih warga.
Aturan hutan adat memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian hutan adat karena aturan ini mengatur interaksi masyarakat dengan lingkungan hutan, memadukan nilai-nilai kearifan lokal dengan praktik yang berkelanjutan.
Pengelolaan hutan berbasis hutan adat terbukti menekan kerusakan hutan di Provinsi Jambi, terutama pada saat terjadi kebakaran hutan dan lahan dan hutan yang kerap terjadi berulang di Jambi sepanjang tahun 2024 melanda beberapa kabupaten seperti Muaro Jambi, Batanghari, dan Tebo.
Pengelolaan hutan yang memperhatikan keseimbangan alam dan diperburuk dengan faktor-faktor seperti kemarau panjang fenomena El Niño dan krisis iklim membuat kawasan hutan rentan terhadap kebakaran.
“Di Jambi terjadi kebakaran hutan yang berulang, di 2015 dan 2019 terjadi kebakaran hutan dan lahan namun, tidak ada data yang menunjukkan kebakaran tersebut terjadi di hutan adat," kata Akademisi Kehutanan Universitas Jambi Fajrias.
Hutan adat menawarkan pendekatan berbeda dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan karena dikelola langsung oleh masyarakat adat dengan aturan lokal yang ketat. Masyarakat adat biasanya menerapkan nilai-nilai yang berakar pada kelestarian lingkungan dan menjaga hubungan yang harmonis dengan alam.
"Dengan sistem pengelolaan yang mengutamakan pemantauan dan pencegahan kebakaran, hutan adat terbukti efektif sebagai alternatif untuk mencegah kerusakan hutan, terutama dibandingkan dengan konsesi industri yang fokus pada keuntungan ekonomi," katanya.
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa pelestarian hutan melalui pengelolaan adat bisa menjadi solusi dalam menghadapi ancaman kerusakan hutan.
"Kondisi ini semestinya membuat pemerintah yakin dalam memberikan pengakuan hutan adat pada masyarakat adat," katanya lebih lanjut.
Tantangan Pengakuan Hukum atas Hutan Adat di Jambi Meskipun data menunjukkan hutan adat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan. Namun pengusulan untuk mendapatkan pengakuan hukum adat cenderung lebih rumit dan mandek dibandingkan persetujuan perhutanan sosial skema lainnya seperti hutan desa.
Proses pengakuan hutan adat melibatkan berbagai institusi pemerintah, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah daerah, dan lembaga adat. Setiap instansi memiliki prosedur administrasi yang kompleks dan sering kali saling tumpang tindih, menyebabkan proses menjadi berlarut-larut.
Di Provinsi Jambi saat ini ada sebanyak 15 masyarakat hukum adat di empat Kabupaten di Jambi menunggu pengakuan hutan adat. Progress untuk mendapat pengakuan hutan adat ini terkendala oleh beberapa syarat administrasi, seperti belum ada peraturan daerah mengenai tata cara pengakuan masyarakat hukum adat, penyelesaian batas wilayah yang belum final, hingga menunggu tahapan verifikasi dari kementerian.
Sementara itu Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Ahli Madya Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Panahatan Sihombing dalam diskusi itu mengatakan verifikasi hutan adat cenderung lambat karena mengalami persoalan teknis, seperti dana operasional di Kementerian hanya mampu biaya verifikasi MHA 18 hutan adat dalam satu tahun.
Menghadapi persoalan, dia menilai pentingnya ada kolaborasi multi pihak dalam mempercepat proses pengakuan hutan adat, termasuk dalam pembiayaan proses pengakuan hutan adat dimana pemerintah daerah dapat turut berpartisipasi dalam pembiayaan proses pengusulan hutan adat.