Surabaya (ANTARA Jambi) - "Pak Dahlan Iskan itu korupsi beneran tah ?" ucap seorang warga Surabaya, membuka dialog dengan dua rekannya di sebuah warung nasi bebek.

"Saya kok nggak percaya ya, lha wong dia itu orang yang nggak butuh digaji pemerintah, karena uangnya lebih dari cukup," ujar warga lain.

Tidak mau kalah, seorang warga lain pun menimpali, "Setahu saya, Pak Dahlan Iskan itu justru lebih sering pakai fasilitas pribadi".

Itulah dialog masyarakat awam menanggapi langkah Kejati DKI Jakarta dan Bareskrim Polri terhadap Dahlan Iskan dalam tindak pidana korupsi. Satunya terkait posisi Dahlan Iskan sebagai Dirut PT PLN dan satunya terkait posisi Dahlan sebagai Menteri BUMN.

Kejati DKI Jakarta menjerat Dahlan dalam korupsi pembangunan gardu induk PLN Jawa, Bali, Nusa Tenggara senilai Rp1,063 miliar, lalu Bareskrim Polri menjerat dalam kasus dugaan korupsi pencetakan sawah di Kalbar yang ditangani sejumlah BUMN senilai Rp317 miliar.

Rencananya, Dahlan Iskan diperiksa sebagai tersangka dugaan korupsi itu pada Kamis (12/6) oleh penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Pihak Kejaksaan juga sudah mencegah Dahlan Iskan untuk berpergian ke luar negeri setelah ditetapkan sebagai tersangka terkait posisi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Pada Rabu (6/5), kejaksaan telah memeriksa mantan Dirut PT PLN Nur Pamuji yang menggantikan Dahlan Iskan saat ditarik menjadi Menteri BUMN pada akhir 2011.

Kejati DKI Jakarta juga telah menetapkan status tersangka terhadap 15 orang yang terlibat kasus tersebut, termasuk sembilan karyawan PT PLN sudah menjalani penahanan.

Mega proyek milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu digarap sejak Desember 2011 dengan target selesai pada Juni 2013.

Sementara itu, Kabareskrim Polri Komjen Budi Waseso juga akan memanggil Dahlan Iskan untuk diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan pelaksanaan jasa konsultan dan konstruksi proyek pencetakan sawah yang dilaksanakan Kementerian BUMN Tahun 2012-2014 di Ketapang, Kalimantan Barat.

"Beliau pasti (akan) dipanggil untuk dimintai keterangan karena beliau salah satu penanggung jawab proyek saat itu," kata Waseso di Mabes Polri, Jakarta (29/5).

Pihaknya pun masih menelusuri adanya penyimpangan dana negara dalam proyek bernilai Rp317 miliar tersebut. "Sementara ini kami menduga ada penyimpangan, karena proses pekerjaan dalam proyek cetak sawah tidak sesuai kontrak dan ada pengadaan lahan fiktif," katanya.

Dalam proyek itu, PT Sang Hyang Seri (SHS) yang merupakan BUMN pangan menjadi penanggung jawab proyek. Dalam mengerjakan proyek tersebut, PT SHS dibantu beberapa perusahaan lain yakni PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya, PT Yodya Karya, dan PT Indra Karya.

Sementara beberapa BUMN yang diketahui turut mendukung pelaksanaan proyek tersebut dari segi pendanaan di antaranya PT BNI, PT Pertamina, PT Indonesia Port Corporation (IPC), PT BRI, dan PT PGN.

Hukum Administrasi

Menanggapi rencana pemeriksaan sebagai tersangka itu, Dahlan Iskan menyatakan dirinya menerima penetapan sebagai tersangka ini dengan penuh tanggung jawab.

"Setelah ini saya akan mempelajari apa yang sebenarnya terjadi dengan proyek-proyek gardu induk tersebut karena sudah lebih dari tiga tahun saya tidak mengikuti perkembangannya. Saya akan minta teman-teman direksi PLN untuk mengizinkan saya melihat dokumen-dokumen lama karena saya tidak punya dokumen itu," katanya.

"Saya ambil tanggung jawab ini, karena saya sebagai KPA memang harus tanggung jawab atas semua proyek itu, termasuk apa pun yang dilakukan anak buah. Semua KPA harus menandatangani surat pernyataan seperti itu dan kini saya harus ambil tanggung jawab itu," kata Dahlan.

"Saya juga banyak ditanya soal usulan-usulan saya untuk menerobos peraturan-peraturan yang berlaku. Saya jawab bahwa itu karena saya ingin semua proyek bisa berjalan. Saya kemukakan pada pemeriksa bahwa saya tidak tahan menghadapi keluhan rakyat atas kondisi listrik saat itu. Bahkan beberapa kali saya mengemukakan bahwa saya siap masuk penjara karena itu," katanya.

"Kini, ternyata saya benar-benar jadi tersangka. Saya harus menerimanya. Hanya saya harus minta maaf kepada istri saya yang dulu melarang keras saya menerima penugasan menjadi Dirut PLN karena hidup kami sudah lebih dari cukup," kata Dahlan.

Respons Dahlan Iskan itu justru mengundang kekaguman sejumlah rekannya. "Kasihan ya, tapi apa yang dikemukakan itu memang betul adanya, saya tambah salut kalau beliau masuk penjara cuma gara-gara memotong prosedur birokrasi," ujar rekannya yang berasal dari Palu, Stenley Oscar.

Sebagai warga Kota Palu, ia mengaku kondisi saat itu memang darurat sebelum Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN, karena di ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu tiga jam listrik menyala, tapi akhirnya delapan jam padam, begitu terus bergiliran.

"Sampai-sampai Manager Area PLN di sini tidak berani tanda tangan kontrak sewa mesin, tapi Abah (Dahlan Iskan) bilang agar tanda tangan, nanti saya (Dahlan Iskan) yang pasang badan kalau masuk penjara," tuturnya kepada Antara melalui surat elektronik.

Hal itu juga dibenarkan seorang motivator asal Surabaya, Johan Yan yang juga rekan Dahlan. "Saya masih ingat semangat Dahlan saat Konvensi Demokrat, saya ada di sana, dengan berapi api, beliau bersuara: Penjarakan dan Miskinkan koruptor, beliau sangat antikorupsi," katanya.

Oleh karena itu, kasus yang menimpa Dahlan Iskan kali ini benar-benar berbeda dan aneh. "Menerobos birokrasi demi rakyat miskin listrik bisa diseret sebagai tersangka korupsi, ini 'judul' yang aneh sekali, " kilahnya.

Tapi, biarkan saja, dia masuk penjara, jika itu dianggap salah di mata hukum. "Inilah satu-satunya kesalahan Dahlan, dia terlalu gila mencintai masyarakat miskin listrik, saya masih ingat dia sering berkata 'saya siap masuk penjara demi rakyat, saya tidak tahan melihat rakyat miskin listrik'," katanya.

Secara akademis, kata ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Narotama (Unnar) Surabaya Dr Rusdianto Sesung, hukum itu memiliki dualisme.

"Itu karena ada aturan hukum yang bertentangan dengan aturan hukum yang lain (conflict of norm), sehingga bila orang menggunakan salah satu dasar hukum, maka dia bisa dianggap bersalah menurut hukum itu, tapi sesungguhnya dia tidak bersalah dari sudut aturan hukum yang lain," katanya.

Oleh karena itu, alumni Universitas Mataram Lombok (S1) dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya (S2/S3) itu menilai 40 persen kasus korupsi itu sesungguhnya bukanlah kasus pidana (korupsi), melainkan kasus dalam ranah hukum administrasi.

"Jadi, kasus korupsi jangan selalu dibawa ke ranah hukum pidana (Foult de Personele), tapi bisa merupakan kesalahan administrasi (Foult de Service), karena 40 persen disebabkan perbedaan persepsi terhadap ketentuan dalam UU, PP, dan peraturan perundang-undangan lainnya, bukan mencuri atau menikmati uang Negara, melainkan kesalahan prosedur," katanya. (Ant)

Pewarta: Edy M Ya'kub

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015