Jakarta (ANTARA Jambi) - Adalah Ucok Munandar Siahaan, yang pada tahun 1998 merupakan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas yang keberadaannya sebagai seorang aktivis mungkin merisaukan beberapa pihak, sehingga dia pun menjadi salah satu korban "Tragedi Mei 1998."

Ucok dinyatakan telah dihilangkan secara paksa pada kurun waktu 1997 hingga 1998.

Tercatat pula nama Teten Karyana yang kala itu berusia 32 tahun. Eten ikut menjadi korban  dalam Tragedi Mei 1998.

Pemuda itu dinyatakan meninggal dunia akibat terjebak dalam kebakaran yang di salah satu pusat perbelanjaan di Klender, Jakarta Timur.

Kala itu massa mengamuk, menjarah habis seisi pusat perbelanjaan, hingga api menyulut gedung tersebut. Saksi mata menyebutkan bahwa Eten terjebak dalam kebakaran tersebut ketika sedang menyelamatkan seorang anak kecil.

"Saya tahu dari anak saya yang paling kecil, katanya Aa (Eten) pergi ke sana," kata Ruyati beberapa waktu lalu.

Tidak hanya Ucok dan Eten. Masih ada puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan korban dari "Tragedi Mei 98" yang masih mencari keadilan dan kebenaran di luar sana.

Mereka menuntut pemerintah untuk bertindak dan memberikan keadilan bagi mereka yang tersakiti dan teraniaya pada peristiwa tersebut.

Masih terlihat beberapa gedung sisa-sisa penjarahan dan pembakaran akibat amuk massa dalam Tragedi Mei 98 yang dibiarkan begitu saja. Tembok menghitam, dan terbengkalai. Namun rasa sakit yang dialami para korban tidak boleh diabaikan dan dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Oleh sebab itu orang tua Eten dan Ucok kembali menggugat, meminta keadilan untuk anak-anak mereka.

Payan Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan yang dihilangkan secara paksa pada kurun 1997 - 1998, dan Yati Ruyati, ibunda  Eten Karyana, korban tragedi Mei 1998, kemudian mengajukan permohonan uji materi Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) di Mahkamah Konstitusi.

"Kasus-kasus yang menimpa keluarga korban (Tragedi Mei 98) telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)," ujar kuasa hukum para pemohon, Chrisbiantoro, dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.
   
Bolak-balik

Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, para pemohon melalui kuasa hukumnya menjelaskan duduk perkara permohonan mereka.

Kendati sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, tidak berarti kasus-kasus dalam Tragedi Mei 98 ini segera diselesaikan.

Chrisbiantoro menyebutkan bahwa hingga saat ini, tujuh belas tahun kemudian, penyeselesaian kasus ini belum juga menemukan titik terang. Semua berkas yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung bertahun-tahun lalu belum juga ditindaklanjuti.

"Padahal berkas perkaranya sudah disampaikan kepada Kejaksaan Agung selaku penyidik dalam perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan HAM, itu sudah bertahun-tahun lalu," ujar Chrisbiantoro.

Entah belum sempat ditindak lanjuti atau memang segaja dibiarkan terbengkalai seperti gedung-gedung sisa "Tragedi Mei 98" namun pihak Komnas HAM terus menerus menyampaikan berkas-berkas kasus tersebut hingga tujuh kali.

Dalam keterangannya di depan Hakim Konstitusi, Chrisbiantoro menyebutkan telah terjadi pelanggaran atas ketentuan Undang Undang Dasar 1945 akibat adanya bolak balik berkas antara Kejaksaan Agung yang menyangkut tujuh berkas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu kasus Trisakti Semanggi, Tragedi Mei 1998, Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Wasior-Wamena, Trisakti Semanggi, Talang Sari Lampung 1989, Peristiwa 1965-1966, dan kasus penembakan misterius.

Kasus ini kemudian dianggap telah ditelantarkan sehingga para pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar, khususnya terkait dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang kepastian hukum untuk setiap Warga Negara Indonesia.
        
Permohonan

Akibat berkas yang dikembalikan secara bolak-balik tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama, maka hak-hak korban menjadi tidak dapat dipenuhi untuk mendapatkan kepastian hukum atas nasib keluarga, anak-anak, atau keluarga inti mereka yang hilang, yang meninggal, sejak pelanggaran HAM yang berat, sebagaimana direkomendasikan oleh Komnas HAM tersebut terjadi.

"Untuk itu, dalam petitum  kami,  kami  memohonkan  yang  pertama  agar  Majelis  Hakim Mahkamah Konsitusi yang terhormat mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Chrisbiantoro.

Dalam permohonan tersebut, para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang dinyatakan konstitusional bersyarat.

Kemudian berikutnya, Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditafsirkan sebagai ketentuan yang memiliki pengertian sebagaimana bunyi pasalnya.

Adapun bunyi dalam pasal tersebut adalah "dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut  kepada  penyidik, disertai dengan petunjuk yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26  Tahun  2000  untuk  dilengkapi  dan  dalam  waktu  30 hari sejak iterimanya tanggal hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut."

"Maka kami selaku Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," pungkas Chrisbiantoro. (Ant)

Pewarta: Maria Rosari

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015