Surabaya (ANTARA) - Survei dari Nielsen Media pada tahun 2020 mencatat penyimak media online sudah mengalahkan media cetak, karena online sudah disimak 6 juta orang, sedang media cetak hanya 4,5 juta orang, bahkan media cetak sudah di posisi kelima karena acuan bacaan sudah "digeser" televisi, papan iklan jalanan, internet, dan radio.
Kondisi itu diperparah dengan serbuan media sosial (medsos) yang melakukan gempuran informasi, kendati informasi yang di-share itu sangat tidak akurat atau meragukan. Celakanya, ada media cetak yang akhirnya latah dengan mencontek "gaya" medsos.
Namun, menariknya, dahsyatnya "perang" antara media massa versus media sosial itu ternyata tidak serta merta mampu "melenyapkan" media cetak, meski ada yang terpaksa eksis seadanya sebagai media cetak dan ada juga yang eksis dengan "berubah" menjadi online/digital.
Agaknya, pilihan "berubah" dengan menjadi media cetak yang eksis seadanya dan menjadi media online agaknya sudah merupakan pilihan yang "luar biasa" karena mereka tetap bisa bertahan, meski satunya bertahan secara fisik dan satu lagi bertahan secara "jiwa".
Pilihan terakhir, bertahan secara "jiwa", mungkin saja menghindari "kesulitan" biaya untuk tampil fisik/cetak, namun masuknya media arus utama ke dunia digital justru menguntungkan publik, karena warga digital yang biasa menerima informasi tidak akurat akhirnya menjadi punya pilihan informasi (yang akurat).
Yang penting, mereka terbukti mampu bertahan dalam "peperangan" itu, meski media cetak yang eksis seadanya dan media cetak yang menjadi online. Hal yang sama juga dialami media massa besar dunia, seperti New York Times, Washington Post, The Guardian, dan lainnya.
"Media cetak itu struggle (berjuang) ya, berjuang di tengah era digital," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo RI Usman Kansong, setelah pembukaan pameran foto dalam rangka HPN 2023 di Monumen Pers Nasional Solo (1/2/2023).
Mereka, dengan kreasi/inovasinya bisa bertahan. Selain itu, hal yang juga sangat penting adalah mereka bertahan, karena mereka tetap mengedepankan jurnalis berkualitas. "Mereka pakai good journalism, tidak ikut-ikutan media sosial," kata Usman Kansong.
Apalagi, dalam kurun hampir sama, perusahaan-perusahaan digital global saat ini juga sedang mengalami "problem". Google me-lay off (memberhentikan) ribuan karyawannya, Amazon juga me-lay off beberapa ribu karyawannya, Facebook atau Metta juga seperti itu.
Nah, di sini ada peluang dan bukti bahwa jurnalisme berkualitas sebetulnya menjadi "titik balik" media massa yang takkan pernah tergeser oleh media sosial, apalagi dunia digital sudah semakin dijejali informasi hoaks (tidak akurat) yang justru mendorong publik untuk "mencari" kualitas.
Mengkritik bukan mencaci
Jurnalisme berkualitas agaknya tidak jauh dari tema Hari Pers Nasional (HPN) 2023, yakni "Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat". Artinya, kebebasan pers itu merupakan kebutuhan untuk demokrasi.
Namun, kebebasan pers yang dibutuhkan publik bila pers memanfaatkan kebebasan itu untuk menyajikan jurnalisme/informasi berkualitas yang menjadi kebutuhan publik, sehingga kebebasan pers mewujudkan demokrasi yang bermartabat karena kualitas informasinya.
Pada kegiatan pameran foto di Monumen Pers Nasional Solo (1/2/2023) itu, Dirjen IKP Kemenkominfo Usman Kansong juga memastikan bahwa pemerintah menjamin kebebasan pers Indonesia untuk kalangan pewarta/jurnalis dalam menjalankan profesinya.
Jaminan kebebasan pers itu diberikan negara, karena negara memang memerlukan pers yang bebas, tetapi kebebasannya dikelola dengan baik dalam bentuk kualitas. Jangan memunculkan ekses, misalnya kualitas berita jadi makin menurun.
Terkait kebebasan itu, pers saat ini memang mengkhawatirkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), terutama satu pasal terkait penerbitan.
Menurut Usman Kansong, pasal itu terkait (penerbitan), bukan pers, sebab pers sendiri memiliki Undang-undang Pers, sehingga persoalan terkait pers itu diperkarakan dengan UU Pers, bukan KUHP. Jadi, pers tidak perlu khawatir den KUHP.
Namun, UU Pers itu mensyaratkan verifikasi media, karena dengan verifikasi media akan memberi perlindungan wartawan dan media. Kalau media tidak terverifikasi, maka tidak akan diproses dengan UU Pers, tapi dengan UU ITE dan KUHP.
Verifikasi media itu bukan hanya kepentingan media, wartawan, atau pemerintah, namun menjadi kebutuhan publik juga, karena media yang terverifikasi itu menjadi jaminan bagi pers yang memegang komitmen dengan jurnalisme berkualitas yang dibutuhkan publik.
Apalagi, saat ini merupakan era digital yang justru membutuhkan informasi berkualitas, sebab era digital sering disebut juga dengan era disrupsi itu merombak struktur komunikasi antarmanusia, dari komunikasi nyata menjadi maya/digital yang berbasis viral.
Boleh dibilang, perubahan komunikasi di era digital/disrupsi itu bisa menjadi "mesin pembunuh" karakter, karena dunia maya dijejali dengan informasi "serba bebas", yakni hoaks dan pertikaian antara buzzer versus buzzer yang menghalalkan segala cara (ujaran kebencian dan saling mengolok-olok/menyalahkan).
Ya, era digital itu menyodorkan pilihan yang gawat, yakni berubah atau edan/gila. Dibilang gila, karena siapa pun akan kelabakan untuk masuk ke "lapangan/ring" maya/digital/disrupsi yang ditandai karakter "hewani" ala zaman purbakala. (Buku "Kesalehan Digital", CV Penerbit "Campustaka" Jakarta, 2023).
Ibaratnya, teknologi semakin maju, namun manusia semakin purbakala, karena "menghalalkan" hoaks, buzzer, bully, atau ujaran kebencian (menyalahkan/mencela), seperti bukan manusia yang maju saja. Namun, siapa pun tidak punya alternatif, kecuali memasuki lapangan/ring disrupsi/digital itu tapi dengan informasi/jurnalisme berkualitas.