Jakarta (ANTARA Jambi) - Pada tanggal 29 Oktober 2015, setelah
melalui proses persidangan pertama bulan Juli 2015, Arbitrase Tribunal
UNCLOS akhirnya memutuskan bahwa pihaknya memiliki jurisdiksi untuk
memeriksa dan memutuskan gugatan Filipina terhadap Tiongkok tentang
konflik mereka di Laut Tiongkok Selatan.
Dalam amar putusannya, Tribunal The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan berwenang memeriksa 15 butir gugatan Filipina dengan catatan bahwa kewenangan terhadap 7 dari 15 gugatan tersebut sangat tergantung pada hasil eksaminasi pada pokok perkara. Selanjutnya Tribunal akan mengeksaminasi pokok perkara yang dijadwalkan akhir November 2015.
Tribunal yang terbentuk berdasarkan mekanisme UNCLOS ini perlu memastikan terlebih dahulu tentang adanya kewenangan ini karena Konvensi memberikan batasan-batasan tentang objek sengketa yang dapat ditangani oleh Tribunal.
Apalagi, pada saat meratifikasi Konvensi, Tiongkok telah memanfaatkan reservasi yang disediakan oleh pasal 298 Konvensi yakni tidak menginginkan sengketa-sengketa yang terkait dengan batas maritim dan aktivitas militer diselesaikan lewat mekanisme Konvensi.
Selain itu, sekalipun menolak hadir dalam persidangan, Tiongkok telah mempersoalkan kewenangan Tribunal ini lewat jalur media. Menurut Tiongkok, sengketa ini adalah soal kedaulatan atas pulau dan soal batas maritim sehingga diluar kewenangan Tribunal.
Setelah mengeksaminasi gugatan Filipina dan menelaah keberatan Tiongkok, Tribunal memastikan bahwa gugatan Filipina tidak terkait dengan sengketa kepemilikan pulau atau pun batas maritim.
Dalam putusannya Tribunal berpendapat bahwa gugatan Filipina adalah sengketa tentang penafsiran dan penerapan pasal-pasal UNCLOS oleh kedua pihak yang berkonflik.
Dalam memutuskan sengketa ini Tribunal tidak perlu menyentuh soal kepemilikan atas pulau di LTS. Selanjutnya Tribunal hanya diminta untuk mengeksaminasi tiga kluster persoalan yang tidak ada kaitannya dengan kedaulatan, yakni pertama soal sampai berapa jauh Negara pantai berhak atas zona maritime.
Dalam hal ini, apakah Tiongkok berhak atas zona maritime diluar UNCLOS (yakni yang didasarkan pada klaim historis). Kedua, soal apakah pulau atau karang di LTS berhak atas zona maritime 12 mil atau 200 mil.
Ketiga, soal apakah aktivitias Tiongkok di LTS dewasa ini seperti reklamasi karang melanggar UNCLOS khususnya yang terkait pada perlindungan lingkungan laut. Ketiga kluster gugatan ini menurut Tribunal tidak ada kaitannya dengan soal kedaulatan atas pulau atau soal batas maritim.
Ketiganya murni soal sengketa penafsiran dan penerapan pasal-pasal UNCLOS yang menjadi kewenangan Tribunal berdasarkan Anex VII Konvensi.
Sesuai dengan perkiraan publik, Tingkok serta merta menyatakan keputusan Tribunal ini batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat serta tidak mempengaruhi kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok di LTS.
Menurut Tiongkok, kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok di LTS adalah berdasarkan sejarah dan dijamin oleh hukum internasional dan UNCLOS.
Secara tegas Tiongkok menolak pemaksaan dalam penyelesaian persoalan kedaulatan dan hak maritim ini ini melalui pihak ketiga, serta menuduh gugatan Filipina ini sebagai bentuk provokasi politik yang motifnya bukan untuk penyelesaian konflik melainkan menggerogoti kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok untuk kepentingan sendiri. Reaksi lebih bernuansa retorik politik ketimbang argumentasi hukum.
Keputusan Tribunal dalam soal jurisdiksi ini telah mengklarifikasi status dokumen Declaration of Conducts (DoC) yang ditandatangani ASEAN-China tahun 2002.
Kata Tribunal, DoC bukan dokumen hukum dan tidak bersifat mengikat sehingga, karena karakter ini, tidak bisa melarang Negara pihak untuk mencari penyelesaian melalui mekanisme UNCLOS.
Dalil Tiongkok, yang selama ini mengharuskan negara yang berkonflik melakukan negosiasi langsung dan mengharamkan penyelesaian melalui pihak ketiga, menjadi gugur. Amar putusan ini mungkin bisa dijadikan referensi bagi ASEAN dalam menyikapi soal ini dalam konteks ASEAN-China.
Sekalipun Tribunal ini tidak dimaksudkan memutuskan soal akar konflik yakni soal kepemilikan pulau, namun keputusannya kelak dalam pokok perkara dapat mengklarifikasi beberapa kerancuan yang selama ini menyelimuti konflik LTS.
Pertama, Tribunal akan memutuskan apakah pulau/karang di LTS berhak atas zona maritim, yakni 12 mil laut teritorial, 200 mil ZEE/landas kontinen, atau tidak berhak sama sekali. Ini soal penafsiran terhadap pasal 121 UNCLOS yang menyebutkan bahwa karang yang tidak dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri tidak mempunyai ZEE dan landas kontinen.
Filipina bahkan mengklaim bahwa pada umumnya pulau/karang di LTS adalah elevasi surut yaitu daratan yang muncul ke permukaan pada saat air laut surut.
Menurut jurisprudensi, elevasi surut tidak berhak sama sekali atas zona maritim dan statusnya adalah sama dengan (atau tertelan dalam) laut itu sendiri. Artinya, elevasi surut ini bukan objek untuk dimiliki sebagaimana layaknya pulau. Pemiliki elevasi surut ini adalah pemilik laut diatasnya.
Jika Tribunal memutuskan bahwa fitur-fitur maritim di LTS adalah elevasi surut, maka peta konflik LTS akan berubah karena klaim para negara claimant atas apa yang selama ini dipercara sebagai pulau menjadi gugur karena yang mereka klaim ternyata bukan objek kepemilikan.
Yang tersisa adalah soal delimitasi batas maritim yang harus diukur dari daratan negara masing-masing. Jika ini keputusannya, maka AS sangat diuntungkan karena kebebasan berlayar di perairan ini, yang selama ini diklaim oleh Kapal Perang AS, semakin memeproleh dukungan hukum.
Kedua, Tribunal kelihatannya ingin menyentuh soal keabsahan 9 dotted lines yang selama ini menjadi misteri dan kontroversi. Persoalan utama adalah Tiongkok tidak pernah menjelaskan makna garis ini sehingga bakal sulit bagi Tribunal untuk menentukan absah tidaknya.
Namun, dalam putusannya Tribunal kelihatanya "sengaja" membuka ruang untuk menyentuh keabsahan garis ini sekalipun tanpa kejelasan makna garis ini.
Tribunal menyatakan berwenang untuk menetapkan apakah hukum internasional memberi hak bagi Negara pantai mengklaim zona maritim diluar UNCLOS. Niat Tribunal untuk menyentuh soal sensitif ini kelihatannya dipicu oleh implikasi yang lahir akibat membisunya Tiongkok soal garis ini.
Menurut Tribunal, pihaknya dapat menafsirkan sendiri posisi rancu semacam ini dan bahkan berkewajiban agar posisi rancu ini tidak membuat frustrasi para pihak untuk mencari soulusi. Tribunal menilai "kerancuan" makna garis ini telah membuat fustrasi para pihak sehingga kelihatannya perlu diklarifikasi sendiri oleh Tribunal.
Jika Tribunal akhirnya menyatakan garis ini tidak sah, maka lingkup klaim Tiongkok atas LTS menjadi lebih jelas dan terukur serta dapat diartikulasi berdasarkan UNCLOS. Ini akan menjadi bagian yang paling kontroversi dari keputusan Tribunal karena untuk maksud tersebut Tribunal harus menafsirkan sendiri makna garis ini dan belum tentu sama dengan makna yang dimaksud oleh Tiongkok sendiri.
Namun, Tribunal dapat saja mencari jalur lain tanpa harus mengkonstruksi makna garis putus ini, yaitu menyatakan bahwa tidak ada hak historis diluar UNCLOS.
Jika ini keputusannya, maka semua negara claimant akan berbondong-bondong mengklaim bahwa garis putus ini tidak sah. Keputusan ini tidak hanya akan menguntungkan para negara claimant lainnya melainkan juga meredakan potensi ketegangan antara Indonesia dan Tiongkok, sehubungan dengan nongolnya satu garis ini di perairan Natuna.
Namun, jika Tribunal menyatakan tidak berwenang menguji keabsahan garis ini karena "ketidakjelasannya", maka soal garis ini akan kembali menjadi misteri, suatu situasi yang agak bertentangan dengan maksud dan tujuan Tribunal sebagai lembaga penyelesai sengketa.
Apa pun keputusan Tribunal nantinya dalam pokok perkara akan menjadi perhatian internasional dan berpotensi untuk mengubah peta konflik LTS. Sekalipun Tingkok akan menolak putusan ini namun tidak pula dapat disangkal bahwa keputusan ini akan menjadi soft power dalam konstelasi politik internasional.
Rusia pernah menolak keputusan Tribunal dalam perkara "Artic Sunrise" yang digugat oleh Belanda tahun 2013 untuk melepaskan kapal Greenpeace "Artic Sunrise" berbendera Belanda yang ditangkap di ZEE Rusia. Namun, pada akhirnya Rusia melepaskan kapal ini setelah bertubi-tubi mendapat kecaman internasional.
Sekalipun bukan pihak dalam perkara ini, namun sebagai Negara pihak pada UNCLOS, Indonesia berkewajiban untuk menghormati keputusan Tribunal dan menjadikannya sebagai referensi hukum dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terkait dengan konflik LTS.
Penghormatan terhadap UNCLOS dan keputusan-keputusan yang dilahirkan oleh perangkatnya adalah kewajiban internasional Indonesia dan tidak boleh dimaknai sebagai pemihakan atas salah satu pihak yang bersengketa dalam perkara ini.
*) DR Damos Dumoli adalah pengamat dan pengajar hukum internasional. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015
Dalam amar putusannya, Tribunal The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan berwenang memeriksa 15 butir gugatan Filipina dengan catatan bahwa kewenangan terhadap 7 dari 15 gugatan tersebut sangat tergantung pada hasil eksaminasi pada pokok perkara. Selanjutnya Tribunal akan mengeksaminasi pokok perkara yang dijadwalkan akhir November 2015.
Tribunal yang terbentuk berdasarkan mekanisme UNCLOS ini perlu memastikan terlebih dahulu tentang adanya kewenangan ini karena Konvensi memberikan batasan-batasan tentang objek sengketa yang dapat ditangani oleh Tribunal.
Apalagi, pada saat meratifikasi Konvensi, Tiongkok telah memanfaatkan reservasi yang disediakan oleh pasal 298 Konvensi yakni tidak menginginkan sengketa-sengketa yang terkait dengan batas maritim dan aktivitas militer diselesaikan lewat mekanisme Konvensi.
Selain itu, sekalipun menolak hadir dalam persidangan, Tiongkok telah mempersoalkan kewenangan Tribunal ini lewat jalur media. Menurut Tiongkok, sengketa ini adalah soal kedaulatan atas pulau dan soal batas maritim sehingga diluar kewenangan Tribunal.
Setelah mengeksaminasi gugatan Filipina dan menelaah keberatan Tiongkok, Tribunal memastikan bahwa gugatan Filipina tidak terkait dengan sengketa kepemilikan pulau atau pun batas maritim.
Dalam putusannya Tribunal berpendapat bahwa gugatan Filipina adalah sengketa tentang penafsiran dan penerapan pasal-pasal UNCLOS oleh kedua pihak yang berkonflik.
Dalam memutuskan sengketa ini Tribunal tidak perlu menyentuh soal kepemilikan atas pulau di LTS. Selanjutnya Tribunal hanya diminta untuk mengeksaminasi tiga kluster persoalan yang tidak ada kaitannya dengan kedaulatan, yakni pertama soal sampai berapa jauh Negara pantai berhak atas zona maritime.
Dalam hal ini, apakah Tiongkok berhak atas zona maritime diluar UNCLOS (yakni yang didasarkan pada klaim historis). Kedua, soal apakah pulau atau karang di LTS berhak atas zona maritime 12 mil atau 200 mil.
Ketiga, soal apakah aktivitias Tiongkok di LTS dewasa ini seperti reklamasi karang melanggar UNCLOS khususnya yang terkait pada perlindungan lingkungan laut. Ketiga kluster gugatan ini menurut Tribunal tidak ada kaitannya dengan soal kedaulatan atas pulau atau soal batas maritim.
Ketiganya murni soal sengketa penafsiran dan penerapan pasal-pasal UNCLOS yang menjadi kewenangan Tribunal berdasarkan Anex VII Konvensi.
Sesuai dengan perkiraan publik, Tingkok serta merta menyatakan keputusan Tribunal ini batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat serta tidak mempengaruhi kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok di LTS.
Menurut Tiongkok, kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok di LTS adalah berdasarkan sejarah dan dijamin oleh hukum internasional dan UNCLOS.
Secara tegas Tiongkok menolak pemaksaan dalam penyelesaian persoalan kedaulatan dan hak maritim ini ini melalui pihak ketiga, serta menuduh gugatan Filipina ini sebagai bentuk provokasi politik yang motifnya bukan untuk penyelesaian konflik melainkan menggerogoti kedaulatan dan hak berdaulat Tiongkok untuk kepentingan sendiri. Reaksi lebih bernuansa retorik politik ketimbang argumentasi hukum.
Keputusan Tribunal dalam soal jurisdiksi ini telah mengklarifikasi status dokumen Declaration of Conducts (DoC) yang ditandatangani ASEAN-China tahun 2002.
Kata Tribunal, DoC bukan dokumen hukum dan tidak bersifat mengikat sehingga, karena karakter ini, tidak bisa melarang Negara pihak untuk mencari penyelesaian melalui mekanisme UNCLOS.
Dalil Tiongkok, yang selama ini mengharuskan negara yang berkonflik melakukan negosiasi langsung dan mengharamkan penyelesaian melalui pihak ketiga, menjadi gugur. Amar putusan ini mungkin bisa dijadikan referensi bagi ASEAN dalam menyikapi soal ini dalam konteks ASEAN-China.
Sekalipun Tribunal ini tidak dimaksudkan memutuskan soal akar konflik yakni soal kepemilikan pulau, namun keputusannya kelak dalam pokok perkara dapat mengklarifikasi beberapa kerancuan yang selama ini menyelimuti konflik LTS.
Pertama, Tribunal akan memutuskan apakah pulau/karang di LTS berhak atas zona maritim, yakni 12 mil laut teritorial, 200 mil ZEE/landas kontinen, atau tidak berhak sama sekali. Ini soal penafsiran terhadap pasal 121 UNCLOS yang menyebutkan bahwa karang yang tidak dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri tidak mempunyai ZEE dan landas kontinen.
Filipina bahkan mengklaim bahwa pada umumnya pulau/karang di LTS adalah elevasi surut yaitu daratan yang muncul ke permukaan pada saat air laut surut.
Menurut jurisprudensi, elevasi surut tidak berhak sama sekali atas zona maritim dan statusnya adalah sama dengan (atau tertelan dalam) laut itu sendiri. Artinya, elevasi surut ini bukan objek untuk dimiliki sebagaimana layaknya pulau. Pemiliki elevasi surut ini adalah pemilik laut diatasnya.
Jika Tribunal memutuskan bahwa fitur-fitur maritim di LTS adalah elevasi surut, maka peta konflik LTS akan berubah karena klaim para negara claimant atas apa yang selama ini dipercara sebagai pulau menjadi gugur karena yang mereka klaim ternyata bukan objek kepemilikan.
Yang tersisa adalah soal delimitasi batas maritim yang harus diukur dari daratan negara masing-masing. Jika ini keputusannya, maka AS sangat diuntungkan karena kebebasan berlayar di perairan ini, yang selama ini diklaim oleh Kapal Perang AS, semakin memeproleh dukungan hukum.
Kedua, Tribunal kelihatannya ingin menyentuh soal keabsahan 9 dotted lines yang selama ini menjadi misteri dan kontroversi. Persoalan utama adalah Tiongkok tidak pernah menjelaskan makna garis ini sehingga bakal sulit bagi Tribunal untuk menentukan absah tidaknya.
Namun, dalam putusannya Tribunal kelihatanya "sengaja" membuka ruang untuk menyentuh keabsahan garis ini sekalipun tanpa kejelasan makna garis ini.
Tribunal menyatakan berwenang untuk menetapkan apakah hukum internasional memberi hak bagi Negara pantai mengklaim zona maritim diluar UNCLOS. Niat Tribunal untuk menyentuh soal sensitif ini kelihatannya dipicu oleh implikasi yang lahir akibat membisunya Tiongkok soal garis ini.
Menurut Tribunal, pihaknya dapat menafsirkan sendiri posisi rancu semacam ini dan bahkan berkewajiban agar posisi rancu ini tidak membuat frustrasi para pihak untuk mencari soulusi. Tribunal menilai "kerancuan" makna garis ini telah membuat fustrasi para pihak sehingga kelihatannya perlu diklarifikasi sendiri oleh Tribunal.
Jika Tribunal akhirnya menyatakan garis ini tidak sah, maka lingkup klaim Tiongkok atas LTS menjadi lebih jelas dan terukur serta dapat diartikulasi berdasarkan UNCLOS. Ini akan menjadi bagian yang paling kontroversi dari keputusan Tribunal karena untuk maksud tersebut Tribunal harus menafsirkan sendiri makna garis ini dan belum tentu sama dengan makna yang dimaksud oleh Tiongkok sendiri.
Namun, Tribunal dapat saja mencari jalur lain tanpa harus mengkonstruksi makna garis putus ini, yaitu menyatakan bahwa tidak ada hak historis diluar UNCLOS.
Jika ini keputusannya, maka semua negara claimant akan berbondong-bondong mengklaim bahwa garis putus ini tidak sah. Keputusan ini tidak hanya akan menguntungkan para negara claimant lainnya melainkan juga meredakan potensi ketegangan antara Indonesia dan Tiongkok, sehubungan dengan nongolnya satu garis ini di perairan Natuna.
Namun, jika Tribunal menyatakan tidak berwenang menguji keabsahan garis ini karena "ketidakjelasannya", maka soal garis ini akan kembali menjadi misteri, suatu situasi yang agak bertentangan dengan maksud dan tujuan Tribunal sebagai lembaga penyelesai sengketa.
Apa pun keputusan Tribunal nantinya dalam pokok perkara akan menjadi perhatian internasional dan berpotensi untuk mengubah peta konflik LTS. Sekalipun Tingkok akan menolak putusan ini namun tidak pula dapat disangkal bahwa keputusan ini akan menjadi soft power dalam konstelasi politik internasional.
Rusia pernah menolak keputusan Tribunal dalam perkara "Artic Sunrise" yang digugat oleh Belanda tahun 2013 untuk melepaskan kapal Greenpeace "Artic Sunrise" berbendera Belanda yang ditangkap di ZEE Rusia. Namun, pada akhirnya Rusia melepaskan kapal ini setelah bertubi-tubi mendapat kecaman internasional.
Sekalipun bukan pihak dalam perkara ini, namun sebagai Negara pihak pada UNCLOS, Indonesia berkewajiban untuk menghormati keputusan Tribunal dan menjadikannya sebagai referensi hukum dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terkait dengan konflik LTS.
Penghormatan terhadap UNCLOS dan keputusan-keputusan yang dilahirkan oleh perangkatnya adalah kewajiban internasional Indonesia dan tidak boleh dimaknai sebagai pemihakan atas salah satu pihak yang bersengketa dalam perkara ini.
*) DR Damos Dumoli adalah pengamat dan pengajar hukum internasional. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015