Jakarta, Antarajambi.com - Pakar perencana keuangan Agustina Fitria Aryani mengatakan sebetulnya ada begitu banyak cara untuk menyiasati biaya pendidikan anak terlebih untuk orang tua yang memiliki lebih dari satu anak dengan jenjang sekolah yang masih panjang.
"Bagi orang tua, pendidikan anak adalah prioritas. Namun, bagaimana halnya jika memiliki anak dua anak atau lebih dengan usia yang berdekatan dan masih memerlukan jenjang pendidikan yang panjang. Ini perlu dipersiapkan dan disiasati dengan sangat baik," kata Agustina Fitria Aryani di Jakarta, Selasa.
Agustina yang juga Financial Planner Head dari OneShildt Financial Planning itu mengatakan, kedua orang tua memang perlu berdiskusi dan sepakat untuk menentukan arah pendidikan setiap anak, misalnya, jalur sekolah formal atau "homeschooling", jenis kurikulum yang dipilih, negeri atau swasta, swasta umum atau berdasarkan agama, hingga dalam negeri atau luar negeri.
Setelah melakukan riset terhadap beberapa sekolah yang sesuai dengan arah pendidikan, kata dia, maka selanjutnya orang tua perlu berhitung dengan kemampuan untuk membayar biayanya.
"Jika jalur sekolah formal yang dipilih, maka terdapat komponen dana pendidikan yang utama adalah uang pangkal atau uang gedung, SPP (bulanan/triwulan/semester) termasuk ekstrakurikuler dan les di luar sekolah, dan uang tahunan termasuk kegiatan, daftar ulang, buku, seragam," paparnya.
Ia mencatat uang pangkal sekolah di Indonesia rata-rata mengalami kenaikan 2 kali lipat inflasi umum, atau sekitar 10-15 persen pertahun, sedangkan SPP rata-rata naik sama dengan inflasi umum.
"Katakanlah saat ini usia anak adalah 8 tahun (kelas 2 SD), 6 tahun (TK B), dan 3 tahun (Kelompok Bermain). Orang tua perlu membuat perencanaan dana pendidikan sampai ke jenjang universitas (S1). Artinya, ada kebutuhan uang pangkal, SPP, dan uang tahunan yang harus disiapkan untuk 3 orang anak sekaligus. Maka orang tua harus pandai mengelolanya agar tidak membebani arus kas keluarga," tuturnya.
Dalam pengelolaan arus kas keluarga disarankan agar pengeluaran untuk biaya hidup maksimal 60 persen, investasi 30 persen, dan hiburan 10 persen.
Biaya hidup terdiri dari cicilan utang, premi asuransi, rumah tangga, transportasi, pengeluaran untuk anak, dan sosial.
"Jadi, komponen SPP anak dan uang tahunan masuk dalam kategori biaya hidup," ucapnya.
Pengeluaran investasi meliputi biaya untuk persiapan pensiun, pendidikan/pengembangan diri untuk orang tua meliputi "training", seminar, dan buku, serta investasi untuk menyiapkan uang pangkal sekolah anak.
Sedangkan pengeluaran untuk hiburan sebesar 10 persen kata dia, memang ditujukan untuk bersenang-senang sebagai salah satu bentuk menjaga keseimbangan hidup, misalnya untuk liburan, hobi, dan lain-lain.
"Bagaimana jika pembayaran SPP 3 anak tadi menyebabkan biaya hidup keluarga tinggi atau menghabiskan lebih dari 60 persen penghasilan? Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan," ujarnya.
Ia menyarankan hal pertama agar ada pengurangan biaya hidup yang kurang prioritas, misalnya, cicilan utang konsumtif, premi asuransi yang tidak tepat sasaran, memilih tempat belanja bulanan dengan harga yang murah, dan membiasakan makan di rumah.
Saran selanjutnya yakni memilih satu jenis ekstrakurikuler/les nonakademis yang memang benar-benar sesuai dengan bakat dan minat anak dan membiasakan anak membawa bekal makanan sehat dari rumah untuk mencukupi kebutuhannya selama di sekolah dan dalam perjalanan.
"Untuk anak yang akan memasuki jenjang pendidikan berikutnya misalnya dari KB atau TK ke SD, perlu lebih cermat lagi dalam memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan keuangan keluarga," imbuhnya.
Bahkan kata dia, jika orang tua sudah merasa sekolah tertentu sangat cocok untuk semua anak maka harus rela mengurangi porsi pengeluaran hiburan untuk membayar SPP.
"Alternatif terakhir adalah asah terus bakat, kemampuan,dan kompetensi sehingga bisa dimanfaatkan untuk memberikan penghasilan tambahan maka bisa memenuhi biaya hidup, termasuk biaya pendidikan anak-anak," tukasnya.
Sementara terkait penggunaan utang atau kartu kredit untuk membayar biaya sekolah, Agustina mengatakan pada dasarnya utang untuk membiayai pendidikan termasuk dalam utang konsumtif karena sifatnya yang tidak menambah aset atau harta.
"Oleh karena itu biasanya bank atau lembaga keuangan akan menetapkan suku bunga yang tinggi. Lebih baik jika orang tua menyiapkan dana pendidikan anak-anak jauh hari sesuai dengan kemampuan daripada menambah beban keuangan keluarga dengan utang," kata Agustina.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017
"Bagi orang tua, pendidikan anak adalah prioritas. Namun, bagaimana halnya jika memiliki anak dua anak atau lebih dengan usia yang berdekatan dan masih memerlukan jenjang pendidikan yang panjang. Ini perlu dipersiapkan dan disiasati dengan sangat baik," kata Agustina Fitria Aryani di Jakarta, Selasa.
Agustina yang juga Financial Planner Head dari OneShildt Financial Planning itu mengatakan, kedua orang tua memang perlu berdiskusi dan sepakat untuk menentukan arah pendidikan setiap anak, misalnya, jalur sekolah formal atau "homeschooling", jenis kurikulum yang dipilih, negeri atau swasta, swasta umum atau berdasarkan agama, hingga dalam negeri atau luar negeri.
Setelah melakukan riset terhadap beberapa sekolah yang sesuai dengan arah pendidikan, kata dia, maka selanjutnya orang tua perlu berhitung dengan kemampuan untuk membayar biayanya.
"Jika jalur sekolah formal yang dipilih, maka terdapat komponen dana pendidikan yang utama adalah uang pangkal atau uang gedung, SPP (bulanan/triwulan/semester) termasuk ekstrakurikuler dan les di luar sekolah, dan uang tahunan termasuk kegiatan, daftar ulang, buku, seragam," paparnya.
Ia mencatat uang pangkal sekolah di Indonesia rata-rata mengalami kenaikan 2 kali lipat inflasi umum, atau sekitar 10-15 persen pertahun, sedangkan SPP rata-rata naik sama dengan inflasi umum.
"Katakanlah saat ini usia anak adalah 8 tahun (kelas 2 SD), 6 tahun (TK B), dan 3 tahun (Kelompok Bermain). Orang tua perlu membuat perencanaan dana pendidikan sampai ke jenjang universitas (S1). Artinya, ada kebutuhan uang pangkal, SPP, dan uang tahunan yang harus disiapkan untuk 3 orang anak sekaligus. Maka orang tua harus pandai mengelolanya agar tidak membebani arus kas keluarga," tuturnya.
Dalam pengelolaan arus kas keluarga disarankan agar pengeluaran untuk biaya hidup maksimal 60 persen, investasi 30 persen, dan hiburan 10 persen.
Biaya hidup terdiri dari cicilan utang, premi asuransi, rumah tangga, transportasi, pengeluaran untuk anak, dan sosial.
"Jadi, komponen SPP anak dan uang tahunan masuk dalam kategori biaya hidup," ucapnya.
Pengeluaran investasi meliputi biaya untuk persiapan pensiun, pendidikan/pengembangan diri untuk orang tua meliputi "training", seminar, dan buku, serta investasi untuk menyiapkan uang pangkal sekolah anak.
Sedangkan pengeluaran untuk hiburan sebesar 10 persen kata dia, memang ditujukan untuk bersenang-senang sebagai salah satu bentuk menjaga keseimbangan hidup, misalnya untuk liburan, hobi, dan lain-lain.
"Bagaimana jika pembayaran SPP 3 anak tadi menyebabkan biaya hidup keluarga tinggi atau menghabiskan lebih dari 60 persen penghasilan? Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan," ujarnya.
Ia menyarankan hal pertama agar ada pengurangan biaya hidup yang kurang prioritas, misalnya, cicilan utang konsumtif, premi asuransi yang tidak tepat sasaran, memilih tempat belanja bulanan dengan harga yang murah, dan membiasakan makan di rumah.
Saran selanjutnya yakni memilih satu jenis ekstrakurikuler/les nonakademis yang memang benar-benar sesuai dengan bakat dan minat anak dan membiasakan anak membawa bekal makanan sehat dari rumah untuk mencukupi kebutuhannya selama di sekolah dan dalam perjalanan.
"Untuk anak yang akan memasuki jenjang pendidikan berikutnya misalnya dari KB atau TK ke SD, perlu lebih cermat lagi dalam memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan keuangan keluarga," imbuhnya.
Bahkan kata dia, jika orang tua sudah merasa sekolah tertentu sangat cocok untuk semua anak maka harus rela mengurangi porsi pengeluaran hiburan untuk membayar SPP.
"Alternatif terakhir adalah asah terus bakat, kemampuan,dan kompetensi sehingga bisa dimanfaatkan untuk memberikan penghasilan tambahan maka bisa memenuhi biaya hidup, termasuk biaya pendidikan anak-anak," tukasnya.
Sementara terkait penggunaan utang atau kartu kredit untuk membayar biaya sekolah, Agustina mengatakan pada dasarnya utang untuk membiayai pendidikan termasuk dalam utang konsumtif karena sifatnya yang tidak menambah aset atau harta.
"Oleh karena itu biasanya bank atau lembaga keuangan akan menetapkan suku bunga yang tinggi. Lebih baik jika orang tua menyiapkan dana pendidikan anak-anak jauh hari sesuai dengan kemampuan daripada menambah beban keuangan keluarga dengan utang," kata Agustina.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017