Bandung, Antarajambi.com- Memang sulit untuk mengubah kebiasaan budi daya sapi perah yang ilmunya sudah diterapkan secara turun-temurun.

Banyak peternak yang mewarisi usaha sapi perah dari orang tuanya sehingga apa yang dilakukan sang orang tua dianggap merupakan praktik terbaik. Padahal semua faktor produksi sudah berubah, termasuk daya dukung lingkungan, seperti makin sulitnya didapat hijauan pakan di sekitar lokasi peternakan.

Makin banyak inovasi peternakan yang perlu diadopsi sehingga produksi dan kualitas susu bisa meningkat. Makin banyak pula variasi produk olahan susu yang diminati konsumen sehingga ada nilai tambah dibanding dengan hanya menjual susu segar.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan di subsektor peternakan.

Guru Besar Universitas Gajah Mada Prof Dr Tridjoko Wisnu Murti DEA mengaku perlu peningkatan kapasitas peternak sapi perah karena selama ini banyak yang melakukan budi daya secara tradisional.

Pemerintah, kata dia, harus serius meningkatkan SDM peternak, melalui pelatihan sehingga mereka bisa menerima inovasi yang ujungnya akan meningkatkan pendapatan.

Banyak peternak masih belum mampu mengelola pakan yang baik, menjaga kebersihan kandang, dan belum banyak berusaha memasarkan sendiri hasil produksinya.

Akibat manajemen kandang yang buruk dan penanganan proses pemerahan salah, sapi banyak terkena mastitis akibatnya produksi susu sapi menurun dan harga susu ikut jatuh.

Hal lain yang perlu terus didorong adalah kemampuan peternak mengolah susu segar dan berusaha mencari pasarnya.

Ia mencontohkan, sebagian besar peternak di sekitar Yogyakarta mampu mengolah susu segar dan mencari pasar sendiri sehingga harga susu di tingkat peternak mencapai Rp7.000 per liter. Harga itu di atas harga jual ke industri pengolahan susu yang berkisar antara Rp4.200 sampai Rp6.000 per liter.

Menurut dia, banyaknya peternak di Yogyakarta yang sudah memasarkan sendiri sehingga industri pengolahan susu justru kekurangan bahan baku.

Pelatihan juga menjadi salah satu faktor yang bisa mendorong peternak berubah dengan menerapkan prinsip usaha yang lebih baik.

Salah satu contohnya adalah para peternak muda yang dikirim Fonterra Indonesia, industri pengolahan susu, untuk pelatihan di dua tempat, yaitu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden; Balai Pelatihan Kesehatan Hewan (BPKH) Cinagara, Bogor, serta di peternakan milik Fonterra Global di Selandia Baru.

Sejak 2013, Fonterra telah memberi pelatihan ke 48 peserta, terdiri atas 39 peternak dan sembilan petugas lapangan, dengan harapan mereka akan berbagi keahlian mengenai peternakan sapi perah kepada industri susu lokal.

Program tersebut telah membuahkan hasil yang positif dimana mereka mampu meningkatkan produksi dan kualitas susu, melaksanakan efisiensi on-farm dan menjaga kesehatan ternak.

Dari hasil survei, 75 persen peternak penerima beasiswa tahun 2016 telah mengalami peningkatan pendapatan dan 100 persen peserta mengubah tata cara pengelolaan pakan.

Salah satu peserta, Dedih, asal Garut, mengakui selama pelatihan di Baturraden pada Agustus 2017 mendapat pengetahuan baru, khususnya manajemen kandang dan pengelolaan pakan.

"Selama ini memberikan pakan tanpa melihat kebutuhan sapi, padahal sapi mempunyai kebutuhan berbeda, antara dara, yang bunting, dan laktasi," kata Dedih yang punya 100 ekor lebih sapi perah.

Demikian juga dialami peternak yang mendapat pelatihan di Belanda dengan dukungan Frisian Flag. Mereka langsung mau berubah mengikuti praktik usaha yang benar.

Salah satu di antaranya bahkan merombak sistem kandang individual yang selama ini diterapkan menjadi sistem kandang komunal seperti yang dilihatnya di Belanda.

    
              Pengelolaan Pakan
Usaha sapi perah yang terpusat di Pulau Jawa menghadapi kendala penyediaan hijauan pakan karena keterbatasan lahan sehingga sudah saatnya peternak mengubah kebiasaan untuk melakukan stok hijauan minimal untuk seminggu ke depan dengan teknik silase ditambah dekomposter.

Apa yang dilakukan dua peternak, yaitu Adang Shalahudin dari Pangalengan, Kabupaten Bandung, dan Dede Rahmat, dari Parongpong, Kabupatan Bandung Barat, patut dicontoh.

Kedua peternak mempunyai filosofi yang sama, yaitu jangan sampai waktu peternak habis untuk mencari rumput setiap hari sehingga tidak memikirkan inovasi lain untuk kemajuan usahanya.

Adang yang juga Sektetaris Koperasi Susu Bandung Selatan melakukan stok hijauan minimal seminggu. Bahan hijaun yang digunakan yaitu tanaman jagung tanpa bonggol minimal dan jerami yang difermentasi dengan bakteri komposter.

Pakan konsentrat juga diramu sendiri dengan bahan yang murah, mudah didapat dan bermutu. Sarjana peternakan IPB angkatan 20 itu memang mahir meramu pakan dari konsentrat produk koperasi dicampur ampas tahu, serbuk biji kopi, cangkang kopi, dan roti afkir.

Adang mengaku resep konsentratnya hanya menghabiskan biaya di bawah Rp2.000 per kilogram atau lebih rendah dibanding harga konsentrat KPBS seharga Rp2.400 per kilogram.

Design kandang juga diubah lebih baik dan menggunakan mesin pemerah portabel yang mampu menghemat biaya tenaga kerja dan susu terhindar dari kontaminasi bakteri di kandang.

Perubahan itu membuat produksi susu dan kualitas semakin baik. Pengelolaan yang baik membuat kasus mastitis jarang terjadi, katanya.

Setiap bulan dari 36 ekor sapi perah yang laktasi meraih pendapatan kotor Rp50 juta dikurangi biaya pakan sekitar Rp14 juta per bulan.

    
              Kandang Komunal
Jika Adang masih menggunakan kandang individual, maka Dede Rahmat selain menerapkan stok hijauan, ia juga terpikat dengan model kandang komunal setelah ia mendapat kesempatan pelatihan di Belanda tahun 2015.

Menyadari apa yang dipraktikkan selama ini banyak yang salah sehingga bertekad mengubah semuanya mulai dari nol.

Semua sapi yang berjumlah 300 ekor dijual dan mulailah membangun satu unit kandang komunal dan membeli 50 ekor sapi yang benar-benar unggul.

Model itu memberikan kesempatan sapi bergerak bebas dan memilih kandang yang disediakan. Tempat tidur sapi dibuat terpisah dengan alas serbuk gergaji ditambah kapur.

Sistem baru itu sangat menghemat tenaga kerja karena dari pemeliharaan 50 ekor sapi cukup merekrut tiga karyawan, apalagi menggunakan mesin perah portabel.

Model kandang itu membuat sapi lebih sehat dan jarang terjadi mastitis karena ambing sapi saat tidur tidak menyentuh kandang yang terkontaminasi kotoran.

Dengan hijauan berupa jagung beserta tongkolnya yang diproses menjadi silase serta pakan konsentrat pabrikan, produksi susunya rata-rata 17 liter per ekor. Artinya ada juga yang puncak produksinya sampai 35 liter per hari.

Yang menarik Dede melakukan kontrak penyediaan tanaman jagung beserta tongkol jagung dengan petani di sekitar Bandung. Harga kontrak tanaman jagung itu Rp850 per kilogram sampai di lokasi peternakan. Dede yang juga petani bunga itu mengaku menyiapkan stok tanaman jagung sampai dua bulan ke depan.

Manajemen usaha yang baik membuat hasil produksi susu peternakan Dede, selalu mempunyai kadar lemak minimal empat persen dan protein minimal delapan persen. Wajar Frisian Flag selalu membeli susu dari Dede di harga Rp6.000 per liter.

Karena itu dia mengajak semua peternak meniru model usaha seperti miliknya. Gal itu dilakukan dengan pronsop, kalau dia bisa maju, maka semua peternak juga harus bisa maju.

Pewarta: Budi Santoso

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017