New York (Antaranews Jambi) - Harga minyak melemah lagi pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), menuju penurunan mingguan kedua berturut-turut, tertekan oleh penguatan dolar AS, tanda-tanda penumpukan persediaan di pusat penyimpanan AS di Cushing, Oklahoma, peningkatan produksi minyak mentah AS, serta kegelisahan investor tentang potensi perang perdagangan.

Patokan global, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Mei, turun 0,73 dolar AS atau 1,1 persen, menjadi ditutup pada 63,61 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.

Patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April, turun 1,03 dolar AS atau 1,7 persen, menjadi menetap di 60,32 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.  

Brent berada di jalur untuk penurunan sekitar 0,8 persen minggu ini, setelah merosot 4,4 persen pekan lalu. WTI berada di jalur untuk penurunan 1,5 persen setelah penurunan 3,6 persen pekan lalu.

"Tampak bagi saya bahwa minyak mentah telah mencapai puncaknya dan mengarah lebih rendah," kata Walter Zimmerman, kepala analis teknikal di United-ICAP. "Saya melihatnya kembali menguji titik terendah awal Februari, 57 dolar AS untuk WTI dan 62 dolar AS untuk Brent. Dan saya sama sekali tidak yakin bahwa level tersebut akan bertahan," katanya.

Dolar menguat sekitar 0,6 persen terhadap sekeranjang mata uang. Greenback yang lebih kuat membuat lebih mahal untuk membeli komoditas berdenominasi dolar seperti minyak.

Juga menekan harga minyak mentah, data dari perusahaan intelijen pasar Genscape yang menunjukkan persediaan di pusat penyimpanan Cushing, Oklahoma, naik lebih dari 290.000 barel dalam pekan yang berakhir 6 Maret, kata para pedagang yang melihat data tersebut.

Kenaikan ini, jika dikonfirmasi oleh data resmi, akan menjadi kenaikan pertama dalam 12 minggu di Cushing, dimana stok lebih dari setengahnya sejak November.

Data dari Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Rabu (7/3) menunjukkan bahwa produksi minyak mentah AS mencapai rekor hampir 10,4 juta barel per hari (bph) pada pekan yang berakhir 2 Maret.

Data produksi EIA "akhirnya membuat kecewa para spekulan bullish," kata Rob Haworth, ahli strategi investasi senior di U.S. Bank Wealth Management.

Kekhawatiran bahwa Washington mungkin memulai perang dagang juga membuat pasar terdesak.

"Sampai masalah tarif AS didefinisikan lebih baik, kami merasa bahwa peluang mendukung penurunan tajam baru-baru ini di pasar saham akan mudah menjalar ke pasar minyak," Jim Ritterbusch, presiden firma penasihat energi Ritterbusch & Associates mengatakan dalam sebuah catatan.

Produksi minyak mentah AS diperkirakan akan melonjak melampaui 11 juta barel per hari pada akhir 2018, yang membatasi efektivitas pengurangan produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia dan produsen lainnya.

Menambah kekhawatiran adalah penurunan impor minyak mentah Tiongkok untuk Februari.

Goldman Sachs kembali mengeluarkan perkiraan pertumbuhan permintaan minyak global 2018 pada 1,85 juta barel per hari, meskipun ada tanda-tanda sedikit pelambatan, mengutip awal yang kuat untuk tahun ini dan pola percepatan permintaan kuartal kedua.***

Pewarta: Apep Suhendar

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018