Ketika segenggam anggur berarti kehidupan maka seorang pemuda asal Nineva (kini Irak) bernama Addas telah membuktikan dukungan terbesarnya kepada Rasulullah dalam berdakwah.
Addas yang beragama Nasrani tertegun selepas mengulurkan segenggam anggur kepada Rasul yang ketika itu terluka. Rasul menyebut nama Allah sebelum memakan anggur-anggur itu.
Addas kemudian menanyakan kalimat yang diucapkan Rasul yang terasa mendamaikan hatinya itu. Rasul kemudian bertanya apa agama Addas. Ia lantas menjawab bahwa agamanya adalah agama yang dibawa Nabi Yunus.
“Yunus adalah saudaraku (sesama nabi),” jawab Rasul.
Seketika itulah Addas menyadari bahwa pria yang ada di hadapannya itu adalah utusan Tuhan.
Tanpa pikir panjang, Addas pun memutuskan untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. dan memeluk agama Islam.
Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-10 kenabian ketika Muhammad mendapatkan penolakan dalam berdakwah di Mekah. Kemudian beliau melakukan perjalanan sendiri ke Thaif yang terletak di dataran tinggi Hijaz.
Di sana Rasul memiliki saudara sedarah dari garis ibunya. Namun, sayang kedatangan Nabi ke wilayah itu justru jauh dari harapan.
Rasul ditolak bahkan dilempari batu hingga terluka sampai kemudian bersembunyi di sebuah kebun anggur untuk melepas lelah.
Di tempat itulah kemudian Rasul bertemu seorang pemuda petani anggur bernama Addas.
Pada tahun itu, Nabi mengalami banyak musibah berat. Di awal tahun, orang-orang Quraisy memboikot bani Hasyim.
Pemboikotan dimulai dari tahun ke-7 kenabian hingga ke-10. Hingga bani Hasyim tidak memiliki sesuatu untuk dimakan. Baru saja bebas dari pemboikotan, paman Nabi, Abu Tholib wafat.
Tiga hari kemudian, istri tercinta, Khadijah, wafat. Ujian terus berdatangan dan Nabi makin ditekan dengan berturut-turut ujian lainnya, termasuk ditolak berdakwah di Thaif. Oleh karena itu, wajar tahun ini disebut tahun kesedihan.
Baca juga: Reruntuhan Hudaibiyah dan tradisi Wangsa Saud merawat kesejarahan
Kesederhanaan
Kebun anggur dan Addas adalah cermin kesahajaan dan betapa sederhananya sebuah pembelaan yang mengharukan.
Di tengah kebun anggur yang sunyi, sang pemuda menawarkan segenggam anggur dan kepadanya diberikan hidayah untuk bisa memeluk Islam.
Tak banyak yang seperti Addas, ia ibarat segenggam harapan bagi Rasul dari pegunungan Thaif yang telah melukainya hingga dari sikunya terus mengucur darah.
Lokasi pertemuan Nabi Muhammad saw. dengan pemuda Addas itu kini masih utuh bekasnya. Masyarakat menandai lokasi itu dengan membangun masjid yang dikenal dengan nama Masjid Addas. Berada di tengah kebun anggur yang berimpitan dengan rumah-rumah penduduk, Masjid Addas berdiri kukuh dengan kondisi yang meski kecil dan tempat salatnya sempit, ditandai dengan menara yang lebih tinggi dari rata-rata rumah penduduk.
Posisinya tidak jauh dari wadi Matsna, tempat Nabi Muhammad saw. dilempari batu oleh penduduk Bani Tsaqif.
Terhitung sulit untuk bisa masuk ke dalamnya karena pengunjung harus melewati jalan-jalan sempit yang berimpitan langsung dengan permukiman penduduk.
Sementara itu, di sekelilingnya juga masih dipertahankan kebun-kebun pertanian, termasuk untuk tanaman anggur, delima, mawar, dan lain-lain.
Temboknya bercat kuning dan di dalamnya pilarnya berwarna putih. Di beberapa sudutnya di luar tampak cat-catnya mulai mengelupas.
Sayangnya juga sebagaimana situs bersejarah lain di Arab Saudi, Masjid Addas tak lepas dari coretan tangan jahil, bahkan beberapa di antaranya oleh jemaah dari Indonesia.
Padahal, Kepala Daerah Kerja Mekah Subhan Cholid sudah berkali-kali mengingatkan jemaah Indonesia untuk tidak merusak atau mencoret-coret situs bersejarah selama mereka berada di Tanah Suci agar lestari dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Baca juga: PPIH imbau jamaah haji Indonesia tak coreti situs bersejarah
Baca juga: Pemerintah Saudi hidupkan tradisi Arab kuno melalui Souq Okaz Festival
Jejak Spiritualitas
Masjid Addas meninggalkan jejak spiritualitas dan kemanusiaan yang sangat luhur dan perlu untuk terus-menerus disegarkan kembali dalam konteks kehidupan kekinian.
Ahli filologi yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman menyebut dalam sejarahnya tertulis di Sirah Nabawiyah karya Ibn Hisyam pada abad 9 M bahwa Addas adalah seorang Nasrani yang dengan penuh ketulusan menolong Nabi Muhammad saw. yang terluka parah akibat lemparan batu penduduk bani Tsaqif yang menolak dakwah Nabi di Thaif.
Menurut Oman, hikmah dalam kisah Addas yakni bahwa tak perlu memandang agama untuk menolong yang membutuhkan.
Addas kala itu tergetar oleh kesabaran dan akhlak Nabi yang istikamah dengan dakwah santunnya, tidak membalas persekusi yang diterimanya, dan malah mendoakan yang terbaik bagi bani Tsaqif dan keturunannya. Dengan dakwah Nabi yang santun tersebut, Addas menyatakan diri sebagai pengikut Nabi.
Sejarah Addas memberi pelajaran tentang pentingnya dakwah yang ramah, santun, dan penuh teladan ketimbang ajakan dengan disertai ancaman, paksaan, dan kekerasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019