Jakarta (ANTARA) - Beberapa anggota jemaah umrah dari Indonesia mengeluhkan perlakuan askar (petugas keamanan) yang bertugas di Masjidil Haram.
"Kita diusir. Padahal tempat itu pada hari-hari sebelumnya sudah digunakan untuk ibadah shalat," kata Achmad, salah seorang jamaah Indonesia asal Bogor yang sengaja melakukan umrah di bulan Ramadhan 1444 H.
Keluhan yang sama datang dari jamaah dari berbagai negara. Kala jamaah sudah mengambil tempat menjelang shalat, lalu diusir askar.
"Kalau mengusir, memang itu hak askar atau polisi setempat. Mereka punya hak untuk itu, demi tertibnya di Masjidil Haram, Mekkah," kata Sulis, jamaah dari Jakarta.
Sayangnya, para askar itu tak memberi solusi. Misalnya menunjukkan titik lokasi atau ruang yang memang belum terisi, mengingat kepadatan jamaah umrah menjelang 10 hari terakhir Idul Fitri, masjid terbesar di dunia itu bakalan kedatangan tamu Allah lebih banyak lagi.
Dari tahun ke tahun pemandangan pengusiran jamaah umrah atau pun haji masih terus berlanjut. Keadaan lebih runyam lagi tak semua jamaah yang hadir di situ bisa memahami bahasa lokal atau Arab setempat.
Eloknya pihak otoritas membuat papan pengumuman tempat shalat untuk wanita dan pria.
Karenanya, pemandangan perdebatan antara askar dengan jamaah sering terjadi. Utamanya, keributan jamaah dari Mesir yang memprotes perlakuan petugas seperti itu.
"Sabar," begitu kata yang sering keluar dari jamaah mancanegara ketika menghadapi keadaan buruk dan harus hengkang dari lokasi shalat karena dilarang askar.
Ibadah perjuangan
Pelayanan jamaah umrah pada 2023 (1444H) sejak berlalunya pandemi COVID-19, sungguh luar biasa karens animonya tinggi. Namun hingga kini otoritas setempat belum menyebut berapa jumlah jamaah umrah dari berbagai negara.
Pada saat 10 hari terakhir Ramadhan, diperkirakan bisa mencapai 5 juta orang. Angka perkiraan itu didasari kepadatan Masjidil Haram. Boleh jadi melebihi angka itu lantaran warga lokal ikut menunaikan ibadah umrah.
Antrean layanan imigrasi di beberapa loket kedatangan "mengular" seperti ketika musim haji tiba.
Kesibukan di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, begitu tampak. Petugas saling berteriak manakala dijumpai jamaah terlalu maju melangkah melampaui garis yang di hadapannya.
Teriakan antarpetugas bukannya memperlancar jalannya pelayanan, tetapi justru mengundang perhatian orang banyak. Pasalnya, jamaah menilai komunikasi antarpetugas seperti orang berkelahi.
Pelayanan imigrasi di Bandara King Abdul Aziz memang perlu dibenahi. Bagi warga Indonesia, juga jamaah dari negara lainnya, keramahan sangat dibutuhkan agar pelayanan semakin lancar.
Keluhan layanan jamaah umrah kerap mengemuka. Tapi siapa yang mampu mengubah kalau hal itu hanya datang dari rakyat biasa. Kerajaan Arab Saudi memegang otoritas penuh atas penyelenggaraan haji dan umrah.
Pelayanan prima bagi publik yang sering didengar di Tanah Air jangan diharap bisa diperoleh seketika. Karena itu, dapat disaksikan, pelayanan hotel tidaklah dipentingkan. Seperti hukum jual beli, di Makkah dan Madinah yang membutuhkan adalah jamaah.
Gambaran minus yang terekam pada penyelenggaraan umrah di Makkah pada Ramadhan 1444 H, bukan berarti otoritas setempat tak melakukan perubahan. Perbaikan dilakukan, seperti layanan bus dari hotel ke Masjidil Haram disediakan oleh pemerintah setempat.
Demikian juga layanan transportasi di Bandara King Abdul Aziz. Ketika pesawat mendarat, semua penumpang turun menggunakan "belalai" garbarata. Kemudian berlanjut masuk ke terminal dengan dibantu kereta cepat alias LRT untuk masuk ke ruang pengambilan bagasi.
Agar pelaksanaan umrah berjalan lancar, otoritas setempat memberlakukan hanya orang-orang yang mengenakan kain ihram saja dapat melaksanakan tawaf di pelataran Kakbah.
Mengapa? Hal itu dimaksudkan untuk menghormati orang yang menunaikan ibadah umrah itu dapat dilakukan dengan baik.
Andai saja semua orang yang mengenakan pakaian biasa, seperti kain sarung atau gamis, dibenarkan melakukan tawaf bersama di pelataran Kakbah, maka potensi saling sikut dan berdesakan dapat terjadi. Beberapa tahun lalu tawaf sunah bisa dilakukan tanpa mengenakan pakaian ihram.
Untuk saat ini saja, persis di titik rukun Yamani, Hajarul Aswad, Multazam dan Makam Ibrahim, sering terjadi saling sikut karena terlalu padat.
Boleh jadi, banyak jamaah umrah dari berbagai negara mengenakan pakaian ihram untuk sekadar melaksanakan tawaf sunah.
Memang kini prioritas tawaf diberlakukan bagi jamaah yang tengah menunaikan umrah, namun masih banyak larangan itu dilanggar.
Untuk tawaf sunah mereka terpaksa mengenakan ihram meski mengenakan pakaian berjahit (misal celana dalam). Kita tahu, ketika seseorang mengenakan pakaian ihram dilarang mengenakan pakaian berjahit untuk memenuhi rukun umrahnya.
Sementara itu di kawasan Sai, mulai (star awal) di Bukit Shafa dan (berakhir) di Bukit Marwa, kepadatan juga sangat luar biasa.
Pemandangan jamaah mengenakan ihram berjalan sebanyak tujuh putaran dan berakhir dengan mencukur rambut (tahalul) ini memang menjadi rukun bagi orang yang berumrah.
Pemandangan gunting rambut meminta bayaran yang dilakukan "pengojok" masih terjadi hingga kini. Askar yang berkeliaran di kawasan tersebut tak peduli.
Para pemandu umrah baiknya menyediakan gunting untuk memotong rambut sebagai kesempurnaan umrah, bukan membiarkan jamaah membayar dengan rasa keterpaksaan. Sangat mungkin muncul kesan bahwa ibadah umrah semua harus berbayar.
Padahal, ibadah umrah (termasuk haji) itu gratis. Yang harus bayar adalah transportasi dan biaya penginapannya.
Sebagian ulama berpendapat umrah saat Ramadhan memiliki nilai pahala setara dengan ibadah haji. Jika berpegang pada pendapat itu, boleh jadi membeludaknya jamaah umrah pada tahun ini didorong dengan argumentasi itu.
Bisa jadi pula karena COVID-19 berlalu dan kesadaran ibadah umat Islam sangat tinggi. Dengan pemikiran seperti itu, baik dan buruknya pelayanan di Tanah Suci bukan halangan untuk melaksanakan umrah. Karena yang terpenting adalah semua dijalani dengan ikhlas.
*) Edy Supriatna Syafei adalah wartawan senior, pernah bekerja sebagai jurnalis di LKBN ANTARA hingga pensiun