Plural, majemuk, atau bhinneka, adalah sebuah keniscayaan bagi Bangsa Indonesia, karena perbedaan di antara Bangsa Indonesia itu agaknya cukup lengkap, diantaranya kemajemukan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Suku/kesukuan yang ada memang sangat beragam mulai dari Batak, Jawa, Madura, Sumatera, Dayak, Bugis, Nusa Tenggara, Maluku, Papua. Apalagi, agama. Mayoritas memang Islam, tapi jumlah pemeluk Kristen/Katholik, Hindu, Buddha, dan lainnya juga tidak sedikit.
Ras juga tidak sedikit, meski dapat disederhanakan dalam pribumi dan non-pribumi. Antargolongan juga idem, meski dapat disimpulkan dalam kaya-miskin. Untuk itu, persatuan/kebersamaan dalam konteks Indonesia adalah "bersama dalam berbeda", bukan "bersama dalam kesamaan".
Bahkan, kemajemukan itu juga terlihat dalam "keragaman" lain yakni mulai dari masyarakat yang berpendidikan tinggi (profesor) hingga masyarakat yang tidak sekolah sama sekali, mulai dari masyarakat yang hidupnya sering bepergian ke luar negeri hingga masyarakat yang hidupnya "nomaden" dari hutan ke hutan, mulai dari masyarakat "kulit putih" Dayak hingga "kulit hitam" Papua.
Nah, kemajemukan yang sungguh lengkap itu bukan perkara mudah untuk diikat dalam satu negeri, meski bangsa ini sudah cukup lama memegang prinsip bhinneka tunggal ika (berbeda dalam kebersamaan, bukan kesamaan; mirip dengan E Pluribus Unum), apalagi saat ini berkembang "politik identitas" yang memaksakan "kesamaan" (keseragaman) sikap yang anti-kemajemukan.
Kini, keseragaman sikap anti-kemajemukan yang dipaksakan itu ada tiga model sikap yakni takfiri (menyalahkan secara ide), teroris (menyalahkan secara 'pemaksaan' ide/perbuatan), dan jihadis (menyalahkan secara fisik/membunuh/benturan/konflik).
Tentu, ketiga sikap ini jika dipaksakan akan menjadi sumber konflik tanpa henti. Nah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencermati adanya potensi konflik itu di dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk itu dengan hadirnya sikap anti-kemajemukan (takfiri-teroris-jihadis) itu dalam 1-2 dekade terakhir.
Tokoh NU yang sejak muda sudah "mengarungi" berbagai pemikiran tokoh-tokoh dunia melalui hobi baca itu berusaha meneladani para ulama pendiri NU untuk "mengendalikan" sikap anti-kemajemukan itu melalui perpaduan tiga hal yakni keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, sehingga Islam pun dikagumi sebagai "Islam Ramah" (Islam Rahmatan lil Alamin).
Dalam konteks "ramah" itulah, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi yang berhadapan dengan Orde Baru, mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengembangkan hubungan baik dengan komunitas non-Muslim hingga ceramah di gereja, memasyarakatkan Khittah NU, menjadi Presiden dengan orientasi pada hubungan persahabatan antarnegara di dunia.
Tentu, langkah-langkah Gus Dur itu bukan tidak mengundang "kemarahan" pihak lain, bahkan sejumlah ulama pun sempat bertanya langsung kepadanya, diantaranya Forum Demokrasi, PKB, dan Khittah NU yang disebut Gus Dur sebagai "keran" masuknya umat Islam ke pusat kekuasaan. "Ya, saya memang ceramah di depan ratusan pendeta, tapi kalau tidak ceramah, kapan para pendeta itu mengenal Islam, mengenal Al Quran?," ujar Gus Dur, singkat.
Tidak hanya itu, ketika Gus Dur memerintahkan Banser-Ansor menjaga gereja saat Natal pun diejek, bahkan ada seorang kiai yang memprotesnya bahwa Gus Dur hanya akan membuat Banser-Ansor layaknya satpam, Gus Dur pun dengan enteng menjawab, "Kurang muliakah jika kita menjadi satpam Indonesia?".
Justru, langkah dan respons Gus Dur sebagai simbol "Islam Ramah" itu banyak mengundang decak kagum para Indonesianis terhadap Indonesia sebagai satu-satunya "negara besar" yang mampu "mengawinkan" demokrasi dengan agama secara damai dan sukses. Ya, Islam Ramah adalah warisan Gus Dur yang cukup indah dan kini menjadi rujukan di tingkat dunia.
Tahun 2011, seorang Indonesianis dari Belanda, Martin van Bruinessen, menerbitkan artikel berjudul What Happened to the Smiling Face of Indonesian Islam? yang seakan menyuarakan kerinduan kepada warisan "Islam ramah" Gus Dur di tengah fenomena "wajah keras" Islam di Indonesia pasca-Soeharto.
"Di mata Martin van Bruinessen, Gus Dur adalah perwujudan dari citra ideal Islam Indonesia yang sanggup menjembatani ortodoksi keislaman dengan ide-ide modern, seperti, demokrasi, kebebasan beragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, bahkan teologi pembebasan, sebuah diskursus keagamaan yang asing bagi umat Islam Indonesia," kata dosen UINSA Surabaya, DR Zainul Hamdi.
Namun, "smiling face" Islam Indonesia itu dalam pandangan Martin van Bruinessen kini telah berubah, karena sejak 2005 mulai menunjukkan ke arah sikap permisif terhadap ide-ide fundamentalisme Islam. Jika melihat titik balik arus Islam Indonesia sejak kejatuhan Soeharto, kelompok Islamis dan Muslim fundamentalis telah menjadi bagian penting dalam permainan politik kekuasaan nasional.
Kekaguman Van Bruinessen pada Islam Ramah yang disuarakan Gus Dur itu juga dilontarkan Indonesianis lain, William Liddle. Ia menulis artikel berjudul My Name is Abdurrahman Wahid yang bisa dianggap sebagai ucapan selamat atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden.
"Judul tulisan itu diambil dari salah satu novel favorit Gus Dur yang ditulis oleh seorang sastrawan Yahudi-Amerika, Chaim Potok, yang berjudul My Name is Asher Lev. Liddle terkejut pada fakta bahwa seorang pimpinan organisasi Islam tradisional Indonesia seperti Gus Dur menjadikan sebuah 'novel Yahudi' sebagai salah satu bacaan favoritnya," kata DR Zainul Hamdi.
Negara versus Radikalis
Ya, Gus Dur yang ingin pusaranya ditulisi here lies a humanist itu telah 10 tahun silam tiada. Agaknya,sebutan "humanis" itu cukup pantas untuk "Guru Bangsa" yang dikenal dengan kata-kata: gitu aja kok repot itu, karena sepanjang hidupnya memang memperjuangkan perdamaian.
Perdamaian yang diperjuangkan Gus Dur lewat "warisan indah" berupa "Islam Ramah" itu agaknya perlu disuarakan kembali, mengingat "Islam Marah" mulai menandingi warisan "Sang Humanis" itu dengan maraknya ketakutan dimana-mana, baik ketakutan saat suka cita Natal, ketakutan saat aksi sweeping kelompok Islam tertentu terhadap simbol-simbol "kafir", dan ketakutan lainnya.
Bahkan, ketakutan itu semakin runyam dengan jagat maya (media sosial/medsos) yang justru mengacaukan "Islam Ramah" dengan ujaran kebencian seolah mengajak "perang" semua pihak, baik Islam (khususnya, pejuang Islam Ramah) maupun non-Islam. Mirip jurus mabuk-lah, karena strategi Gus Dur sudah "mendahului" langkah-langkah "Islam Marah" itu.
Walhasil, kini semuanya dihadapkan pada episode "perang" yakni negara versus radikalis. Mereka sudah menggunakan tiga strategi untuk menembus "jantung pertahanan" pihak lain yakni masjid, medsos (media sosial), dan kader militan.
Ya, kelompok radikalis itu menguasai masjid sebagai "pintu masuk" yang paling strategis dan sempat menjadi peringatan Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Sirodj. Cara "masuk" yang tidak kalah pentingnya adalah "bom" medsos untuk "merebut" mereka yang "lemah" dalam pondasi agama, lalu kader-kader militan disusupkan untuk "menyerang" siapapun melalui "provokasi" agama.
Dari masjid dan "bom" medsos saja, mereka sudah banyak yang "tepuk tangan" karena mereka sudah terbukti mampu "masuk" ke gedung-gedung pemerintahan. Bukan hanya pemerintahan, tapi juga kantor-kantor BUMN, kampus-kampus ternama, markas TNI, dan lainnya.
Apalagi, kader-kader militan mereka pun "masuk" ke komunitas masyarakat yang relatif paham agama, diantaranya pesantren, ormas agama, masjid-masjid raya/agung, dan sebagainya. Kader-kader militan itu cukup gigih, meski provokasi mereka seringkali mendapatkan perlawanan telak, mirip akun medsos yang ber-daur ulang.
Kini, Tuhan Yang Maha Esa memberikan "rahmat" kepada bangsa Indonesia dalam membereskan "Islam Marah" itu dengan hadirnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang seolah tahu "masalah sesungguhnya" republik ini, karena itu Presiden Jokowi pun berusaha melawan radikalisasi dan membenahi karakter bangsa dalam periode keduanya kali ini.
Langkah "strategis" Jokowi itu bisa "dibaca" dengan penempatan 55 persen menteri non-parpol, bahkan penempatan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Menteri Agama, Fachrul Razi, dan Menteri Pertahanan, Prabowo, adalah "isyarat" presiden untuk "memberangus" radikalisasi yang diledakkan "Islam Marah" sejak 2005 itu, bahkan Jokowi juga memasang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, untuk membenahi karakter milenial dalam "persaingan" digital.
Selain Prabowo, menteri-menteri non-parpol yang dinilai "paham" radikalisme atau terorisme itu, agaknya sengaja ditugasi melawan kelompok radikal yang sudah terlanjur "masuk" gedung pemerintahan, markas TNI, kantor BUMN, dan bahkan "komunitas" pesantren, ormas agama, masjid raya, dan sebagainya.
Tentu, para menteri itu sudah memiliki strategi perlawanan melalui sinergi dengan pihak-pihak yang ahli manajemen masjid, paham konten medsos, dan mampu melakukan identifikasi kader-kader militan dari kelompok radikal itu. Mereka sudah paham strategi "membenahi" masjid kampus atau BUMN, seperti yang sukses dilakukan UGM. Mereka pun sudah paham dalam identifikasi kader-kader militan dari komunitas radikal, seperti melalui sinergi dengan jajaran Polri.
Untuk medsos mungkin agak sulit, karena "perang" medsos itu bukan melibatkan ribuan akun medsos, melainkan miliaran akun medsos, karena itu negara tidak bisa melakukan "perang maya" secara sendirian, namun perlu pelibatan kalangan milenial, kalangan kampus, dan bahkan kalangan media massa untuk bersama-sama melakukan counter secara masif.
Contoh betapa negara cukup kelabakan melawan medsos antara lain ketika Presiden Jokowi menyebut rencana pemerintah "mendatangkan jutaan wisatawan China" dipelintir menjadi "mendatangkan jutaan tenaga kerja China", sehingga pemerintah pun menjadi sasaran perundungan hingga berbulan-bulan (5-6 bulan) akibat "wisatawan" yang direka menjadi "tenaga kerja" itu. Runyam bukan?!.
Contoh lain, ketika Wakil Presiden, KH Ma'ruf Amin, menyatakan "perlunya masjid dijaga dari ustadz" yang mengumbar kebencian, namun dipelesetkan "perlunya masjid dijaga polisi" sehingga menjadi perdebatan yang membuang energi percuma sejak pelantikan presiden-wakil presiden hingga awal Desember 2019.
"Isu masjid akan dijaga dan diawasi oleh polisi itu hoaks, Kiai Ma'ruf tidak pernah bilang begitu. Menempatkan polisi di satu masjid itu perlu biaya, biayanya darimana?," kata Staf Khusus Wakil Presiden, KH Robikin Emhas saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Kebangsaan Nahdlatul Ulama di Meulaboh (22/12/2019).
Banyak contoh lain, termasuk foto kebakaran hutan di kawasan Gunung Agung pada akhir 2017 yang diberi caption Gunung Agung meletus, sehingga memerosotkan pariwisata Bali hingga ke titik terendah. Video juga bisa "ngawur" seperti saat santri demo full day school yang diberi sulih suara "bunuh menterinya" padahal demo itu benar, tapi suara teriakan "bunuh" itu hasil sulih suara.
Itu masih isu biasa yang dihembuskan para pendengung melalui jagat maya yang dampaknya bisa fatal atau bahkan bisa sangat fatal, padahal isu yang lebih gawat dari itu masih ada, yakni bila jagat maya diwarnai "tarik-menarik" persoalan SARA yang merupakan paling sensitif di Bumi Nusantara, bahkan ibadah baku/mahdzo dan ibadah non-baku pun dicampur aduk hingga menakutkan.
Di sinilah, "Islam Ramah" yang diwariskan Gus Dur menjadi kerinduan penting, kerinduan terhadap Islam toleran yang cocok untuk "kemajemukan" (pluralitas) Nusantara. Bukankah "menyempurnakan" akhlak adalah "tugas penting" Nabi Muhammad SAW ?!.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019
Suku/kesukuan yang ada memang sangat beragam mulai dari Batak, Jawa, Madura, Sumatera, Dayak, Bugis, Nusa Tenggara, Maluku, Papua. Apalagi, agama. Mayoritas memang Islam, tapi jumlah pemeluk Kristen/Katholik, Hindu, Buddha, dan lainnya juga tidak sedikit.
Ras juga tidak sedikit, meski dapat disederhanakan dalam pribumi dan non-pribumi. Antargolongan juga idem, meski dapat disimpulkan dalam kaya-miskin. Untuk itu, persatuan/kebersamaan dalam konteks Indonesia adalah "bersama dalam berbeda", bukan "bersama dalam kesamaan".
Bahkan, kemajemukan itu juga terlihat dalam "keragaman" lain yakni mulai dari masyarakat yang berpendidikan tinggi (profesor) hingga masyarakat yang tidak sekolah sama sekali, mulai dari masyarakat yang hidupnya sering bepergian ke luar negeri hingga masyarakat yang hidupnya "nomaden" dari hutan ke hutan, mulai dari masyarakat "kulit putih" Dayak hingga "kulit hitam" Papua.
Nah, kemajemukan yang sungguh lengkap itu bukan perkara mudah untuk diikat dalam satu negeri, meski bangsa ini sudah cukup lama memegang prinsip bhinneka tunggal ika (berbeda dalam kebersamaan, bukan kesamaan; mirip dengan E Pluribus Unum), apalagi saat ini berkembang "politik identitas" yang memaksakan "kesamaan" (keseragaman) sikap yang anti-kemajemukan.
Kini, keseragaman sikap anti-kemajemukan yang dipaksakan itu ada tiga model sikap yakni takfiri (menyalahkan secara ide), teroris (menyalahkan secara 'pemaksaan' ide/perbuatan), dan jihadis (menyalahkan secara fisik/membunuh/benturan/konflik).
Tentu, ketiga sikap ini jika dipaksakan akan menjadi sumber konflik tanpa henti. Nah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencermati adanya potensi konflik itu di dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk itu dengan hadirnya sikap anti-kemajemukan (takfiri-teroris-jihadis) itu dalam 1-2 dekade terakhir.
Tokoh NU yang sejak muda sudah "mengarungi" berbagai pemikiran tokoh-tokoh dunia melalui hobi baca itu berusaha meneladani para ulama pendiri NU untuk "mengendalikan" sikap anti-kemajemukan itu melalui perpaduan tiga hal yakni keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, sehingga Islam pun dikagumi sebagai "Islam Ramah" (Islam Rahmatan lil Alamin).
Dalam konteks "ramah" itulah, Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi yang berhadapan dengan Orde Baru, mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengembangkan hubungan baik dengan komunitas non-Muslim hingga ceramah di gereja, memasyarakatkan Khittah NU, menjadi Presiden dengan orientasi pada hubungan persahabatan antarnegara di dunia.
Tentu, langkah-langkah Gus Dur itu bukan tidak mengundang "kemarahan" pihak lain, bahkan sejumlah ulama pun sempat bertanya langsung kepadanya, diantaranya Forum Demokrasi, PKB, dan Khittah NU yang disebut Gus Dur sebagai "keran" masuknya umat Islam ke pusat kekuasaan. "Ya, saya memang ceramah di depan ratusan pendeta, tapi kalau tidak ceramah, kapan para pendeta itu mengenal Islam, mengenal Al Quran?," ujar Gus Dur, singkat.
Tidak hanya itu, ketika Gus Dur memerintahkan Banser-Ansor menjaga gereja saat Natal pun diejek, bahkan ada seorang kiai yang memprotesnya bahwa Gus Dur hanya akan membuat Banser-Ansor layaknya satpam, Gus Dur pun dengan enteng menjawab, "Kurang muliakah jika kita menjadi satpam Indonesia?".
Justru, langkah dan respons Gus Dur sebagai simbol "Islam Ramah" itu banyak mengundang decak kagum para Indonesianis terhadap Indonesia sebagai satu-satunya "negara besar" yang mampu "mengawinkan" demokrasi dengan agama secara damai dan sukses. Ya, Islam Ramah adalah warisan Gus Dur yang cukup indah dan kini menjadi rujukan di tingkat dunia.
Tahun 2011, seorang Indonesianis dari Belanda, Martin van Bruinessen, menerbitkan artikel berjudul What Happened to the Smiling Face of Indonesian Islam? yang seakan menyuarakan kerinduan kepada warisan "Islam ramah" Gus Dur di tengah fenomena "wajah keras" Islam di Indonesia pasca-Soeharto.
"Di mata Martin van Bruinessen, Gus Dur adalah perwujudan dari citra ideal Islam Indonesia yang sanggup menjembatani ortodoksi keislaman dengan ide-ide modern, seperti, demokrasi, kebebasan beragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, bahkan teologi pembebasan, sebuah diskursus keagamaan yang asing bagi umat Islam Indonesia," kata dosen UINSA Surabaya, DR Zainul Hamdi.
Namun, "smiling face" Islam Indonesia itu dalam pandangan Martin van Bruinessen kini telah berubah, karena sejak 2005 mulai menunjukkan ke arah sikap permisif terhadap ide-ide fundamentalisme Islam. Jika melihat titik balik arus Islam Indonesia sejak kejatuhan Soeharto, kelompok Islamis dan Muslim fundamentalis telah menjadi bagian penting dalam permainan politik kekuasaan nasional.
Kekaguman Van Bruinessen pada Islam Ramah yang disuarakan Gus Dur itu juga dilontarkan Indonesianis lain, William Liddle. Ia menulis artikel berjudul My Name is Abdurrahman Wahid yang bisa dianggap sebagai ucapan selamat atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden.
"Judul tulisan itu diambil dari salah satu novel favorit Gus Dur yang ditulis oleh seorang sastrawan Yahudi-Amerika, Chaim Potok, yang berjudul My Name is Asher Lev. Liddle terkejut pada fakta bahwa seorang pimpinan organisasi Islam tradisional Indonesia seperti Gus Dur menjadikan sebuah 'novel Yahudi' sebagai salah satu bacaan favoritnya," kata DR Zainul Hamdi.
Negara versus Radikalis
Ya, Gus Dur yang ingin pusaranya ditulisi here lies a humanist itu telah 10 tahun silam tiada. Agaknya,sebutan "humanis" itu cukup pantas untuk "Guru Bangsa" yang dikenal dengan kata-kata: gitu aja kok repot itu, karena sepanjang hidupnya memang memperjuangkan perdamaian.
Perdamaian yang diperjuangkan Gus Dur lewat "warisan indah" berupa "Islam Ramah" itu agaknya perlu disuarakan kembali, mengingat "Islam Marah" mulai menandingi warisan "Sang Humanis" itu dengan maraknya ketakutan dimana-mana, baik ketakutan saat suka cita Natal, ketakutan saat aksi sweeping kelompok Islam tertentu terhadap simbol-simbol "kafir", dan ketakutan lainnya.
Bahkan, ketakutan itu semakin runyam dengan jagat maya (media sosial/medsos) yang justru mengacaukan "Islam Ramah" dengan ujaran kebencian seolah mengajak "perang" semua pihak, baik Islam (khususnya, pejuang Islam Ramah) maupun non-Islam. Mirip jurus mabuk-lah, karena strategi Gus Dur sudah "mendahului" langkah-langkah "Islam Marah" itu.
Walhasil, kini semuanya dihadapkan pada episode "perang" yakni negara versus radikalis. Mereka sudah menggunakan tiga strategi untuk menembus "jantung pertahanan" pihak lain yakni masjid, medsos (media sosial), dan kader militan.
Ya, kelompok radikalis itu menguasai masjid sebagai "pintu masuk" yang paling strategis dan sempat menjadi peringatan Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Sirodj. Cara "masuk" yang tidak kalah pentingnya adalah "bom" medsos untuk "merebut" mereka yang "lemah" dalam pondasi agama, lalu kader-kader militan disusupkan untuk "menyerang" siapapun melalui "provokasi" agama.
Dari masjid dan "bom" medsos saja, mereka sudah banyak yang "tepuk tangan" karena mereka sudah terbukti mampu "masuk" ke gedung-gedung pemerintahan. Bukan hanya pemerintahan, tapi juga kantor-kantor BUMN, kampus-kampus ternama, markas TNI, dan lainnya.
Apalagi, kader-kader militan mereka pun "masuk" ke komunitas masyarakat yang relatif paham agama, diantaranya pesantren, ormas agama, masjid-masjid raya/agung, dan sebagainya. Kader-kader militan itu cukup gigih, meski provokasi mereka seringkali mendapatkan perlawanan telak, mirip akun medsos yang ber-daur ulang.
Kini, Tuhan Yang Maha Esa memberikan "rahmat" kepada bangsa Indonesia dalam membereskan "Islam Marah" itu dengan hadirnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang seolah tahu "masalah sesungguhnya" republik ini, karena itu Presiden Jokowi pun berusaha melawan radikalisasi dan membenahi karakter bangsa dalam periode keduanya kali ini.
Langkah "strategis" Jokowi itu bisa "dibaca" dengan penempatan 55 persen menteri non-parpol, bahkan penempatan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Menteri Agama, Fachrul Razi, dan Menteri Pertahanan, Prabowo, adalah "isyarat" presiden untuk "memberangus" radikalisasi yang diledakkan "Islam Marah" sejak 2005 itu, bahkan Jokowi juga memasang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, untuk membenahi karakter milenial dalam "persaingan" digital.
Selain Prabowo, menteri-menteri non-parpol yang dinilai "paham" radikalisme atau terorisme itu, agaknya sengaja ditugasi melawan kelompok radikal yang sudah terlanjur "masuk" gedung pemerintahan, markas TNI, kantor BUMN, dan bahkan "komunitas" pesantren, ormas agama, masjid raya, dan sebagainya.
Tentu, para menteri itu sudah memiliki strategi perlawanan melalui sinergi dengan pihak-pihak yang ahli manajemen masjid, paham konten medsos, dan mampu melakukan identifikasi kader-kader militan dari kelompok radikal itu. Mereka sudah paham strategi "membenahi" masjid kampus atau BUMN, seperti yang sukses dilakukan UGM. Mereka pun sudah paham dalam identifikasi kader-kader militan dari komunitas radikal, seperti melalui sinergi dengan jajaran Polri.
Untuk medsos mungkin agak sulit, karena "perang" medsos itu bukan melibatkan ribuan akun medsos, melainkan miliaran akun medsos, karena itu negara tidak bisa melakukan "perang maya" secara sendirian, namun perlu pelibatan kalangan milenial, kalangan kampus, dan bahkan kalangan media massa untuk bersama-sama melakukan counter secara masif.
Contoh betapa negara cukup kelabakan melawan medsos antara lain ketika Presiden Jokowi menyebut rencana pemerintah "mendatangkan jutaan wisatawan China" dipelintir menjadi "mendatangkan jutaan tenaga kerja China", sehingga pemerintah pun menjadi sasaran perundungan hingga berbulan-bulan (5-6 bulan) akibat "wisatawan" yang direka menjadi "tenaga kerja" itu. Runyam bukan?!.
Contoh lain, ketika Wakil Presiden, KH Ma'ruf Amin, menyatakan "perlunya masjid dijaga dari ustadz" yang mengumbar kebencian, namun dipelesetkan "perlunya masjid dijaga polisi" sehingga menjadi perdebatan yang membuang energi percuma sejak pelantikan presiden-wakil presiden hingga awal Desember 2019.
"Isu masjid akan dijaga dan diawasi oleh polisi itu hoaks, Kiai Ma'ruf tidak pernah bilang begitu. Menempatkan polisi di satu masjid itu perlu biaya, biayanya darimana?," kata Staf Khusus Wakil Presiden, KH Robikin Emhas saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Kebangsaan Nahdlatul Ulama di Meulaboh (22/12/2019).
Banyak contoh lain, termasuk foto kebakaran hutan di kawasan Gunung Agung pada akhir 2017 yang diberi caption Gunung Agung meletus, sehingga memerosotkan pariwisata Bali hingga ke titik terendah. Video juga bisa "ngawur" seperti saat santri demo full day school yang diberi sulih suara "bunuh menterinya" padahal demo itu benar, tapi suara teriakan "bunuh" itu hasil sulih suara.
Itu masih isu biasa yang dihembuskan para pendengung melalui jagat maya yang dampaknya bisa fatal atau bahkan bisa sangat fatal, padahal isu yang lebih gawat dari itu masih ada, yakni bila jagat maya diwarnai "tarik-menarik" persoalan SARA yang merupakan paling sensitif di Bumi Nusantara, bahkan ibadah baku/mahdzo dan ibadah non-baku pun dicampur aduk hingga menakutkan.
Di sinilah, "Islam Ramah" yang diwariskan Gus Dur menjadi kerinduan penting, kerinduan terhadap Islam toleran yang cocok untuk "kemajemukan" (pluralitas) Nusantara. Bukankah "menyempurnakan" akhlak adalah "tugas penting" Nabi Muhammad SAW ?!.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019