Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengungkapkan hubungan antara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri sangat dekat layaknya kakak dan adik.
Hal itu disampaikan Yahya dalam serial Inspirasi Ramadan 2022 bertajuk "Inspirasi Keteladanan Gus Dur", yang ditayangkan melalui akun YouTube BKN (Badan Kebudayaan Nasional) PDI Perjuangan.
Selain menceritakan ide-ide dan keteladanan dari Gus Dur, Yahya juga meluruskan berbagai anggapan di media sosial yang mempertontonkan seolah-olah Gus Dur dan Megawati terus-menerus berkonflik dan berbeda pendapat.
Bahkan, lanjut Yahya, Gus Dur dan Presiden kedua RI Soeharto memiliki hubungan cukup dekat. Namun jelas, ada banyak hal bahwa Gus Dur berbeda dengan Soeharto, tambahnya.
"Sehingga kami melihat dalam perjalanan politiknya, ada momentum-momentum yang terlihat Gus Dur berseberangan dengan Bu Mega. Itu wajar saja karena memang politik kan seperti itu. Politik itu muamalah dan di dalam wacana fiqih itu seperti orang lain yang tidak ada hubungan sama sekali. Seperti contoh transaksi dagang dengan saudara kandung, dalam fiqih pun harus dilakukan secara objektif, dan itu sama halnya seperti politik," jelasnya.
Gus Dur dan Megawati dinilai sebagai ikon perlawanan terhadap rezim orde baru, dengan keduanya banyak berbagi terkait nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan. Sehingga, momen dimana digambarkan terjadi gesekan antara keduanya merupakan hal wajar dalam politik.
Baca juga: Ketua Umum PBNU terpilih ingatkan Ganjar pada sosok Gus Dur
Yahya menganggap Gus Dur adalah sosok pejuang kemanusiaan yang tidak hanya memperjuangkan kelompok Islam, melainkan seluruh lapisan masyarakat.
Dia menceritakan ihwal keteladanan Gus Dur saat dia menjadi juru bicara kepresidenan dan mendampingi Gus Dur sebagai Presiden RI.
Menurut dia, Gus Dur adalah seorang tokoh intelektual besar yang dibentuk oleh keluasan pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Gus Dur merupakan seorang penjelajah ilmu karena mempelajari semua ilmu, tidak hanya terbatas pada wawasan Islam, tambahnya.
Dia juga menilai Gus Dur ditempa pengalaman hidup, dimana ia berhadapan dengan berbagai macam krisis terkait berbagai besar yang dialami oleh Islam, bangsa, dan negara. Maka, lanjutnya, Gus Dur kemudian terbentuk menjadi seorang pemimpin yang sungguh-sungguh mencintai bangsa, umat, dan kemanusiaan.
"Kesan yang saya dapatkan adalah saya yakin sekali beliau itu waliyullah (wali Allah). Itu yang paling mendalam dan cara yang paling singkat mendeskripsikan ketika saya mendampingi beliau di Istana," jelasnya.
Yahya mengaku mengenal Gus Dur sejak lama dan mengalami perubahan berkat mantan tanfidziyah Nahdlatul Ulama itu.
"Saya mengenal Gus Dur sejak lama dan saya juga mengalami perubahan berkat Gus Dur. Saya berubah dulu sekitar tahun 70-an. Ada suasana, baik domestik maupun global, ketika Islam berada dalam posisi konfliktual dihadapkan dengan aktor-aktor lain, aktor-aktor kekuasaan," katanya.
Di domestik, katanya, Islam berhadapan dengan rezim orde baru, sehingga menjadikan Islam sebagai ideologi perlawanan. Namun, dengan wacana dan ketekunan yang dibangun, Gus Dur bisa mengubah mindset generasi muda saat itu.
"Gus Dur berhasil mengubah mindset saya dan kawan-kawan generasi saya untuk berpikir cara lain. Daripada melawan untuk menghancurkan, kenapa kami tidak menyumbang, berkontribusi untuk menyempurnakan saja? Ini prinsip mendasar dari Gus Dur," ujar Yahya.
Baca juga: Gus Yahya sebut alasan maju calon ketum PBNU