Voice of Indonesia bekerja sama dengan Dompet Dhuafa, Republika dan PWI menyelenggarakan gelar wicara forum diplomatik dengan tema "Freedom of the Press, A Tribute to BJ Habibie" sebagai bentuk penghormatan atas jasa Presiden ke-3 RI BJ Habibie.
"Mustahil kita bisa berbicara tentang demokrasi jika pers masih terkekang," kata Agung.
Agung mengatakan kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amendemen kedua.
Pasal tersebut memuat tentang setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemudian, Bacharuddin Jusuf Habibie mengambil andil besar dalam mewujudkan kebebasan pers tersebut ketika ia mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Warisan dari Pak Habibie dalam bentuk kebebasan pers ini harus kita rawat dan kita pelihara. Tantangan itu akan terus ada tapi kita harus mampu menjawabnya," ucapnya.
Pers berperan sebagai pilar demokrasi, dan belakangan terus mendapat tantangan. Peningkatan lndeks Kebebasan Pers, tekanan terhadap awak media hingga munculnya fenomena hoaks, kata Agung kerap muncul dipermukaan.
"Tantangan ini harus dijawab bersama oleh semua pihak, baik media, pemerintah dan masyarakat," ujarnya.
Forum diplomatik ”Freedom of the Press, A Tribute to BJ Habibie” itu menampilkan pembicara yaitu Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan lnformatika, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Kepala Media dan Komunikasi Kedutaan Besar Inggris di Indonesia, Ketua Umum PWI, dan Pemimpin Redaksi Republika.
Baca juga: Terinspirasi BJ Habibie, warga Pinrang membuat pesawat
Baca juga: ICMI berikan Award Bapak Teknologi dan Demokrasi pada BJ Habibie
Baca juga: Ilham resmikan patung BJ Habibie di Gorontalo
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020