Anggota Fraksi PPP DPR RI Arwani Thomafi menilai penundaan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat dilakukan melalui hak politik yang dimiliki masing-masing pihak sebagai perumus UU yaitu fraksi-fraksi di DPR.
Baca juga: Ibas: F-Demokrat tolak bahas RUU tidak terkait penyelesaian COVID-19
Baca juga: FPKS gabung Panja RUU Cipta Kerja setelah COVID-19 dinyatakan tuntas
Baca juga: Baleg tunda RDPU perdana RUU Ciptaker
Dia mengatakan, dalam praktiknya, mekanisme politik sering ditempuh oleh DPR maupun Presiden dalam pembahasan sebuah RUU yang akhirnya pembahasan tersebut tidak dilanjutkan.
Arwani mencontohkan pengalamannya sebagai Ketua Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol, sikap politik pemerintah yang tidak hadir dalam sejumlah kesempatan rapat akhirnya menjadikan RUU tersebut tidak dibahas dan disahkan.
"Lalu ada juga seperti RUU Pertembakauan dan RUU Wawasan Nusantara. Jelas sekali bahwa praktik tersebut ada presedennya dan hal yang lazim saja," ujarnya.
Dia menjelaskan ada tiga dasar ketidakikutsertaan dalam pembahasan sebuah RUU yaitu aspirasi dari publik, urgensi pembahasan, dan momentum.
Menurut dia, tiga dasar itu cukup menjadi alasan bagi DPR sebagai wakil rakyat untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Jadi, tidak semata-mata urusan teknis-prosedural semata. Apalah makna teknis-prosedural namun justru menyampingkan hal yang substansial yakni aspirasi, urgensi dan ketiadaan momentum," katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu menilai jika situasi dan momentum sudah tepat setelah penanganan pandemi COVID-19 maka semua stakeholder dapat kembali duduk bersama untuk membahas substansi dalam RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Puan minta Baleg tunda bahas kluster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020