Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dono Widiatmoko mendorong dilakukannya tes serologi massal di era normal baru ditandai dengan banyaknya pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Juni ini.
"Sebagai alternatif, tes serologi bisa dilakukan. Jika dilakukan pada populasi secara acak, tes ini bisa melihat sejauh mana infeksi COVID-19 terjadi pada populasi tersebut," kata Dono kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Dosen senior di University of Derby, Inggris Raya, itu mengatakan, saat ini untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dilakukan melalui tes PCR.
Tes PCR, kata dia, menjadi standar utama dalam mengonfirmasi positif tidaknya seseoramg tertular SARS-Cov-2. Akan tetapi, tes PCR memiliki kendala.
Keterbatasan itu, kata dia, antara lain mencakup keterbatasan laboratorium dan alat PCR, reagen serta tenaga terlatih yang mampu melakukan tes secara akurat. Selain itu, tes PCR memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama.
Untuk itu, metode tes yang lain seperti tes serologi cenderung lebih efisien, lebih mudah digunakan dan harganya relatif tidak mahal sehingga tes massal sangat memungkinkan.
Dia mengatakan berkumpulnya para pekerja di era normal baru dalam satu waktu dan satu tempat memungkinkan terjadinya kluster-kluster baru COVID-19 jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Antisipasi dimulai dari pendeteksian tes serologi.
Cara kerja tes serologi, kata dia, dilakukan dengan mengecek antibodi pasien yang arahnya mencari bukti respon kekebalan tubuh, berupa antibodi IgM dan IgG terhadap SARS-CoV-2
"Dengan diketahuinya informasi ini, pemerintah bisa merancang program-program kesehatan masyarakat, termasuk di antaranya pelonggaran PSBB," katanya.
Saat melakukan tes serologi, dia mengatakan tingkat spesifik dan sensitivitas produk yang digunakan perlu diperhatikan agar tingkat akurasi pengukuran semakin tinggi.
Jika kemudian pasien mendapatkan hasil uji positif terhadap virus, kata dia, maka pasien akan dirujuk untuk tes PCR untuk mendapatkan hasil paling akurat.
"Tes ini harus dilakukan secara massal, dan berkala atau berulang. Misalnya, pada minggu ini dilakukan survey serologi pada seribu orang warga Jakarta secara acak. Maka, minggu depan diulangi lagi dan seterusnya," katanya.
Dia mengatakan tes jenis itu efektif dilakukan untuk pabrik dan tambang yang memiliki pekerja mencapai ratusan dan ribuan.
"Bisa juga dilakukan pada komunitas-komunitas tertentu, seperti pada tenaga kesehatan, polri, driver ojol, dan petugas transportasi seperti TransJakarta, MRT, Commuter Line," katanya.
Dono mengatakan pemerintah harus menanggung biaya tes serologi itu karena lebih hemat dari PCR tetapi jika masyarakat yang menanggung tes massal tentu sangat berat.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020
"Sebagai alternatif, tes serologi bisa dilakukan. Jika dilakukan pada populasi secara acak, tes ini bisa melihat sejauh mana infeksi COVID-19 terjadi pada populasi tersebut," kata Dono kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Dosen senior di University of Derby, Inggris Raya, itu mengatakan, saat ini untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dilakukan melalui tes PCR.
Tes PCR, kata dia, menjadi standar utama dalam mengonfirmasi positif tidaknya seseoramg tertular SARS-Cov-2. Akan tetapi, tes PCR memiliki kendala.
Keterbatasan itu, kata dia, antara lain mencakup keterbatasan laboratorium dan alat PCR, reagen serta tenaga terlatih yang mampu melakukan tes secara akurat. Selain itu, tes PCR memerlukan biaya yang cukup besar dan waktu yang relatif lama.
Untuk itu, metode tes yang lain seperti tes serologi cenderung lebih efisien, lebih mudah digunakan dan harganya relatif tidak mahal sehingga tes massal sangat memungkinkan.
Dia mengatakan berkumpulnya para pekerja di era normal baru dalam satu waktu dan satu tempat memungkinkan terjadinya kluster-kluster baru COVID-19 jika tidak diantisipasi sedini mungkin. Antisipasi dimulai dari pendeteksian tes serologi.
Cara kerja tes serologi, kata dia, dilakukan dengan mengecek antibodi pasien yang arahnya mencari bukti respon kekebalan tubuh, berupa antibodi IgM dan IgG terhadap SARS-CoV-2
"Dengan diketahuinya informasi ini, pemerintah bisa merancang program-program kesehatan masyarakat, termasuk di antaranya pelonggaran PSBB," katanya.
Saat melakukan tes serologi, dia mengatakan tingkat spesifik dan sensitivitas produk yang digunakan perlu diperhatikan agar tingkat akurasi pengukuran semakin tinggi.
Jika kemudian pasien mendapatkan hasil uji positif terhadap virus, kata dia, maka pasien akan dirujuk untuk tes PCR untuk mendapatkan hasil paling akurat.
"Tes ini harus dilakukan secara massal, dan berkala atau berulang. Misalnya, pada minggu ini dilakukan survey serologi pada seribu orang warga Jakarta secara acak. Maka, minggu depan diulangi lagi dan seterusnya," katanya.
Dia mengatakan tes jenis itu efektif dilakukan untuk pabrik dan tambang yang memiliki pekerja mencapai ratusan dan ribuan.
"Bisa juga dilakukan pada komunitas-komunitas tertentu, seperti pada tenaga kesehatan, polri, driver ojol, dan petugas transportasi seperti TransJakarta, MRT, Commuter Line," katanya.
Dono mengatakan pemerintah harus menanggung biaya tes serologi itu karena lebih hemat dari PCR tetapi jika masyarakat yang menanggung tes massal tentu sangat berat.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020