Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Nasrullah mengingatkan guru dan siswa wajib disiplin protokol kesehatan guna mencegah munculnya klaster keluarga jika sekolah dibuka untuk pembelajaran tatap muka.
"Karena klaster keluarga ini bisa saja ditularkan pelajar atau guru selama pergaulan di sekolah atau didapatkan melalui perjalanan pulang pergi dari rumah ke sekolah dan sebaliknya," kata Nasrullah di Banjarmasin, Minggu.
Menurut Nasrullah, jika imunitas anak-anak sekolah memang kuat, tapi bagaimana dengan orang tua, atau paman dan bibi hingga kakek nenek mereka yang satu rumah.
Maka kalaupun protokol kesehatan dilaksanakan dengan ketat, bagaimana juga dengan pelajar yang bergerombol di waktu istirahat.
Untuk itulah, dia menekankan pentingnya disiplin pelajar dan dewan guru serta staf tata usaha selama berada di sekolah terkait penerapan protokol kesehatan.
Selama proses belajar di ruang kelas misalnya, masker tidak boleh dilepas kecuali untuk suatu hal yang mendesak. Begitu juga ketika istirahat di luar kelas, interaksi antar siswa perlu diperhatikan oleh guru sebagai pengawas di sekolah.
"Jangan sampai guru abai juga dalam pengawasan. Kalau pembelajaran tatap muka ini ingin berhasil alias tidak terjadi penularan COVID-19, maka penerapan protokol kesehatan secara ketat adalah harga mati," jelas pakar antropologi masyarakat jebolan S2 Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Di sisi lain, Nasrullah melihat wacana pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah bahkan di perguruan tinggi hendaknya direspons secara hati-hati.
Sejumlah aspek juga perlu diperhatikan, di antaranya aspek geografis sekolah yang jauh dari pusat keramaian. Maka sekolah yang dibuka idealnya berada di pedesaan jauh dari akses mobilitas warga.
Kedua, asal siswa atau pelajar. Kalaupun sekolah dianggap jauh dari akses keramaian, tapi bagaimana kalau ada siswa di sekolah tersebut yang berasal dari zona merah. Jangan-jangan justru pembawa virus yang menjangkiti teman-teman atau gurunya dan kemudian dibawa ke rumah.
Ketiga, hal terpenting juga jumlah siswa di dalam kelas. Sekolah sangat memungkinkan dibuka, selain poin pertama dan kedua, adalah jumlah siswa yang terbatas.
Bahkan ada sekolah di desa-desa tertentu yang memiliki siswa per kelas jumlahnya terbatas hitungan jari dan gurunya tinggal menetap di lingkungan sekolah akan sangat memungkinkan sekolah dibuka kembali.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020
"Karena klaster keluarga ini bisa saja ditularkan pelajar atau guru selama pergaulan di sekolah atau didapatkan melalui perjalanan pulang pergi dari rumah ke sekolah dan sebaliknya," kata Nasrullah di Banjarmasin, Minggu.
Menurut Nasrullah, jika imunitas anak-anak sekolah memang kuat, tapi bagaimana dengan orang tua, atau paman dan bibi hingga kakek nenek mereka yang satu rumah.
Maka kalaupun protokol kesehatan dilaksanakan dengan ketat, bagaimana juga dengan pelajar yang bergerombol di waktu istirahat.
Untuk itulah, dia menekankan pentingnya disiplin pelajar dan dewan guru serta staf tata usaha selama berada di sekolah terkait penerapan protokol kesehatan.
Selama proses belajar di ruang kelas misalnya, masker tidak boleh dilepas kecuali untuk suatu hal yang mendesak. Begitu juga ketika istirahat di luar kelas, interaksi antar siswa perlu diperhatikan oleh guru sebagai pengawas di sekolah.
"Jangan sampai guru abai juga dalam pengawasan. Kalau pembelajaran tatap muka ini ingin berhasil alias tidak terjadi penularan COVID-19, maka penerapan protokol kesehatan secara ketat adalah harga mati," jelas pakar antropologi masyarakat jebolan S2 Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Di sisi lain, Nasrullah melihat wacana pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah bahkan di perguruan tinggi hendaknya direspons secara hati-hati.
Sejumlah aspek juga perlu diperhatikan, di antaranya aspek geografis sekolah yang jauh dari pusat keramaian. Maka sekolah yang dibuka idealnya berada di pedesaan jauh dari akses mobilitas warga.
Kedua, asal siswa atau pelajar. Kalaupun sekolah dianggap jauh dari akses keramaian, tapi bagaimana kalau ada siswa di sekolah tersebut yang berasal dari zona merah. Jangan-jangan justru pembawa virus yang menjangkiti teman-teman atau gurunya dan kemudian dibawa ke rumah.
Ketiga, hal terpenting juga jumlah siswa di dalam kelas. Sekolah sangat memungkinkan dibuka, selain poin pertama dan kedua, adalah jumlah siswa yang terbatas.
Bahkan ada sekolah di desa-desa tertentu yang memiliki siswa per kelas jumlahnya terbatas hitungan jari dan gurunya tinggal menetap di lingkungan sekolah akan sangat memungkinkan sekolah dibuka kembali.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020