Dua anak berseragam SD duduk di atas tanah di ujung Pulau Belakangpadang di Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Keduanya berbincang sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang menjuntai di atas laut.

Di atas perairan yang memisahkan Belakanpadang dengan Amat Belanda, tampak dua kapal kecil tidak bermesin yang biasa melayani pelayaran warga antarpulau.

"Anak-anak itu sedang menunggu kapal untuk pulang ke rumahnya di Pulau Mat Belanda," kata petugas Kecamatan Belakangpadang, Deni.

Pulau Mat Belanda sejatinya hanya selemparan batu dari Pulau Belakangpadang. Jaraknya hanya kurang dari 100 meter.

Saat air laut surut, Mat Belanda bisa digapai hanya dengan berjalan kaki.

Biasanya, air surut sejak pagi, dan mulai pasang sekitar pukul 9.30 WIB. Sedikit lebih cepat dari jadwal sekolah anak-anak di pulau semasa pandemi COVID-19.

Di Pulau Amat Belanda memang tidak ada sekolah. Jadi, anak-anak-anak memang harus menyeberang ke pulau utama di kecamatan itu untuk bersekolah.

Camat Belakangpadang Yudi Admaji menyatakan anak-anak Pulau Amat Belanda semangat belajar, meski harus berjuang untuk mencapai sekolah.

Itu pulalah yang mendorongnya untuk membangun jembatan yang menyambungkan dua pulau di seberang Singapura itu.

Bekas lokalisasi

Semestinya tidak susah untuk membangun jembatan Belakangpadang-Amat Belanda. Jaraknya relatif lebih pendek dibanding jembatan-jembatan antarpulau yang sudah dibangun di Batam sebelumnya.

Secara fisik mudah. Namun, secara sosial, Yudi harus mempertimbangkan banyak aspek.

Pulau Amat Belanda yang juga dikenal sebagai Pulau Babi merupakan bekas lokalisasi.

Pada era 1990-an, Amat Belanda amat tenar di kalangan pria hidung belang. Pelanggannya tidak hanya datang dari kawasan industri di Batam, melainkan banyak juga yang dari negara tetangga.

Memasuki tahun 2000-an, pengunjung lokalisasi terus berkurang. Seiring itu, penjaja seks di sana juga mulai meninggalkan pulau.

Rumah-rumah bordil pun banyak yang tutup.

Yudi mengatakan saat lokalisasi Mat Belanda masih menjadi primadona, tercatat sekitar 500 rumah berdiri di atas pulau kecil itu.

"Dalam satu rumah terdapat banyak penghuninya, kamar-kamar begitu. Jadi memang ramai sekali dulu," kata Yudi.

Namun sekarang, pihaknya mencatat tinggal sekitar 80 kepala keluarga yang mendiami Mat Belanda. Jumlah pekerja seks komersial (PSK) di sana pun kini bisa dihitung dengan jari.

Dulu, rumah-rumah warga harus diberi tanda dengan tulisan "rumah tangga", agar pria hidung belang tidak salah alamat, maka kini plang-plang sudah dicabut.

Mungkin itu salah satu upaya pemerintah bersama masyarakat setempat menghapus citra lokalisasi di Mat Belanda.


Surau Nurul Iman

Yudi mengaku tidak mudah mengubah Mat Belanda. Semuanya harus dilakukan dengan pelan-pelan.

Ia percaya, agama menjadi tiang utama transformasi Mat Belanda.

Di pulau itu, terdapat satu surau sederhana yang didirikan seorang warga setempat.

Meski kerlap-kerlip lampu bar terus menyala, namun tidak menghentikan bunyi azan, lima kali dalam sehari.

Jumlah anak-anak yang ikut mengaji di sana pun terus bertambah. Kehidupan religius pun mulai terasa.

"Pak Wali Kota Batam Muhammad Rudi pernah bilang, tiangnya di surau. Itu yang saya percaya," katanya.

Ia pun semangat memperjuangkan rehabilitasi Surau Nurul Iman.

"Alhamdulillah, sekarang lantainya sudah bagus. Atapnya belum lagi. Saya sampaikan ke warga, kita perbaiki pelan-pelan," katanya.

 
Warga Pulau Amat Belanda, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Ahad (21/2/2021) mengambil rengkam, sejenis rumput laut. (FOTO ANTARA/Yuniati Jannatun Naim)


Mencari rengkam

Sementara itu, seiring dengan tutupnya bar-bar, warga kini menggantungkan hidup dari mencari rengkam, yaitu sejenis rumput laut yang diolah menjadi pakan ternak berkualitas ekspor.

Biasanya, suami istri pergi ke laut berpasangan. Mereka pergi di pagi hari hingga laut pasang sekitar pukul 9.30 WIB untuk mengambil rengkam.

Rengkam itu kemudian dikeringkan, sebelum akhirnya digiling dan dijual ke pengumpul.

Pengurus Kelompok Nelayan Pospera Aprianti mengatakan saat ini hampir seluruh warga Pulau Amat Belanda merupakan nelayan pengumpul rengkam.

Menurut dia, usaha baru warga itu mampu menghidupkan kembali ekonomi yang merosot sejak 2000-an, saat pengunjung lokalisasi berkurang.

"Sekarang pekerja kayak begitu (PSK) tinggal satu dua saja. Semua rumah di sini sudah mencari rengkam," kata dia.


Membuka Amat Belanda

Kini, citra lokalisasi Amat Belanda hanya tinggal cerita. Apabila berkunjung ke sana, sudah tidak ada lagi kesan negatif yang tersisa.

Masyarakatnya guyub, salin bahu-membahu dalam usaha baru mereka, mencari rengkam.

Pemerintah setempat juga terus berusaha menyentuh masyarakat di sana, agar dapat merasakan keadiran negara.

Menurut Yudi yang paling dibutuhkan masyarakat Pulau Amat Belanda saat ini adalah layanan kesehatan.

Masyarakat yang kebanyakan berusia lanjut itu membutuhkan ingin dapat mudah berangkat dan pergi ke Puskesmas di Pulau Belakangpadang.

Sebenarnya lokasi Puskesmas Belakangpadang relatif dekat, namun karena berbeda pulau, maka mereka harus menggunakan kapal. Yang kadang tidak nyaman untuk mereka dengan penyakit tertentu.

"Makanya diusulkan untuk membuat jembatan agar akses masyarakat dari Amat Belanda ke Belakangpadang bisa mudah," kata Yudi.

Dengan jembatan, transportasi anak-anak ke sekolah lebih mudah. Mereka tidak perlu berbecek-becekan melalui selat di kala air surut dan menunggu kapal untuk menyeberang di kala air pasang.

Rencana pembangunan jembatan pun sudah mendapatkan restu dari TNI. Infrastruktur itu akan dibangun melalui TNI Manunggal Memabangun Desa.

Selesai? Belum. Karena upaya Yudi untuk membuka Pulau Amat Belanda masih harus berhadapan dengan masyarakat Pulau Belakangpadang yang masih khawatir dengan citra pulau itu.

"Saya mencoba meyakinkan mereka. Kalau perlu akan dibuat pos di sana, agar bapak-bapak tidak masuk," katanya.
 

Pewarta: Yuniati Jannatun Naim

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021