Jakarta (ANTARA) - Langit pagi di Pematang Kabau, Kabupaten Sarolangun, Jambi, selalu menyimpan aroma yang unik, perpaduan antara embun yang berat dan napas hutan yang segar.
Di tempat ini, berdiri Resort 2A Air Hitam I, bagian Kantor Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) yang berada di tingkat paling tapak atau terdekat dengan kawasan hutan.
Di dalamnya para polisi hutan, penyuluh kehutanan, pengendali ekosistem hutan, tenaga pengamanan hutan lainnya, dan staf TNBD biasanya berkantor dan berkoordinasi, sebelum turun ke lapangan untuk berpatroli.
Kantor yang tidak seberapa luas itu tampak asri, bahkan di halaman belakangnya berdiri nursery penangkaran anggrek alam yang cantik dan langka.
Tidak jauh dari Pematang Kabau, paling hanya berjarak tempuh 20 menit dengan sepeda motor, terhampar hutan hijau yang seperti tak berujung. Dari mulut hutan di Desa Bukit Suban, di sanalah berdetak paru-paru dunia yang menyuplai oksigen dengan segala ekosistem hutan yang kaya raya.
Di dalamnya juga tersimpan nilai kehidupan yang bercerita tentang budaya masyarakat adat, Suku Anak Dalam (SAD) dan komunitas lokal yang mendiami sekitar hutan itu sejak puluhan tahun silam.
Di pos ini, Lina Fitri Yanti, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TNBD, menghadiahkan gelang sebalik sumpah. Gelang buatan Orang Rimba ini berasal dari bahan biji pohon keras bernama Sebelik Sumpah, kepada tiga orang teman barunya yang datang dari ibu kota.
Ia menjelaskan tentang nama "sebelik sumpah" yang memiliki arti sumpah yang berbalik. Dalam keyakinan Orang Rimba, konon, dengan mengenakan kalung atau gelang sebelik sumpah, si pemakai akan terhindar dari sumpah buruk orang-orang yang berniat jahat padanya.
Justru sumpah buruk tersebut akan kembali pada orang yang menyumpahi. Selain sebagai penolak bala, aksesori ini juga diyakini dapat menjaga diri pemakainya dari unsur gaib yang mungkin merugikan.
Orang Rimba meyakini bahwa kalung dan gelang sebelik sumpah memiliki kekuatan spiritual yang mampu mengusir entitas jahat dan menjaga keberuntungan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya itu, kalung dan gelang sebelik sumpah juga menjadi lambang persaudaraan di antara orang Rimba.
Dengan memakai sebelik sumpah akan mengidentifikasi mereka sebagai anggota komunitas yang memiliki ikatan kuat dan saling mendukung satu sama lain.
Sehingga, selain nilai spiritual dan simbolisnya, kalung dan gelang sebelik sumpah juga menjadi bagian penting dari budaya dan identitas bagi Orang Rimba.
Lina pun meminta gelang itu dijaga dengan baik, sebaik menjaga prinsip-prinsip hidup, kelestarian, dan nilai spiritual atau adat yang diyakini.
Para penjaga hutan
Cerita tentang sebelik sumpah menjadi dasar adat yang baik sebagai bekal hidup di Pematang Kabau, terutama bagi para petugas kehutanan yang sebagian besar bukan benar-benar berasal dari daerah itu.
Bagi mereka, berbuat baik kepada sesama adalah mutlak, dan mengutarakan keburukan kepada orang lain harus dihindari sejauh mungkin karena bisa berbalik pada diri sendiri.
Bekal inilah yang menjadi modal bagi para penjaga hutan itu untuk berjalan menyusuri jejak-jejak keberlanjutan di hutan Air Hitam dan sekitarnya.
Di sana ada polisi hutan bernama Beni Haryadi, Dede, Mang Dadan yang merupakan Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya, Edy penyuluh kehutanan, Novia staf TNBD, dan Jupri pendamping sekolah rimba yang keturunan Suku Anak Dalam, juga ada Lina.
Nama-nama mereka bukanlah nama besar yang menghiasi layar televisi atau halaman koran. Mereka adalah penjaga kehidupan, merawat detak jantung dunia yang berdenyut di setiap pohon yang berdiri tegak.
Tugas mereka tidak mudah. Hutan di kawasan TNBD yang terletak di jantung Jambi, adalah benteng terakhir bagi banyak spesies endemik.
Hutan itu juga menjadi medan "pertempuran" tak terlihat antara kelestarian dan eksploitasi, antara tradisi dan modernitas.
Dalam setiap patroli, mereka menghadapi ancaman nyata, dari pemburu liar, pembalak ilegal, hingga jejak asap dari pembakaran lahan yang mengepul dari kejauhan.
Meskipun demikian, langkah mereka tidak pernah goyah. Setiap jejak yang mereka tinggalkan di tanah ini adalah bukti dari pengabdian yang tulus untuk menjaga alam lestari.
Mereka semua paham nilai-nilai yang dianut masyarakat lokal. Bahkan, sesederhana sebelik sumpah yang bukan sekadar serangkaian kata atau ikrar adat. Bagi mereka, gelang itu adalah kompas moral, sebuah filosofi yang mengikat manusia dengan alam, menjadikan hutan sebagai ibu yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.
Sebuah harapan yang menjelma menjadi kekuatan spiritual untuk membalikkan semua sumpah atau niat jahat.
Beni, yang telah menjadi polisi hutan selama bertahun-tahun, tampak begitu akrab, bahkan seperti telah menjadi bagian dari hutan itu sendiri. Ia menyatu dengan masyarakat SAD, bercanda dengan mereka, mengarifi semua kesedihan mereka, bahkan makan dan minun dari gelas dan piring yang sama dengan mereka.
Dan terpenting, mengajak mereka untuk terlibat dalam upaya penyelamatan hutan yang menjadi tempat bernaung bagi semua.
Dalam perjalanannya, para penjaga hutan ini tidak hanya bertugas menjaga, tetapi juga merawat hubungan yang telah terjalin lama antara manusia dan hutan.
Suku Anak Dalam, yang menyebut diri mereka Orang Rimba, adalah penjaga tradisional yang mengerti bahasa pohon dan bisikan angin.
Para petugas hutan ini kerap menghabiskan waktu bersama pemangku adat Tumenggung Jalo, bahkan melibatkan beberapa di antara masyarakat SAD sebagai Masyarakat Mitra Polhut dan Masyarakat Peduli Api. Beberapa di antara mereka ada Selambai dan Gentar, tokoh SAD yang selalu mendukung program-program TNBD untuk pelestarian hutan.
Novia, yang baru bergabung dalam tim, mengingat betapa sulitnya pertama kali ia menjalin kepercayaan dengan pemangku adat mereka. “Mereka hidup dengan cara yang berbeda dengan kita. Mereka ramah dan kita harus belajar dari mereka,” katanya, ketika berbincang dengan ANTARA.
Dengan sabar, para penjaga hutan ini mendengarkan kisah-kisah lama dari pemangku adat tentang tanah, pohon, dan sungai yang mereka anggap sakral.
Dalam pertemuan itu, nilai-nilai adat menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia. "Kami menjaga hutan bukan untuk kami sendiri, tetapi untuk anak-cucu yang belum lahir, jangan mengotori hutan," kata Tumenggung Jalo, seorang tetua Suku Anak Dalam, sambil mengingatkan agar tidak ada satupun sampah yang ditinggalkan saat mereka berpatroli.
Mediasi konflik
Menjaga harmoni dengan alam itu tidak selalu mudah. Ada malam-malam ketika mereka harus berjaga di tengah dinginnya udara rimba, memastikan tidak ada pemburu liar yang melintas.
Ada juga hari-hari ketika Edy bersama Mang Dadan harus memediasi konflik, misalnya saat membuka lahan atau perambahan lahan adat.
Mereka layaknya akar pohon, bekerja dalam sunyi, tapi memastikan segalanya tetap berdiri tegak.
Selain menjaga, mereka juga memberdayakan. Bersama komunitas lokal, para penjaga hutan menginisiasi berbagai program yang sejalan dengan nilai budaya masyarakat lokal.
Dari budi daya madu hutan hingga kerajinan rotan, mereka membantu masyarakat menggali potensi ekonomi tanpa merusak alam. Kalau bisa hidup dari hutan tanpa menebangnya, itu baru kemenangan sejati. Ada kalanya digelar pelatihan pengolahan hasil hutan non-kayu untuk perempuan di desa sekitar.
Di balik semua itu, ada kebersamaan yang membuat mereka bertahan. Saat malam tiba dan tugas berakhir sementara, mereka berkumpul di bawah langit penuh bintang, berbagi cerita dan tawa di sekitar api unggun.
Ada yang kerap diberi tugas untuk memimpin doa singkat, memohon perlindungan bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk hutan yang mereka cintai. Dalam doa itu, nilai-nilai budaya lokal kembali dihidupkan, sebuah pengingat bahwa segala hal harus berjalan dalam harmoni.
Namun, tidak semua orang memahami perjuangan mereka. Di kota besar, nama mereka mungkin tidak pernah disebut. Mereka tidak mencari pujian, tetapi hanya ingin memastikan bahwa hutan ini tetap ada.
Barangkali semua baru akan menengok perjuangan mereka hanya ketika pohon terakhir tumbang, sungai terakhir mengering, dan udara terakhir tercemar, dan menyadari sudah tiada lagi yang bisa ditinggalkan untuk dunia.
Hari itu, mereka kembali menyusuri jalan setapak menggunakan sepeda motor dengan roda bergerigi, godzila, menuju pulang ke Pematang Kabau.
Setiap deru mesin motor seperti mengucap janji yang terus diperbarui, setiap pandangan adalah cinta yang mendalam pada bumi yang menopang kehidupan.
Sebelik sumpah, hanya sedikit contoh dari begitu banyak landasan adat, terasa menyatu dalam setiap napas yang mereka hirup.
Di balik tugas berat dan kesunyian yang sering mengiringi, mereka tahu bahwa pekerjaan ini bukan hanya tentang mereka, tetapi tentang menjaga nyawa dunia.
Ketika senja jatuh dan Pematang Kabau mulai tenggelam dalam gelap, suara burung-burung hutan mengiringi langkah mereka yang kembali ke pos.
Di sana, di bawah bayang-bayang malam, mereka merasakan sesuatu yang tidak pernah pudar, yakni harapan.
Harapan bahwa apa yang mereka lakukan hari ini akan menjadi warisan yang berharga untuk generasi yang akan datang.
Sebelik sumpah tidak hanya menjadi pedoman adat, pelindung dari niat jahat, tetapi juga menjadi cerita tentang cinta, pengorbanan, dan harmoni yang tidak pernah berakhir antara manusia dan alam.
Pematang Kabau menjadi saksi tentang bagaimana komitmen menjaga niat baik, sebab perbuatan dan sumpah buruk, hampir pasti akan berbalik pada pemanjatnya. Hutan lestari karena adat, adat terjaga karena niat.