Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan pembangunan rumah hijau yang ramah lingkungan dapat menekan biaya konstruksi dan membantu masyarakat berpenghasilan rendah.
Direktur Jenderal Pembiayaan Kementerian PUPR Eko Heri Poerwanto dalam pernyataan di Jakarta, Jumat, mengatakan untuk itu pemerintah telah mengambil peran untuk mempercepat serapan hunian hijau.
Salah satunya, melalui pencanangan peta jalan penyelenggaraan bangunan gedung hijau nasional dan penerbitan Peraturan Menteri tentang Penilaian Kerja Bangunan Gedung Hijau pada April 2021.
"Manfaat pembangunan perumahan hijau berpenghasilan rendah bagi lingkungan dan masyarakat berpenghasilan rendah tidak bisa diragukan lagi," kata
Menurut dia, pembangunan rumah hijau yang berkelanjutan ini akan terus diinisiasi karena menjadi inti dari program rumah yang terjangkau dan konstruksi hijau di seluruh negeri.
Sebelumnya, penelitian yang dilakukan Bank Dunia dan South Pole menunjukkan bahwa investasi 3-7 persen dalam membangun rumah yang lebih hijau di Indonesia dapat membantu keluarga berpenghasilan rendah menghemat sepertiga dari pendapatan per bulan setiap tahun.
Pembangunan rumah yang ramah lingkungan tersebut juga dapat menghemat penggunaan energi dan juga air yang berujung pada pengurangan tagihan air dan listrik secara signifikan.
World Bank Practice Manager Zhang Ming menambahkan selama ini Bank Dunia sudah memberikan dukungan terhadap program pemerintah melalui Program Rumah Murah Nasional untuk penyediaan rumah ramah lingkungan secara berkelanjutan.
"Kami mengambil langkah besar ke depan menuju tujuan tersebut dengan berkomitmen mendukung pengembangan 2.500 rumah hijau," katanya.
Penyediaan perumahan dengan harga terjangkau dan peningkatan efisiensi energi bangunan sangat penting untuk menjawab tantangan masyarakat di Indonesia serta membangun dunia yang lebih hemat sumber daya dan tahan iklim.
Salah satu cara untuk memperkenalkan aspek keberlanjutan atau hijau pada konstruksi perumahan berpenghasilan rendah di Indonesia adalah melalui partisipasi dalam skema sertifikasi bangunan hijau, seperti EDGE.
EDGE adalah sertifikasi dan standar bangunan hijau global yang dikembangkan untuk negara berkembang oleh International Finance Corporation (IFC), bagian dari Grup Bank Dunia.
EDGE berfokus pada pengurangan konsumsi energi dan air secara strategis dengan menawarkan sertifikasi untuk bangunan hemat energi yang memenuhi persyaratannya dan telah mensertifikasi bangunan seluas 880.000 meter persegi di negara berkembang.
Untuk mendapatkan sertifikasi EDGE, perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu dirancang khusus untuk membantu mengurangi konsumsi air dan energi dan memastikan emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan perumahan konvensional.
Oleh karena itu, penghematan keseluruhan harus mencapai setidaknya 20 persen untuk mencapai "EDGE Standard" dan 40 persen untuk sertifikasi "EDGE Advanced".
Kepala Penasihat Pembiayaan Iklim di South Pole Gaetan Hinojosa mengatakan studi yang dilakukan bersama Bank Dunia menjadi penting karena saat ini terdapat peningkatan kesadaran terhadap perubahan iklim.
Selain itu, ia menambahkan, populasi yang makin meningkat di Asia Tenggara juga memperlihatkan urgensi dalam percepatan inisiatif rendah karbon dan ketahanan iklim.
"Kami senang dapat berkontribusi pada upaya ini melalui pekerjaan kami pada studi perumahan hijau berpenghasilan rendah," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021
Direktur Jenderal Pembiayaan Kementerian PUPR Eko Heri Poerwanto dalam pernyataan di Jakarta, Jumat, mengatakan untuk itu pemerintah telah mengambil peran untuk mempercepat serapan hunian hijau.
Salah satunya, melalui pencanangan peta jalan penyelenggaraan bangunan gedung hijau nasional dan penerbitan Peraturan Menteri tentang Penilaian Kerja Bangunan Gedung Hijau pada April 2021.
"Manfaat pembangunan perumahan hijau berpenghasilan rendah bagi lingkungan dan masyarakat berpenghasilan rendah tidak bisa diragukan lagi," kata
Menurut dia, pembangunan rumah hijau yang berkelanjutan ini akan terus diinisiasi karena menjadi inti dari program rumah yang terjangkau dan konstruksi hijau di seluruh negeri.
Sebelumnya, penelitian yang dilakukan Bank Dunia dan South Pole menunjukkan bahwa investasi 3-7 persen dalam membangun rumah yang lebih hijau di Indonesia dapat membantu keluarga berpenghasilan rendah menghemat sepertiga dari pendapatan per bulan setiap tahun.
Pembangunan rumah yang ramah lingkungan tersebut juga dapat menghemat penggunaan energi dan juga air yang berujung pada pengurangan tagihan air dan listrik secara signifikan.
World Bank Practice Manager Zhang Ming menambahkan selama ini Bank Dunia sudah memberikan dukungan terhadap program pemerintah melalui Program Rumah Murah Nasional untuk penyediaan rumah ramah lingkungan secara berkelanjutan.
"Kami mengambil langkah besar ke depan menuju tujuan tersebut dengan berkomitmen mendukung pengembangan 2.500 rumah hijau," katanya.
Penyediaan perumahan dengan harga terjangkau dan peningkatan efisiensi energi bangunan sangat penting untuk menjawab tantangan masyarakat di Indonesia serta membangun dunia yang lebih hemat sumber daya dan tahan iklim.
Salah satu cara untuk memperkenalkan aspek keberlanjutan atau hijau pada konstruksi perumahan berpenghasilan rendah di Indonesia adalah melalui partisipasi dalam skema sertifikasi bangunan hijau, seperti EDGE.
EDGE adalah sertifikasi dan standar bangunan hijau global yang dikembangkan untuk negara berkembang oleh International Finance Corporation (IFC), bagian dari Grup Bank Dunia.
EDGE berfokus pada pengurangan konsumsi energi dan air secara strategis dengan menawarkan sertifikasi untuk bangunan hemat energi yang memenuhi persyaratannya dan telah mensertifikasi bangunan seluas 880.000 meter persegi di negara berkembang.
Untuk mendapatkan sertifikasi EDGE, perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah perlu dirancang khusus untuk membantu mengurangi konsumsi air dan energi dan memastikan emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan perumahan konvensional.
Oleh karena itu, penghematan keseluruhan harus mencapai setidaknya 20 persen untuk mencapai "EDGE Standard" dan 40 persen untuk sertifikasi "EDGE Advanced".
Kepala Penasihat Pembiayaan Iklim di South Pole Gaetan Hinojosa mengatakan studi yang dilakukan bersama Bank Dunia menjadi penting karena saat ini terdapat peningkatan kesadaran terhadap perubahan iklim.
Selain itu, ia menambahkan, populasi yang makin meningkat di Asia Tenggara juga memperlihatkan urgensi dalam percepatan inisiatif rendah karbon dan ketahanan iklim.
"Kami senang dapat berkontribusi pada upaya ini melalui pekerjaan kami pada studi perumahan hijau berpenghasilan rendah," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021