Sebagai respons mitigasi kebencanaan dan belajar dari kasus pandemi COVID-19, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengembangkan dan menetapkan SNI 9050:2022 Sistem Penanganan Bencana Epidemi.

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan berbagai kerugian terutama di sektor kesehatan dan ekonomi karena penularannya yang cepat antar manusia lewat droplet.

Sektor kesehatan dan sektor-sektor lainnya saling beririsan dalam penanganan pandemi COVID-19 sehingga tidak bisa mengesampingkan sektor kesehatan demi melanjutkan aktivitas ekonomi.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia mendapatkan pukulan keras sehingga mengalami pelemahan ekonomi. Seluruh dunia juga mengalami hal serupa.

Konsumsi atau daya beli rumah tangga juga menurun tajam. Ketidakpastian yang berkepanjangan akibat COVID-19 mengakibatkan investasi ikut melemah. Belum lagi, usaha-usaha tersendat bahkan berhenti hingga akhirnya berimplikasi pada pemutusan hubungan kerja.

Pengalaman hebat tersebut telah membuka mata secara lebih lebar untuk menyiapkan diri menghadapi hal-hal tak terduga termasuk kemungkinan krisis kesehatan di masa akan datang, seperti hantaman pandemi COVID-19 yang melanda negara-negara di dunia.

Di lain sisi, Indonesia merupakan negara di kawasan tropis yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, mobilitas penduduk yang tinggi, dan kekayaan biodiversitas yang melimpah termasuk keanekaragaman satwa.

Dengan kondisi itu, Indonesia berisiko menjadi sumber penularan penyakit zoonosis baru yang bersumber dari satwa liar. Pengelolaan sumber daya hutan dan hewan yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan Indonesia menjadi hot spot atau sumber wabah zoonosis.

Berdasarkan informasi dari laman resmi Kementerian Kesehatan, Di Indonesia, saat ini telah ditemukan sebanyak 132 spesies mikro-organisme patogen yang bersifat zoonotik.

Penyebaran penyakit menular yang muncul dengan cepat dapat menimbulkan wabah, kejadian luar biasa (KLB), maupun bencana epidemi.

Dalam Pendahuluan dari SNI 9050:2022, pada kondisi di mana wabah dari penyakit tersebut tidak dapat tertangani dengan baik, akan terjadi eskalasi krisis kesehatan dengan tingkat penyebarannya melampaui cakupan wilayah administratif lintas wilayah geografis.

Dengan demikian, sebagai salah satu negara rawan bencana, Indonesia tidak terlepas dari risiko terjadinya bencana diakibatkan ledakan kasus penyakit menular dan kedaruratan kesehatan lainnya yang mengancam kesehatan masyarakat seperti wabah, bencana epidemi, dan pandemi.

Lebih lanjut, dengan adanya dampak perubahan iklim, risiko bencana dan penyebaran penyakit menular akan meningkat, termasuk kejadian bersama beberapa bencana pada saat epidemi atau pandemi, sehingga diperlukan penanganan khusus untuk mengatasinya.

Bencana epidemi merupakan bencana non-alam yang tidak memiliki bentuk fisik dan menyebar secara cepat serta sporadis. Akibat eskalasi krisis kesehatan yang cepat, bencana tersebut menunjukkan kegagalan pengelolaan risiko secara sistemik, menyebabkan jatuhnya korban jiwa, dan memberi dampak tidak hanya pada sektor kesehatan, tetapi juga pada lintas sektor.

Oleh karenanya, eskalasi penyakit menular yang menjadi wabah, bencana epidemi, kedaruratan masyarakat yang meresahkan dunia dan pandemi, memerlukan penanganan dan kerja sama lintas sektor.

Menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Kukuh S Achmad, sebagai antisipasi terhadap kondisi bencana epidemi, sudah terdapat beberapa mekanisme mobilisasi sumber daya lintas sektor yang dialokasikan pada sumber pembiayaan negara, maupun dana dari masyarakat dan mitra pembangunan lainnya yang dapat digunakan oleh masing-masing sektor terkait.

Namun secara umum, pada saat pandemi COVID-19 mulai melanda, Indonesia belum memiliki standar yang dapat memayungi secara sistematis dan menjamin kepastian mutu upaya pengurangan risiko dan tanggap darurat bencana terhadap berbagai risiko ancaman kesehatan pada lintas sektor.

Baca juga: BSN tetapkan 568 SNI, termasuk COVID-19 dan industri permainan

Baca juga: BSN tetapkan 28 SNI dukung program pemerintah tangani COVID-19

Baca juga: Memperkuat kesiapsiagaan bencana melalui penerapan SNI Kebencanaan

Bencana pandemi

Kejadian pandemi COVID-19 di seluruh dunia yang terjadi sejak 2019 juga menjadi pembelajaran penting untuk dapat mengantisipasi berbagai risiko kedaruratan kesehatan lainnya di masa yang akan datang, termasuk gelombang berikutnya dari COVID-19 dan penyakit lain yang berpotensi menimbulkan kondisi bencana epidemi dan pandemi.

Irisan antara sektor kesehatan dan sektor-sektor lain dalam penanganan pandemi COVID-19 menjadi dorongan kuat bagi pemerintah Indonesia untuk menyusun standar pengurangan risiko dan tanggap darurat bencana terhadap berbagai variasi risiko wabah, bencana epidemi, dan pandemi. Hal itu melatarbelakangi lahirnya SNI 9050:2022.

"Penerapan standar ini bertujuan untuk memudahkan para pelaku penanggulangan bencana dalam melakukan koordinasi lintas sektor guna mengantisipasi berbagai risiko kedaruratan kesehatan lainnya di masa yang akan datang," kata Kukuh.

SNI tersebut menetapkan penyelenggaraan sistem penanganan bencana epidemi, tidak termasuk pandemi yang bersifat lintas negara dan wabah penyakit hewan, karena masih bersifat sektoral. Sistem penanganan bencana epidemi termasuk keseluruhan tahap prabencana dan keadaan darurat bencana.

Standar itu dapat diterapkan dan dijadikan tolok ukur performa tindakan setiap kementerian/lembaga pemerintah, pemerintah daerah serta lembaga non-pemerintah berbadan hukum untuk meningkatkan kapasitas pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat terhadap bencana epidemi baik di lingkungan masing-masing secara mandiri maupun kolaboratif lintas sektor.

Saat ini SNI 9050:2022 masih dalam tahap diseminasi ke para pemangku kepentingan, khususnya ke daerah yang komit untuk menjadi role model desa/kelurahan tangguh bencana (Destana).

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 1 Tahun 2012, Desa Tangguh Bencana adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.

Diharapkan masing-masing kementerian, lembaga dan pemerintah daerah menggunakan SNI tersebut sebagai panduan dan diacu dalam peraturan perundang-undangan sampai ke level pemerintah daerah.

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN Hendro Kusumo, pendekatan kebijakan berbasis risiko untuk memitigasi ancaman bencana di Indonesia dapat menjadi platform para pengambil kebijakan di pusat dan daerah.

Mitigasi bencana sejak dini diharapkan dapat meminimalkan dampak buruk dan korban seminimal mungkin.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam penerapan SNI 9050:2022, diantaranya eskalasi bahaya penyakit menular dan bencana epidemi, terutama terkait dengan penetapan daerah terjangkit wabah, dan tahapan penanganan bencana epidemi, baik pra-bencana maupun saat tanggap darurat bencana.

Kemudian, juga memperhatikan pengakhiran status keadaan darurat bencana epidemi, serta kriteria dan indikator pemenuhan SNI tersebut dengan mengacu pada konsep manajemen berbasis hasil.

Tahapan penanganan bencana epidemi pada prabencana meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan, deteksi dan peringatan dini, serta penanganan dini bencana epidemi.

Sementara tahapan terkait tanggap darurat bencana epidemi mencakup manajemen darurat, pembatasan penularan/penyebaran, penyelamatan dan evakuasi, komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat, dukungan sumber daya penanganan kedaruratan bencana epidemi, serta audit internal.

Status keadaan darurat bencana epidemi ditetapkan oleh presiden atau kepala daerah berdasarkan beberapa indikator yang menggambarkan kapasitas daerah.

Indikator tersebut meliputi ketersediaan sumber daya yang dapat dimobilisasi untuk penanganan keadaan darurat bencana, kemampuan pemerintah daerah untuk mengaktivasi sistem komando penanganan keadaan darurat bencana, serta kemampuan melakukan penanganan awal keadaan darurat bencana.

Dalam penerapannya, pada masing-masing level wilayah administratif, status keadaan darurat bencana dapat terdiri dari status tanggap darurat dan status transisi darurat ke pemulihan.

Status tanggap darurat mengacu pada keadaan di mana wabah/KLB sudah ditetapkan sebagai bencana epidemi.

Sedangkan status transisi darurat ke pemulihan mengacu pada keadaan di mana eskalasi bencana epidemi menurun/mereda atau telah berakhir, namun gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masih tetap berlangsung.

Dengan menerapkan SNI 9050: 2022 diharapkan akan tersedia panduan yang seragam bagi para pemangku kepentingan dalam mengantisipasi berbagai risiko kedaruratan kesehatan di masa yang akan datang.

Melalui penerapan SNI itu, para pelaku penanggulangan bencana akan lebih mudah dalam melakukan koordinasi lintas sektor untuk mobilisasi sumber daya secara efektif dan sistematis.

Implementasi SNI tersebut juga diharapkan dapat menjamin kepastian mutu upaya pengurangan risiko dan tanggap darurat bencana terhadap berbagai risiko ancaman kesehatan yang terjadi.

Baca juga: BSN tetapkan SNI untuk K3 selama pandemi COVID-19

Baca juga: Pentingnya produk ber-SNI di tengah pandemi

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022