Pada tanggal 28 April 2022 yang lalu, pemerintah resmi memberlakukan pelarangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Pelarangan ekspor CPO ini dilakukan pemerintah setelah terjadinya kelangkaan minyak goreng di dalam negeri, jika tersedia pun harganya sudah melambung tinggi. Seperti diketahui bahwa minyak goreng menjadi salah satu kebutuhan pokok yang penting bagi masyarakat Indonesia.
Setelah hampir satu bulan pelarangan ekspor CPO, akhirnya kebijakan tersebut dicabut pada 23 Mei 2022. Presiden Jokowi menyebutkan pencabutan larangan ini disebabkan karena pasokan minyak goreng di dalam negeri yang sudah kembali melimpah, penurunan harga minyak goreng curah, dan pertimbangan nasib pekerja di industri sawit.
Pelarangan ekspor CPO yang sempat dilakukan pemerintah tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada harga sawit, terutama harga di tingkat petani. Sebelumnya di awal bulan April, harga sawit masih sangat tinggi yaitu mencapai 3000-an per kilogram, tetapi setelah pelarangan ekspor harga sawit terjun bebas menjadi 700-an per kilogram. Hal ini tentu saja menyulitkan para petani sawit, karena dengan harga serendah itu mereka tetap harus mengeluarkan biaya produksi yang tidak turut mengalami penurunan.
Sekarang larangan ekspor CPO memang sudah dicabut oleh pemerintah Indonesia, akan tetapi harga sawit masih tidak kunjung membaik. Lambat-laun keadaan ini dapat berdampak pada perekonomian petani, terutama yang berusaha di subsektor perkebunan.
Dampak harga sawit yang turun tersebut terlihat jelas dari data nilai tukar petani (NTP). BPS merilis bahwa sejak bulan Mei NTP Jambi terus mengalami penurunan, padahal sebelumnya mengalami kenaikan. NTP Jambi di bulan Mei mencapai 131,50, turun sebesar 12,37 poin dibandingkan dengan bulan April 2022. Penurunan terus berlanjut di bulan Juni, NTP Juni sekitar 127,31 artinya mengalami penurunan sebesar 4,19 poin.
Bila dilihat lebih dalam lagi, langsung berdasarkan subsektor perkebunan, pengaruh penurunan harga sawit sangat terasa bagi petani perkebunan. NTP subsektor perkebunan rakyat (NTPR) di bulan Mei berkisar 141,06 turun sebesar 15,98 poin, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan NTP secara umum. Kejadian ini tetap berlanjut di bulan Juni, NTPR kembali turun sebesar 6,52 poin menjadi 134,54.
Penurunan angka NTPR ini menggambarkan bahwa daya beli petani perkebunan Jambi yang mengalami penurunan. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan di tengah pendapatan yang turun, mengharuskan petani untuk lebih cermat dalam mengatur pengeluarannya.
Berdasarkan struktur perekonomian Provinsi Jambi seperti kita ketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan berkontribusi sebesar 31,56 persen atau hampir sepertiga dari PDRB Provinsi Jambi. Dari total kontribusi sektor pertanian, kehutanan dan perikanan tersebut, sekitar 67,60 persen itu berasal dari subsektor perkebunan.
Coba bayangkan bila subsektor perkebunan Jambi mengalami kontraksi, sudah barang tentu akan berpengaruh kepada kinerja perekonomian Jambi. Pertumbuhan ekonomi yang mulai positif sejak pandemi Covid-19, kemungkinan akan sedikit terganggu dengan adanya penurunan harga komoditas sawit pada kurun waktu 2 bulan terakhir.
Untuk itu Pemerintah Provinsi Jambi perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga agar perekonomian Jambi dapat terus tumbuh. Pertama menjaga stabilitas harga sawit, terutama harga di tingkat petani. Memang sulit untuk menjaga stabilitas harga sawit, karena masih sangat tergantung dengan permintaan pasar luar negeri. Kedua mendorong hilirisasi produk-produk yang berasal dari olahan kelapa sawit. Pemerintah Provinsi Jambi bisa mengundang para investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Jambi untuk program hilirisasi ini.
Ketiga pemerintah perlu memberikan bantuan kepada petani-petani perkebunan gurem yang ada di Jambi. Kelompok ini sudah pasti menjadi pihak yang paling terdampak dengan harga sawit yang turun. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan bisa berupa bantuan sarana produksi pertanian seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan pestisida. Bantuan ini pasti sangat membantu mengurangi beban para petani gurem.
Hasil pendapatan dari perkebunan sawit sebenarnya sangat menjanjikan ketika ditunjang dengan harga yang bagus. Berbeda dengan pertanian tanaman pangan yang proses produksinya cukup lama, perkebunan sawit bisa berproduksi/dipanen dua kali dalam setiap bulannya.
Semoga dengan perhatian dan kerja keras pemerintah, harga sawit dapat segera stabil. Ini bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan petani tetapi juga menjaga perekonomian Provinsi Jambi semakin baik. Penulis: Nopriansyah, SST, MSi, Statistisi BPS Provinsi Jambi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022
Setelah hampir satu bulan pelarangan ekspor CPO, akhirnya kebijakan tersebut dicabut pada 23 Mei 2022. Presiden Jokowi menyebutkan pencabutan larangan ini disebabkan karena pasokan minyak goreng di dalam negeri yang sudah kembali melimpah, penurunan harga minyak goreng curah, dan pertimbangan nasib pekerja di industri sawit.
Pelarangan ekspor CPO yang sempat dilakukan pemerintah tersebut tentu saja sangat berpengaruh pada harga sawit, terutama harga di tingkat petani. Sebelumnya di awal bulan April, harga sawit masih sangat tinggi yaitu mencapai 3000-an per kilogram, tetapi setelah pelarangan ekspor harga sawit terjun bebas menjadi 700-an per kilogram. Hal ini tentu saja menyulitkan para petani sawit, karena dengan harga serendah itu mereka tetap harus mengeluarkan biaya produksi yang tidak turut mengalami penurunan.
Sekarang larangan ekspor CPO memang sudah dicabut oleh pemerintah Indonesia, akan tetapi harga sawit masih tidak kunjung membaik. Lambat-laun keadaan ini dapat berdampak pada perekonomian petani, terutama yang berusaha di subsektor perkebunan.
Dampak harga sawit yang turun tersebut terlihat jelas dari data nilai tukar petani (NTP). BPS merilis bahwa sejak bulan Mei NTP Jambi terus mengalami penurunan, padahal sebelumnya mengalami kenaikan. NTP Jambi di bulan Mei mencapai 131,50, turun sebesar 12,37 poin dibandingkan dengan bulan April 2022. Penurunan terus berlanjut di bulan Juni, NTP Juni sekitar 127,31 artinya mengalami penurunan sebesar 4,19 poin.
Bila dilihat lebih dalam lagi, langsung berdasarkan subsektor perkebunan, pengaruh penurunan harga sawit sangat terasa bagi petani perkebunan. NTP subsektor perkebunan rakyat (NTPR) di bulan Mei berkisar 141,06 turun sebesar 15,98 poin, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan NTP secara umum. Kejadian ini tetap berlanjut di bulan Juni, NTPR kembali turun sebesar 6,52 poin menjadi 134,54.
Penurunan angka NTPR ini menggambarkan bahwa daya beli petani perkebunan Jambi yang mengalami penurunan. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan di tengah pendapatan yang turun, mengharuskan petani untuk lebih cermat dalam mengatur pengeluarannya.
Berdasarkan struktur perekonomian Provinsi Jambi seperti kita ketahui bahwa sektor pertanian, kehutanan dan perikanan berkontribusi sebesar 31,56 persen atau hampir sepertiga dari PDRB Provinsi Jambi. Dari total kontribusi sektor pertanian, kehutanan dan perikanan tersebut, sekitar 67,60 persen itu berasal dari subsektor perkebunan.
Coba bayangkan bila subsektor perkebunan Jambi mengalami kontraksi, sudah barang tentu akan berpengaruh kepada kinerja perekonomian Jambi. Pertumbuhan ekonomi yang mulai positif sejak pandemi Covid-19, kemungkinan akan sedikit terganggu dengan adanya penurunan harga komoditas sawit pada kurun waktu 2 bulan terakhir.
Untuk itu Pemerintah Provinsi Jambi perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga agar perekonomian Jambi dapat terus tumbuh. Pertama menjaga stabilitas harga sawit, terutama harga di tingkat petani. Memang sulit untuk menjaga stabilitas harga sawit, karena masih sangat tergantung dengan permintaan pasar luar negeri. Kedua mendorong hilirisasi produk-produk yang berasal dari olahan kelapa sawit. Pemerintah Provinsi Jambi bisa mengundang para investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Jambi untuk program hilirisasi ini.
Ketiga pemerintah perlu memberikan bantuan kepada petani-petani perkebunan gurem yang ada di Jambi. Kelompok ini sudah pasti menjadi pihak yang paling terdampak dengan harga sawit yang turun. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan bisa berupa bantuan sarana produksi pertanian seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan pestisida. Bantuan ini pasti sangat membantu mengurangi beban para petani gurem.
Hasil pendapatan dari perkebunan sawit sebenarnya sangat menjanjikan ketika ditunjang dengan harga yang bagus. Berbeda dengan pertanian tanaman pangan yang proses produksinya cukup lama, perkebunan sawit bisa berproduksi/dipanen dua kali dalam setiap bulannya.
Semoga dengan perhatian dan kerja keras pemerintah, harga sawit dapat segera stabil. Ini bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan petani tetapi juga menjaga perekonomian Provinsi Jambi semakin baik. Penulis: Nopriansyah, SST, MSi, Statistisi BPS Provinsi Jambi.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022