Saat ini banyak negara yang tengah dihadapkan dengan jurang resesi global. Ancaman itu, mulai dari konflik tak berkesudahan antara Rusia dengan Ukraina, kebijakan moneter tak menentu dari AS, hingga tingginya tingkat inflasi di banyak negara. Apabila tidak kunjung membaik, hal ini akan berujung pada perlambatan laju perekonomian global secara jangka panjang.
Laju positif kinerja ekonomi Indonesia ditunjukkan dengan adanya laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2023 berada pada level 5,17 persen secara tahunan (yoy).
Meskipun terbilang melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,44 persen (yoy), pertumbuhan itu masih menunjukkan perekonomian yang solid bagi negara di kawasan Asia Tenggara, mengingat kondisi perekonomian global saat ini.
Secara kuartalan, ekonomi Indonesia mengalami kenaikan sebesar 3,86 persen bila dibandingkan dengan kuartal I-2023.
Mengacu pada data dari CEIC Data Global Database, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II tahun ini telah mengungguli negara-negara maju lain, seperti AS, Korea Selatan, hingga Singapura.
CEIC Data Global Database melaporkan pertumbuhan ekonomi Vietnam tercatat di level 4,14 persen, Singapura di level 0,70 persen, AS 2,70 persen, Taiwan 1,45 persen, Arab Saudi di level 1,10 persen serta Korea Selatan yang mencatatkan 0,87 persen.
Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian menilai dari hasil laporan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang cukup solid mengungguli negara lain dengan tingkat inflasi yang relatif terkendali.
Kondisi itu terjadi berkat kebijakan makro saat ini yang difokuskan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan agar dapat menghadapi guncangan ekonomi di masa mendatang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di bawah China yang tercatat 6,3 persen, dan Uzbekistan sebesar 5,6 persen.
Begitu juga dari segi inflasi, Indonesia termasuk yang terendah di level 3,08 persen dibandingkan dengan negara-negara sekaliber Jerman yang masih 6,17 persen, Prancis 4,26 persen, serta Turki yang tercatat tinggi 47,83 persen.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang cukup gemilang ini banyak ditopang oleh beberapa sektor andalan. Menyadur data dari BPS, aspek pertumbuhan PDB konsumsi rumah tangga menunjukan percepatan dari 4,54 persen (yoy) pada kuartal I-2023 menjadi 5,23 persen (yoy) pada kuartal II-2023.
Beberapa faktor turut berkontribusi terhadap percepatan itu, seperti konsumsi masyarakat pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan libur sekolah. Kemudian masyarakat juga mengalami peningkatan daya beli akibat pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan dan gaji ke-13 pegawai negeri sipil.
Pada sektor pengeluaran pemerintah juga telah mengalami lonjakan yang signifikan sebesar 10,62 persen (yoy). Hal itu merupakan buntut dari berakhirnya pengetatan selama pandemi COVID-19 sehingga memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sektor-sektor yang kondusif bagi ekspansi ekonomi.
Di samping itu, sektor manufaktur mempertahankan posisinya sebagai kontributor utama pertumbuhan PDB dengan menyumbang sekitar 18,25 persen.
Transportasi dan Pergudangan, bersama dengan aktivitas akomodasi dan makanan minuman juga tetap mempertahankan statusnya sebagai sektor dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi pada kuartal II-2023, meskipun melambat dibandingkan kaurtal I-2023. Pertumbuhan itu sebagian besar disebabkan oleh proses normalisasi.
Ekonomi global
Di tengah laju pertumbuhan yang positif, tentu perjalanan Indonesia untuk mempertahankan ketangguhan ekonominya masih perlu melewati banyak rintangan. Untuk saat ini, lanskap ekonomi global yang masih lesu dipercaya menjadi rintangan utama.
Hal itu telah tercermin dari kontraksi kinerja ekspor dan impor Indonesia. Eskpor Indonesia terkontraksi di angka -2,75 persen (yoy) pada kuartal II-2023. Begitu juga dengan impor yang mengalami kontraksi sebesar -3,08 persen.
Dengan mengacu pada indikator tersebut, Ekonom Senior Bank Mandiri Faisal Rachman memproyeksikan kegiatan ekspor Indonesia ke depan masih akan melemah sejalan dengan perlambatan ekonomi global yang jadi tantangan bagi kinerja sektor eksternal.
Belum lagi pemerataan ekonomi yang masih menjadi tugas utama pemerintah agar tak hanya memfokuskan pertumbuhan di Pulau Jawa. Hal itu dapat dilihat dari pertumbuhan PDB wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) yang masih terkontraksi 1,54 persen.
Deputi Bidang Neraca dan Analis Statistik BPS Moh Edy Mahmud menyampaikan hal itu disebabkan karena adanya kontraksi dalam lapangan usaha pertambangan dan penggalian sebesar 24,45 persen.
Sementara itu, arus investasi, khususnya penanaman modal asing (PMA), kemungkinan akan tumbuh melambat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dikarenakan para investor asing yang cenderung bersikap "wait and see".
Namun sebaliknya, konsumsi domestik diproyeksikan akan tetap kuat didorong oleh faktor-faktor, seperti membaiknya mobilitas masyarakat, menurunnya infasi didukung dengan kebijakan fiskal yang solid.
Apabila dikaji lebih jauh, di tengah jurang resesi global yang mengintai, justru lanskap ekonomi domestik Indonesia ke depan banyak menyimpan potensi yang dapat merealisasikan target ekonomi di atas 5,3 persen hingga akhir tahun.
Hal itu juga diungkapkan oleh Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyampaikan bahwa menjelang tahun politik, periode kampanye mempunyai potensi untuk mendongkrak pengeluaran konsumen pada kuartal IV-2023.
Pengeluaran konsumen itu diharapkan tumbuh dengan kuat menjelang pemilu karena aktivitas kampanye dari para kandidat peserta pilpres dan pileg.
Selain itu, 158 proyek strategis nasional (PSN) senilai Rp1.102,6 triliun yang telah rampung tentu turut berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Beragam infrastruktur yang dibangun dapat meningkatkan fasilitas publik yang didapatkan oleh masyarakat.
Yang terpenting, PSN diharapkan mampu mendorong efisiensi dalam hal transportasi dan logistik yang akan berimplikasi pada peningkatan produktivitas perekonomian di seluruh daerah di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa.
Jadi negara maju
Menko Airlangga sendiri menilai bahwa kinerja ekonomi Indonesia telah di atas 5 persen secara tujuh kuartal berturut-turut. Hal itu juga yang telah mengantarkan Indonesia untuk kembali ke dalam kategori negara "upper middle income" berdasarkan klasifikasi Bank Dunia (World Bank).
GNI Per Kapita Indonesia naik menjadi 4.580 dolar AS pada tahun 2022 dari yang sebelumnya 4.170 dolar AS pada 2021. Indonesia pada kategori yang sama dengan China yang tercatat 12.850 dolar AS, Malaysia 11.780 dolar AS, serta Meksiko 10.410 dolar AS.
Pemerintah berharap pada akhir 2024, Indonesia mampu mencapai GNI Per Kapita 5.500 dolar AS.
Dengan pencapaian itu pula apabila Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5,3 persen hingga akhir tahun, maka bukan hal yang mustahil bagi Indonesia untuk naik ke level negara maju dalam 13 tahun ke depan.
Sebagai cerminan ketangguhan ekonomi, pertumbuhan tersebut adalah bukti nyata bahwa meskipun diterpa badai resesi global, Indonesia masih mampu berproses sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045 serta melanggengkan harapan untuk menjadi negara maju.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023