Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada di kisaran 4,8 persen sampai dengan 5,6 persen pada 2025.
Untuk asumsi makro 2025, BI juga memandang rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di rentang Rp15.300 sampai dengan Rp15.700 per dolar AS. Sedangkan inflasi nasional pada 2025 diperkirakan berkisar antara 1,5-3,5 persen.
"Kondisi ekonomi global yang serba tidak menentu, banyak dinamika dan tantangan-tantangan, tentu saja akan berdampak kepada ekonomi Indonesia tahun ini dan juga tahun ke depan. Bank Indonesia menekankan kepada lima risiko utama," kata Perry di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut disampaikan Perry dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI tentang pembahasan asumsi dasar dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025.
Rapat tersebut juga dilakukan bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Asumsi makro 2025 tersebut didasarkan dengan mempertimbangkan lima risiko utama yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, nilai tukar rupiah dan inflasi dalam negeri.
Lima risiko tersebut adalah pertumbuhan ekonomi global yang melambat, harga komoditas yang bergejolak, suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) Fed Funds Rate (FFR) yang bertahan di level tinggi untuk waktu yang lama (higher for longer), dolar AS yang masih kuat, serta inflasi global yang turun sangat lambat.
Sementara untuk 2024, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen, nilai tukar rupiah berada di rentang Rp15.700 sampai dengan Rp16.100 per dolar AS, serta inflasi domestik berkisar 1,5 persen hingga 3,5 persen.
Lebih lanjut, Perry menuturkan pertumbuhan ekonomi global tidak hanya stagnan namun juga melambat. Negara-negara mitra dagang utama Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
"Kondisi pertumbuhan ekonomi global ini tentu saja akan berpengaruh sumber-sumber pertumbuhan dari ekspor yang memerlukan suatu kerja keras supaya bisa menjadi pendukung pertumbuhan," tuturnya.
Di sisi lain, harga komoditas juga berdampak pada inflasi global yang menurun dengan sangat lambat. Kondisi tersebut juga akan berdampak pada upaya dalam mengendalikan inflasi di dalam negeri baik berkaitan dengan harga minyak maupun juga harga pangan.
Sementara BI memperkirakan FFR akan turun pada akhir 2024 sekitar 25 basis poin (bps), dan sekitar 52 bps pada semester pertama di tahun 2025.
Dolar AS juga masih kuat sehingga memberikan tekanan terhadap nilai tukar mata uang di seluruh dunia termasuk rupiah.
Selain itu, risiko geopolitik global juga tinggi sehingga perlu menjaga arus modal untuk terus masuk ke dalam negeri dalam rangka menjaga stabilitas.
"Ini tentu saja lima hal yang berpengaruh kepada tiga asumsi makro yang kami sampaikan yaitu pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan inflasi," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
Untuk asumsi makro 2025, BI juga memandang rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di rentang Rp15.300 sampai dengan Rp15.700 per dolar AS. Sedangkan inflasi nasional pada 2025 diperkirakan berkisar antara 1,5-3,5 persen.
"Kondisi ekonomi global yang serba tidak menentu, banyak dinamika dan tantangan-tantangan, tentu saja akan berdampak kepada ekonomi Indonesia tahun ini dan juga tahun ke depan. Bank Indonesia menekankan kepada lima risiko utama," kata Perry di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut disampaikan Perry dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI tentang pembahasan asumsi dasar dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025.
Rapat tersebut juga dilakukan bersama dengan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Asumsi makro 2025 tersebut didasarkan dengan mempertimbangkan lima risiko utama yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, nilai tukar rupiah dan inflasi dalam negeri.
Lima risiko tersebut adalah pertumbuhan ekonomi global yang melambat, harga komoditas yang bergejolak, suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) Fed Funds Rate (FFR) yang bertahan di level tinggi untuk waktu yang lama (higher for longer), dolar AS yang masih kuat, serta inflasi global yang turun sangat lambat.
Sementara untuk 2024, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen, nilai tukar rupiah berada di rentang Rp15.700 sampai dengan Rp16.100 per dolar AS, serta inflasi domestik berkisar 1,5 persen hingga 3,5 persen.
Lebih lanjut, Perry menuturkan pertumbuhan ekonomi global tidak hanya stagnan namun juga melambat. Negara-negara mitra dagang utama Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
"Kondisi pertumbuhan ekonomi global ini tentu saja akan berpengaruh sumber-sumber pertumbuhan dari ekspor yang memerlukan suatu kerja keras supaya bisa menjadi pendukung pertumbuhan," tuturnya.
Di sisi lain, harga komoditas juga berdampak pada inflasi global yang menurun dengan sangat lambat. Kondisi tersebut juga akan berdampak pada upaya dalam mengendalikan inflasi di dalam negeri baik berkaitan dengan harga minyak maupun juga harga pangan.
Sementara BI memperkirakan FFR akan turun pada akhir 2024 sekitar 25 basis poin (bps), dan sekitar 52 bps pada semester pertama di tahun 2025.
Dolar AS juga masih kuat sehingga memberikan tekanan terhadap nilai tukar mata uang di seluruh dunia termasuk rupiah.
Selain itu, risiko geopolitik global juga tinggi sehingga perlu menjaga arus modal untuk terus masuk ke dalam negeri dalam rangka menjaga stabilitas.
"Ini tentu saja lima hal yang berpengaruh kepada tiga asumsi makro yang kami sampaikan yaitu pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan inflasi," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024