Upaya pemerintah untuk memberantas praktik perjudian online terus dilakukan. Kementerian/lembaga saling berkoordinasi melalui pembentukan Satgas Pemberantasan Judi Online.
Namun para pelaku judi online tampaknya masih tetap gencar melakukan aksinya untuk menggaet minat masyarakat.
Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online dibentuk secara resmi oleh Presiden RI Joko Widodo pada 14 Juni 2024 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024. Satgas Pemberantasan Judi Online dipimpin oleh Menko Polhukam RI.
Satgas Pemberantasan Perjudian Online bertugas antara lain mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring secara efektif dan efisien, meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga dan kerja sama luar negeri dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring.
Selain itu, menyelaraskan dan menetapkan pelaksanaan kebijakan strategis serta merumuskan rekomendasi dalam mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring.
Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah perbuatan para pelaku dalam jaringan judi online yang melakukan praktik jual beli rekening dengan menyasar masyarakat di pedesaan.
Untuk mengawasi dan memberantas itu, Satgas Pemberantasan Judi Online melibatkan babinsa TNI dan bhabinkamtibmas Polri serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK sejauh ini telah mendata 4.000 - 5.000 rekening yang diduga terlibat jaringan judi online. Data itu diserahkan PPATK ke Bareskrim Polri untuk pendalaman lebih lanjut.
Penjudi online berasal dari beragam latar belakang, mulai dari polisi, tentara, wartawan, hingga ASN.
Upaya pencegahan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menjadi bagian dari Anggota Bidang Pencegahan Satgas Pemberantasan Perjudian Daring.
Keterlibatan KemenPPPA dalam satgas ini lantaran maraknya praktik judi online di masyarakat yang tidak hanya menyasar pengguna orang dewasa, tetapi juga menyasar ke anak-anak.
Berdasarkan data demografi yang dirilis oleh PPATK, pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari total keseluruhan pemain. Hal ini tentu akan berdampak buruk terhadap masa depan anak jika tidak segera ditangani.
PPATK juga merinci demografi pemain judi online lebih kurang ada 4.000.000 orang yang pengelompokannya dilakukan berdasarkan kategori usia < 10 tahun sebanyak 2 persen, usia 10 – 20 tahun sebanyak 11 persen, usia 21 - ≤ 30 tahun sebanyak 13 persen, usia 30 – 50 tahun sebanyak 40 persen, dan usia ≥ 50 tahun sebanyak 34 persen.
Padahal perjudian merupakan salah satu kegiatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian finansial, gangguan sosial, dan psikologis yang dapat menimbulkan efek tindak kriminal lanjutan, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.
"Aktivitas judi online dapat melibatkan anak sebagai pelaku, korban, saksi maupun anak dari pelaku perjudian. Dari sisi tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga, jika orang tua menjadi pelaku judi online, anak akan berpotensi menjadi korban kekerasan hingga penelantaran. Anak juga bisa menjadi korban stigmatisasi akibat dari aktivitas judi yang dilakukan oleh orang tuanya," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.
KemenPPPA pun gencar melakukan upaya pencegahan judi online yang meliputi internalisasi materi etika digital, literasi digital dan dampak negatif judi online dalam satuan pendidikan; melakukan serangkaian program sosialisasi, workshop, seminar bagi tenaga pendidik terkait penyebaran pemahaman mengenai bahaya dan kerugian perjudian online.
Selain itu, juga dengan melakukan program pengembangan kesadaran terhadap kesehatan mental maupun layanan konseling di lembaga pendidikan, menyediakan wadah kreativitas dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan kewirausahaan, serta sosialisasi larangan judi di berbagai platform.
Upaya pencegahan lainnya adalah melibatkan kelembagaan masyarakat yang dibentuk oleh KemenPPPA seperti PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), relawan SAPA, Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), Forum Anak, dan lainnya.
KemenPPPA juga bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk penanganan kasus judi online yang melibatkan anak sebagai korban, pelaku, saksi, maupun anak dari pelaku khususnya untuk pendampingan.
"Upaya-upaya yang kami lakukan tidak terlepas untuk mengutamakan dan melindungi kepentingan terbaik bagi perempuan dan anak," kata Nahar.
Dampak pada keluarga
Sejauh ini, KemenPPPA telah menerima sedikitnya enam laporan masyarakat mengenai kasus judi online yang telah berdampak buruk pada keluarga pelapor.
Sejumlah pengaduan masyarakat tersebut disampaikan melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
Enam kasus itu berasal dari Madiun, Tangerang, dua kasus dari Jombang, Jakarta Utara, dan Tasikmalaya. Pelapor kebanyakan adalah para istri yang suaminya berjudi.
"Karena suaminya berjudi, sudah ketergantungan sama judi, (suami) kayak punya keyakinan bahwa judi itu akan membuat hidupnya lebih baik, tetapi dampak akhirnya dia enggak punya uang, gajinya hilang, dia enggak peduli dengan anaknya," kata Nahar, menjelaskan. Bahkan, ada yang si suami sampai menjual perlengkapan sekolah anaknya untuk berjudi.
Di antara enam kasus itu, ada yang terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anaknya terancam tidak sekolah, maupun istri yang memindahkan anak dari rumah kontrakan karena kondisi rumah yang tidak kondusif lantaran suami tidak bisa lepas dari judi. Dampak judi online terhadap keluarga sangat membuat miris hati.
Nahar mengatakan pihaknya mendapati laporan terkait istri yang dijual oleh suaminya sendiri demi bisa bermain judi online. Kasus ini terjadi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Bahkan, sang suami mengancam istrinya akan mendapatkan kekerasan jika menolak perintahnya.
Merasa tak berdaya, sang istri menuruti keinginan suaminya untuk menjual dirinya ke laki-laki lain sebanyak 10 kali.
Melihat besarnya dampak negatif judi online, maka perlu ada kesadaran dari masyarakat untuk tidak bermain judi online. Selain itu, sosialisasi dan edukasi tentang bahaya judi online juga harus terus dilakukan.
Masyarakat perlu diingatkan bahwa bermain judi online tidak akan membuat kaya. Alih-alih kekayaan yang didapat, malah ekonomi dan keluarga jadi berantakan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
Namun para pelaku judi online tampaknya masih tetap gencar melakukan aksinya untuk menggaet minat masyarakat.
Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online dibentuk secara resmi oleh Presiden RI Joko Widodo pada 14 Juni 2024 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024. Satgas Pemberantasan Judi Online dipimpin oleh Menko Polhukam RI.
Satgas Pemberantasan Perjudian Online bertugas antara lain mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring secara efektif dan efisien, meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga dan kerja sama luar negeri dalam upaya pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring.
Selain itu, menyelaraskan dan menetapkan pelaksanaan kebijakan strategis serta merumuskan rekomendasi dalam mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring.
Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah perbuatan para pelaku dalam jaringan judi online yang melakukan praktik jual beli rekening dengan menyasar masyarakat di pedesaan.
Untuk mengawasi dan memberantas itu, Satgas Pemberantasan Judi Online melibatkan babinsa TNI dan bhabinkamtibmas Polri serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK sejauh ini telah mendata 4.000 - 5.000 rekening yang diduga terlibat jaringan judi online. Data itu diserahkan PPATK ke Bareskrim Polri untuk pendalaman lebih lanjut.
Penjudi online berasal dari beragam latar belakang, mulai dari polisi, tentara, wartawan, hingga ASN.
Upaya pencegahan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menjadi bagian dari Anggota Bidang Pencegahan Satgas Pemberantasan Perjudian Daring.
Keterlibatan KemenPPPA dalam satgas ini lantaran maraknya praktik judi online di masyarakat yang tidak hanya menyasar pengguna orang dewasa, tetapi juga menyasar ke anak-anak.
Berdasarkan data demografi yang dirilis oleh PPATK, pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari total keseluruhan pemain. Hal ini tentu akan berdampak buruk terhadap masa depan anak jika tidak segera ditangani.
PPATK juga merinci demografi pemain judi online lebih kurang ada 4.000.000 orang yang pengelompokannya dilakukan berdasarkan kategori usia < 10 tahun sebanyak 2 persen, usia 10 – 20 tahun sebanyak 11 persen, usia 21 - ≤ 30 tahun sebanyak 13 persen, usia 30 – 50 tahun sebanyak 40 persen, dan usia ≥ 50 tahun sebanyak 34 persen.
Padahal perjudian merupakan salah satu kegiatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian finansial, gangguan sosial, dan psikologis yang dapat menimbulkan efek tindak kriminal lanjutan, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.
"Aktivitas judi online dapat melibatkan anak sebagai pelaku, korban, saksi maupun anak dari pelaku perjudian. Dari sisi tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga, jika orang tua menjadi pelaku judi online, anak akan berpotensi menjadi korban kekerasan hingga penelantaran. Anak juga bisa menjadi korban stigmatisasi akibat dari aktivitas judi yang dilakukan oleh orang tuanya," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar.
KemenPPPA pun gencar melakukan upaya pencegahan judi online yang meliputi internalisasi materi etika digital, literasi digital dan dampak negatif judi online dalam satuan pendidikan; melakukan serangkaian program sosialisasi, workshop, seminar bagi tenaga pendidik terkait penyebaran pemahaman mengenai bahaya dan kerugian perjudian online.
Selain itu, juga dengan melakukan program pengembangan kesadaran terhadap kesehatan mental maupun layanan konseling di lembaga pendidikan, menyediakan wadah kreativitas dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan kewirausahaan, serta sosialisasi larangan judi di berbagai platform.
Upaya pencegahan lainnya adalah melibatkan kelembagaan masyarakat yang dibentuk oleh KemenPPPA seperti PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), relawan SAPA, Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), Forum Anak, dan lainnya.
KemenPPPA juga bersinergi dengan aparat penegak hukum untuk penanganan kasus judi online yang melibatkan anak sebagai korban, pelaku, saksi, maupun anak dari pelaku khususnya untuk pendampingan.
"Upaya-upaya yang kami lakukan tidak terlepas untuk mengutamakan dan melindungi kepentingan terbaik bagi perempuan dan anak," kata Nahar.
Dampak pada keluarga
Sejauh ini, KemenPPPA telah menerima sedikitnya enam laporan masyarakat mengenai kasus judi online yang telah berdampak buruk pada keluarga pelapor.
Sejumlah pengaduan masyarakat tersebut disampaikan melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
Enam kasus itu berasal dari Madiun, Tangerang, dua kasus dari Jombang, Jakarta Utara, dan Tasikmalaya. Pelapor kebanyakan adalah para istri yang suaminya berjudi.
"Karena suaminya berjudi, sudah ketergantungan sama judi, (suami) kayak punya keyakinan bahwa judi itu akan membuat hidupnya lebih baik, tetapi dampak akhirnya dia enggak punya uang, gajinya hilang, dia enggak peduli dengan anaknya," kata Nahar, menjelaskan. Bahkan, ada yang si suami sampai menjual perlengkapan sekolah anaknya untuk berjudi.
Di antara enam kasus itu, ada yang terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anaknya terancam tidak sekolah, maupun istri yang memindahkan anak dari rumah kontrakan karena kondisi rumah yang tidak kondusif lantaran suami tidak bisa lepas dari judi. Dampak judi online terhadap keluarga sangat membuat miris hati.
Nahar mengatakan pihaknya mendapati laporan terkait istri yang dijual oleh suaminya sendiri demi bisa bermain judi online. Kasus ini terjadi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Bahkan, sang suami mengancam istrinya akan mendapatkan kekerasan jika menolak perintahnya.
Merasa tak berdaya, sang istri menuruti keinginan suaminya untuk menjual dirinya ke laki-laki lain sebanyak 10 kali.
Melihat besarnya dampak negatif judi online, maka perlu ada kesadaran dari masyarakat untuk tidak bermain judi online. Selain itu, sosialisasi dan edukasi tentang bahaya judi online juga harus terus dilakukan.
Masyarakat perlu diingatkan bahwa bermain judi online tidak akan membuat kaya. Alih-alih kekayaan yang didapat, malah ekonomi dan keluarga jadi berantakan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024