Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memaparkan beberapa dampak tekanan ekonomi di Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia.

Pertama adalah adanya peningkatan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

"Kalau ada indikator resesi yang semakin menguat, ketidakjelasan sikap dari bank sentral Amerika, (maka para investor bisa beralih) ke safe haven-nya (aset yang lebih aman) bisa beragam, bisa emas, bisa kemudian dolar Amerika dalam jangka menengah,” ujarnya dalam Biweekly Brief CELIOS yang diadakan secara virtual, Jakarta, Senin.

Implikasi kedua ialah cadangan devisa Indonesia bisa menurun akibat pelemahan permintaan ekspor ke AS. Kendati memang ekspor Indonesia ke AS tidak sebesar ke China, tetapi bahan baku atau barang setengah jadi yang dikirim ke China juga akan diolah dan berakhir di pasar AS.

Artinya, apabila permintaan domestik AS melemah, tentu memberikan efek terhadap kinerja ekspor Tanah Air.

Baca juga: Airlangga waspadai risiko yang dihadapi RI jika ekonomi AS resesi

Efek selanjutnya adalah suku bunga AS yang masih tinggi bakal mencegah dana asing keluar, terutama dari pasar surat berharga. Jikalau bank sentral AS melakukan pemangkasan 25 basis points (bps), itu belum tentu diikuti pemotongan lebih besar ke depannya.

Dalam arti lain, suku bunga yang tinggi ke depan masih tetapi diperlukan untuk menjaga nilai tukar rupiah atau menahan aliran modal keluar (capital outflow) tetap di dalam negeri dengan iming-iming imbal hasil surat utang masih menarik.

“DI sisi yang lain, tentunya banyak pelaku usaha kalau suku bunga terus bertahan cukup tinggi atau pemangkasannya hanya 25 basis points, banyak pelaku usaha yang mengandalkan pinjaman, terutama pinjaman dalam bentuk domestik, ini menjadi sangat berat. Kemudian yang berikutnya, ini ada tekanan dari sisi pemerintah, karena pemerintah juga butuh sebenarnya dana asing untuk membeli surat hutang pemerintah, meskipun porsi dana asing di SBN-nya (Surat Berharga Negara) semakin kecil, tetapi SBN ini masih tetap membutuhkan aliran modal dari luar,” ucap Bhima.

Adanya resesi ekonomi AS yang berdampak terhadap minat investor membeli surat utang pemerintah dinilai akan berdampak terhadap kesulitan mencari pembiayaan program-program pemerintah tahun 2025, menutup defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024, dan membayar hutang jatuh tempo yang akan semakin besar pada tahun depan.

Baca juga: Presiden minta target ekonomi disusun cerminkan kehati-hatian resesi

“Ini jadi punya implikasi resesi kepada kesulitan pemerintah untuk mengakses pembiayaan yang murah,” ungkap dia.

Dalam kesempatan tersebut, Bhima memaparkan pula indikasi ekonomi AS yang mengarah pada resesi.

Mulai dari tingkat pengangguran di AS naik 4,3 persen per Juli 2024, angka pembukaan lowongan kerja di AS dari 12,1 juta orang pada Maret 2022 menjadi 8,1 juta pada Juni 2024, lalu Sahm Rule (indikator melihat gejala resesi ekonomi) di atas 0,5 persen, yang berarti potensi resesi di AS cukup besar akan terjadi.

Dua tanda terakhir yaitu pemilu AS semakin sulit diprediksi seiring peningkatan tensi politik pasca penembakan Donald Trump, serta penurunan tajam indeks saham di AS, terutama NASDAQ minus 8,59 persen month to month (mtm) dan S&P 500 minus 3,96 persen mtm.

“Memang dalam satu minggu ke belakang, bahkan satu bulan ke belakang itu terjadi tekanan, dana yang keluar cukup besar (di bursa saham). Jadi banyak yang melakukan sell off di bursa saham NASDAQ dan S&P 500, dan ini salah satu jadi indikator juga ada kepanikan di pasar keuangan Amerika,” katanya.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024