Ahmed Asaleia (45), seorang pria Palestina yang mengungsi dari Jabalia, Jalur Gaza utara, berhasil melarikan diri dari serangan Israel menuju kamp pengungsi Al-Shati di sebelah barat Gaza City.
"Saat ledakan terdengar dari berbagai arah di sekitar saya, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan selamat bersama keluarga saya dan tetap hidup hingga saat ini," kata ayah lima anak itu kepada Xinhua.
Selama 11 hari beruntun, tentara Israel melanjutkan operasi daratnya di Jabalia dan daerah sekitarnya. Penduduk setempat mengatakan pasukan Israel telah sepenuhnya mengisolasi wilayah utara, mengepung puluhan ribu keluarga tanpa makanan, air, dan obat-obatan.
"Kematian begitu dekat dengan kami, namun ajaibnya kami berhasil melarikan diri dari pengeboman dan hujan peluru," ujar Asaleia.
Bagi Asaleia dan keluarga Palestina lainnya yang mengungsi dari Jabalia, bayang-bayang penderitaan terus menghantui mereka. Meskipun telah berhasil lolos dari maut, mereka harus terus berjuang setiap hari untuk mendapatkan makanan dan air, serta harus memikirkan keamanan mereka dari ancaman serangan berikutnya.
Menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Selasa (15/10), sejak 7 Oktober 2023, Israel telah melancarkan perang skala besar melawan Hamas di Gaza, yang telah menyebabkan 42.344 warga Palestina tewas serta kerusakan besar pada rumah dan infrastruktur.
Saat ini, Asaleia dan keluarganya tinggal di kamp Al-Shati. Di sana, mereka tidur di atas tanah tanpa atap untuk berteduh dan sering terbangun karena panik akibat suara ledakan yang terjadi berulang kali.
"Anak-anak saya hanya makan beberapa suap dalam sepekan. Bagaimana mereka bisa hidup?" tanya pria itu.
Bagi Samia Abu Warda, situasinya tidak jauh berbeda. Dia terpaksa mengungsi bersama tujuh anaknya dengan berjalan kaki dari Jabalia tujuh bulan yang lalu setelah suaminya tewas dalam serangan udara Israel.
"Hal yang paling membuat saya takut selama perjalanan pengungsian adalah berpacu dengan kematian di satu sisi, dan di sisi lainnya rasa kaget terhadap tingkat kehancuran yang berdampak pada semua aspek kehidupan," ujar Samia.
Dia menceritakan perjalanan pengungsian itu seperti film horor yang tidak pernah dibayangkan, bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun.
Dengan serangan yang terus berlanjut dan kesulitan sehari-hari, Asaleia maupun Samia tidak tahu kapan mereka akan berada dalam daftar kematian.
"Kami sendirian, dan tidak ada yang bisa melindungi kami. Kami semua akan mati dengan cepat karena pengeboman atau mati perlahan-lahan karena kelaparan," keluh mereka.
Kepala kantor media yang dikelola Hamas di Gaza, Ismail al-Thawabta mengatakan bahwa tentara Israel menghancurkan 150.000 unit rumah dan merusak lebih dari 80.000 unit lainnya, sehingga tidak dapat dihuni.
"Serangan Israel juga meluluhlantakkan 125 universitas dan sekolah serta menyebabkan kehancuran sebagian pada 337 lebih institusi pendidikan lainnya. Perang ini juga menyebabkan lebih dari 780.000 murid tidak dapat mengenyam pendidikan selama dua tahun berturut-turut," ujar al-Thawabta.
Seorang pengungsi lainnya yang berasal dari Gaza, Tayseer Awad mengatakan seiring dengan berlarutnya perang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun, harapan orang-orang akan berakhirnya semua kematian, pengeboman, dan kehancuran kian memudar.
"Bahkan jika perang ini berhenti ... berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk membersihkan reruntuhan dan, yang lebih penting lagi, berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk memulihkan diri kami?" kata Awad.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
"Saat ledakan terdengar dari berbagai arah di sekitar saya, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan selamat bersama keluarga saya dan tetap hidup hingga saat ini," kata ayah lima anak itu kepada Xinhua.
Selama 11 hari beruntun, tentara Israel melanjutkan operasi daratnya di Jabalia dan daerah sekitarnya. Penduduk setempat mengatakan pasukan Israel telah sepenuhnya mengisolasi wilayah utara, mengepung puluhan ribu keluarga tanpa makanan, air, dan obat-obatan.
"Kematian begitu dekat dengan kami, namun ajaibnya kami berhasil melarikan diri dari pengeboman dan hujan peluru," ujar Asaleia.
Bagi Asaleia dan keluarga Palestina lainnya yang mengungsi dari Jabalia, bayang-bayang penderitaan terus menghantui mereka. Meskipun telah berhasil lolos dari maut, mereka harus terus berjuang setiap hari untuk mendapatkan makanan dan air, serta harus memikirkan keamanan mereka dari ancaman serangan berikutnya.
Menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Selasa (15/10), sejak 7 Oktober 2023, Israel telah melancarkan perang skala besar melawan Hamas di Gaza, yang telah menyebabkan 42.344 warga Palestina tewas serta kerusakan besar pada rumah dan infrastruktur.
Saat ini, Asaleia dan keluarganya tinggal di kamp Al-Shati. Di sana, mereka tidur di atas tanah tanpa atap untuk berteduh dan sering terbangun karena panik akibat suara ledakan yang terjadi berulang kali.
"Anak-anak saya hanya makan beberapa suap dalam sepekan. Bagaimana mereka bisa hidup?" tanya pria itu.
Bagi Samia Abu Warda, situasinya tidak jauh berbeda. Dia terpaksa mengungsi bersama tujuh anaknya dengan berjalan kaki dari Jabalia tujuh bulan yang lalu setelah suaminya tewas dalam serangan udara Israel.
"Hal yang paling membuat saya takut selama perjalanan pengungsian adalah berpacu dengan kematian di satu sisi, dan di sisi lainnya rasa kaget terhadap tingkat kehancuran yang berdampak pada semua aspek kehidupan," ujar Samia.
Dia menceritakan perjalanan pengungsian itu seperti film horor yang tidak pernah dibayangkan, bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun.
Dengan serangan yang terus berlanjut dan kesulitan sehari-hari, Asaleia maupun Samia tidak tahu kapan mereka akan berada dalam daftar kematian.
"Kami sendirian, dan tidak ada yang bisa melindungi kami. Kami semua akan mati dengan cepat karena pengeboman atau mati perlahan-lahan karena kelaparan," keluh mereka.
Kepala kantor media yang dikelola Hamas di Gaza, Ismail al-Thawabta mengatakan bahwa tentara Israel menghancurkan 150.000 unit rumah dan merusak lebih dari 80.000 unit lainnya, sehingga tidak dapat dihuni.
"Serangan Israel juga meluluhlantakkan 125 universitas dan sekolah serta menyebabkan kehancuran sebagian pada 337 lebih institusi pendidikan lainnya. Perang ini juga menyebabkan lebih dari 780.000 murid tidak dapat mengenyam pendidikan selama dua tahun berturut-turut," ujar al-Thawabta.
Seorang pengungsi lainnya yang berasal dari Gaza, Tayseer Awad mengatakan seiring dengan berlarutnya perang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun, harapan orang-orang akan berakhirnya semua kematian, pengeboman, dan kehancuran kian memudar.
"Bahkan jika perang ini berhenti ... berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk membersihkan reruntuhan dan, yang lebih penting lagi, berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk memulihkan diri kami?" kata Awad.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024