Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendorong pemerintah untuk melaksanakan sejumlah rekomendasi hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021.
BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas LKPP) Tahun 2021 dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Opini WTP atas LKPP Tahun 2021 tersebut sesuai dengan hasil pemeriksaan BPK terhadap LKPP, Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL), dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2021.
"Khususnya rekomendasi yang terkait dengan hasil pemeriksaan LKPP, LKKL, dan LKBUN," ungkap Isma Yatun.
Sejak 2005 hingga 2021, menurut Isma Yatun, BPK telah menyampaikan 19.802 temuan pemeriksaan LKP, LKKL dan LKBUN dengan 42.553 rekomendasi kepada entitas yang diperiksa.
"Hasil pemantauan atas tindak lanjut rekomendasi tersebut menunjukkan bahwa 75 persen telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi, 19 persen telah ditindaklanjuti namun belum sesuai dengan rekomendasi, 5 persen belum ditindaklanjuti, dan 1 persen tidak dapat ditindaklanjuti," tambah Isma Yatun.
Baca juga: Presiden: Opini WTP atas LKPP bukan tujuan akhir
Dengan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, Isma Yatun mengatakan dapat meningkatkan performa pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif dan inklusif dan mewujudkan kesejahteraan bangsa.
"Untuk itu kami mengharapkan Bapak Presiden dapat terus mendorong seluruh menteri dan pimpinan lembaga agar segera menindaklanjuti rekomendasi BPK. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah capaian realisasi penerimaan perpajakan tahun 2021 satu yang melampaui target dari UU APBN tahun 2021," tambah Isma Yatun.
Dalam laporannya, Isma Yatun menyebut ada empat LKKL yaitu Laporan Keuangan Kementerian Perdagangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tahun 2021 memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Namun, secara keseluruhan, pengecualian pada LKKL tersebut tidak berdampak material terhadap kewajaran LKPP Tahun 2021.
Hasil pemeriksaan BPK juga mengungkap delapan rekomendasi terkait temuan kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertama, mengenai pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan tahun 2021 sebesar Rp15,31 triliun belum sepenuhnya memadai. BPK merekomendasikan agar pemerintah menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas perpajakan yang telah dilakukan wajib pajak dan disetujui serta menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sangsinya untuk pemberian insentif dan fasilitas yang tidak sesuai.
Kedua, piutang pajak macet sebesar Rp20.84 triliun belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai. BPK merekomendasikan agar pemerintah melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum daluwarsa penagihan per 30 Juni 2002 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan.
Baca juga: BPK ingatkan temuan di LKPP 2021 diperbaiki untuk pengelolaan APBN
Ketiga, sisa dana investasi pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional tahun 2020 dan 2031 masih ada sebesar Rp7.5 triliun tidak dapat disalurkan kepada PT Garuda Indonesia dan kepada PT Krakatau Steel sebesar Rp800 miliar. BPK merekomendasikan agar pemerintah melakukan pengembalian sisa dana investasi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional kepada PT Garuda Indonesia sebesar Rp7,5 triliun ke rekening kas umum negara.
Keempat, perlakuan dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP sebagai investasi jangka panjang non permanen lainnya pada LKPP tahun 2021 belum didukung keselarasan regulasi, kejelasan skema pengelolaan dana, dan penyajian dalam laporan keuangan BP-Tapera. BPK merekomendasikan agar pemerintah menetapkan kebijakan akuntansi penyajian investasi jangka panjang non-permanen lainnya terkait pengelolaan dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan pada BP-Tapera sebagai badan hukum lainnya yang ditunjuk sebagai operator investasi pemerintah atau OIP.
Kelima, penganggaran pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja non program PC-PEN pada 80 kementerian/lembaga minimal sebesar Rp12,52 triliun belum sepenuhnya sesuai ketentuan. BPK merekomendasikan pemerintah agar memperbaiki mekanisme penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja.
Keenam, sisa Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler tahun 2020 dan 2021 minimal sebesar Rp1,25 triliun belum dapat disajikan sebagai piutang transfer ke daerah (TKD). BPK merekomendasikan agar pemerintah melakukan inventarisasi dan rekonsiliasi atas sisa dana BOS reguler tahun 2020 dan 2021.
Ketujuh, adanya kewajiban jangka panjang atas program pensiun yang telah diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. BPK merekomendasikan agar pemerintah memerintahkan tim "task force" mendukung percepatan penyelesaian pernyataan standar akuntansi pemerintahan atau PSAP mengenai imbalan kerja termasuk pengaturan masa transisi selama proses perubahan peraturan perundang-undangan terkait pension.
Kedelapan, adanya kelemahan penatausahaan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (in kraht) sehingga tidak dapat diketahui potensi hak dan kewajiban pemerintah secara keseluruhan. BPK rekomendasikan agar pemerintah menetapkan mekanisme pemantauan dan penatausahaan atas putusan hukum inkraht yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban atau pelepasan aset pemerintah sebagai dasar pelaporan keuangan pemerintah pusat.
Baca juga: BPK dorong pemerintah selesaikan rekomendasi hasil pemeriksaan