Jambi, (ANTARA Jambi) - Eksploitasi minyak bumi di Jambi pada zaman kolonial tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi perkembangan sosial ekonomi rakyat di daerah tersebut. 

Tiga daerah penghasil minyak bumi di Jambi; Bajubang, Tempino dan Kenali Asam hanya menjadi sapi perahan dua perusahaan minyak bumi milik kongsi Belanda dan Amerika Serikat; Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dan NV Nederlands Indische Aardolie Maatschappij (NIAM).

Tidak seperti tanaman karet yang dimiliki oleh rakyat dan hasilnya dinikmati sendiri oleh mereka, minyak bumi di Jambi dikuasai sepenuhnya oleh kolonial. Dua perusahaan itu dikontrol ketat oleh penguasa di Batavia dan Amerika. 

Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya "Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial (2008)" menuliskan, hingga 1938 tidak ada statistik khusus yang mencatat besar sumbangan Jambi dari sumur-sumur minyaknya ke pemerintah di Batavia. 

Hasil minyak Jambi seluruhnya dimasukan dalam catatan produksi Palembang. Hingga kini minyak Jambi tetap disuling di sana. Setelah  disedot dari bumi Jambi, minyak kemudian dialirkan melalui pipa sepanjang 250 kilometer ke Plaju, Sumatera Selatan. 

Dalam memorie van overgave (nota penyerahan) Residen Belanda yang dikutip Elsbeth-Scholten disebutkan, minyak Jambi pada 1938 telah menyumbang 14 persen dari total keseluruhan produksi minyak di Hindia Timur. Catatan Belanda lainnya menyatakan, perusahaan minyak itu setidaknya telah mendapatkan untung sekira dua juta gulden pada 1935. 

Selama tujuh tahun sejak 1923 hingga 1930, perusahaan tambang itu telah merekrut hampir 2.400 orang pekerja. Mereka mengeluarkan uang setengah juta gulden sebagai upah para pekerja. Dalam masa resesi ekonomi 1930 itu, Jambi disebut sebagai "wilayah minyak prospektif tersisa yang paling berharga di Hindia Timur Belanda" oleh Amerika.

Dalam pada itu, hampir tidak ada orang Jambi yang menjadi pekerja tambang di perusahaan minyak kolonial. Sebagian mereka lebih senang mengolah ladang dan menyadap karet di kebun sendiri. Sebagiannya lagi berusaha dengan menjadi tauke; mengumpulkan dan menjual karet dari para petani. Karet memang lebih menarik bagi orang Jambi ketimbang minyak. 

Dan karenanya, perusahaan tambang minyak itu mesti mendatangkan para pekerja dari Jawa. Sebagian lainnya didatangkan dari daerah di sekelilingnya: Sumatera Barat dan Palembang. Namun banyak juga orang dari pelbagai daerah yang datang sendiri untuk bekerja di BPM dan NIAM.

"Ayah saya dan beberapa lainnya pada 1944 berjalan kaki ke Jambi. Dari Maninjau di Sumatera Barat mereka menghiliri Batang Tebo dan masuk ke Batanghari. Semua mereka jalani hanya untuk dapat bekerja di BPM, Kenali Asam," kata Fauzi Z, Seniman perupa Jambi dalam biografinya, "Kembali ke Jambi, Kembali ke Diri" (2012).

Minyak Jambi mendatangkan untung yang besar bagi perusahaan Belanda. Namun orang Jambi sendiri tidak menikmati hasilnya. Menurut Elsbeth-Scholten, sejak produksi pertama kali pada 1920 hingga 1935, BPM dan NIAM hanya membangun jalan secara terbatas dari Jambi ke Muara Tembesi sepanjang 90 kilometer, dan sebuah lapangan terbang di Paal Merah, Kota Jambi sekarang.

Pada zaman Jepang kondisi semakin parah. Tiga daerah penghasil minyak itu dibom dan dihancurkan oleh KNIL. Tidak banyak yang dapat dilakukan kala itu, kecuali merehabilitasi ladang dan sumur minyak yang rusak.

Minyak baru benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Jambi pada 1948; beberapa tahun setelah Jepang hengkang dari negeri ini. Pada 1957 Pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh bisnis Belanda dan mendirikan Permina, perusahaan minyak pertama Indonesia. 

Produksi Avigas di Kenali Asam 

"Itu kilang penyulingan dan produksi minyak pesawat terbang (aviation gasoline atau avigas). Kilang ini merupakan salah satu penyulingan avigas bersejarah di Indonesia," kata D Saryono, Humas Pertamina EP UBEP Jambi, Senin dua pekan lalu kepada ANTARA. Jarinya menunjuk bangkai kilang di belakang komplek kantor Pertamina Kenali Asam, Kota Jambi.

Kilang setinggi pohon kelapa itu masih berdiri tegak dan terlihat kokoh. Sebagian badannya telah berkarat. Di bawahnya, terlihat alat berat yang juga rusak dan berkarat. 

Tampak jelas bekas kilang dan alat berat itu diperlakukan sebagai barang rongsokan yang tidak memiliki nilai apa-apa. "Setelah kantor ini selesai direnovasi, kilang itu akan kami tempatkan di halaman depan sebagai monumen, supaya masyarakat dapat melihat dan mengetahui sejarah kilang itu bagi perjuangan rakyat Indonesia," lanjut D Saryono lagi.

Dia mengaku tidak banyak mengetahui tentang sejarah kilang tersebut. Pada prasasti yang tertulis di bawah kilang disebutkan, kilang minyak avigas didirikan pada tahun 1946 oleh Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri).

Kilang tersebut kemudian diresmikan pada 1966 oleh Presiden Suharto sebagai monumen perjuangan atas hasil produksi avigas; minyak pesawat terbang tentara Indonesia dalam menghadapi blokade Belanda.

Majalah Warta Pertamina (WePe) edisi 1997 mengulas Kilang Kenali Asam milik Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri) ini : Sekira tahun 1946, Kepala Permiri, Kapten R. Soedarsono diperintahkan oleh Pimpinan AURI Kolonel Sujono dan Kolonel Halim Perdanakusuma membuat bensin pesawat terbang.

Minyak dibuat sebagai persiapan jika impor bensin pesawat terbang Indonesia putus karena blokade Belanda.

Berbekal buku teks karangan tentara Jepang, R.Soedarsono dan beberapa pegawai Permiri yang telah berpengalaman di BPM  mulai meracik senyawa kimia pembuatan minyak pesawat terbang. Mereka juga membangun pabrik khusus minyak pesawat di tempat itu.

Awal 1947, pembuatan bensin pesawat terbang selesai dilakukan. Untuk uji coba, digunakanlah pesawat terbang Anson dengan pilot seorang Australia.

Di bagian ini kisah konyol dan menegangkan terjadi. R.Soedarsono sebagai Kepala Permiri dan penanggungjawab produksi minyak pesawat terbang harus ikut serta dalam penerbangan uji coba. Alasannya; kalau percobaan itu gagal dan pesawat jatuh atau meledak di udara, maka yang mati bukan hanya sang pilot, tapi juga Soedarsono.

Namun ketegangan itu pupus setelah uji coba berhasil. Pesawat melayang dalam keadaan baik di atas Kota Jambi. Sang pilot bahkan berputar-putar dengan pesawat selama satu jam sejak pukul 09.00 hingga 10.00 WIB.

Setelah percobaan yang memuaskan itu, kilang kecil di Kenali Asam akhirnya menjadi pusat pengisian minyak pesawat terbang Indonesia. Bahkan pesawat legendaris Dakota C-47 (RI-001 Seulawah) sumbangan rakyat Aceh itu pernah singgah ke Jambi pada 1948, untuk mengisi BBM. Pesawat itu membawa serta para pemimpin Republik ini. 

Junaidi T Noor, sejarawan Jambi dalam sebuah kesempatan tiga pekan lalu menambahkan, pesawat Catalina RI 005 yang disewa rakyat Jambi dari seorang Australia juga mengisi minyak pesawat dari hasil olahan di Kilang Kenali Asam itu.

"Kilang minyak di Kenali Asam dan Pesawat Catalina RI 005, merupakan bukti perjuangan rakyat Jambi dalam mempertahankan kemerdekaan. Pesawat dan kilang itu merupakan bentuk nyata  kontribusi rakyat Jambi bagi perjuangan semesta," katanya di hadapan peserta Lawatan Sejarah Nasional X di Jambi (11/10).

Masa Kejayaan Pertamina Jambi

Masa kejayaan Pertamina Jambi terjadi pada 1970 hingga awal 90-an. Indikator kejayaan produksi itu adalah kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang membaik. 

Semua orang di Jambi kala itu mafhum belaka, pegawai Pertamina di tiga daerah ini hidup makmur, berkecukupan dan sejahtera. Mereka dilimpahi fasilitas mewah dan diganjar pendapatan perbulan yang sangat besar. 

Mungkin hanya di Bajubanglah ada rumah sakit dengan fasilitas yang paling lengkap di Jambi saat itu. Fauzi Z, mengatakan, "saya numpang lahir di rumah sakit di Bajubang itu setelah dirujuk dari Kenali Asam. Ayah saya pegawai BPM, jadi dapat menikmati fasilitas di sana," akunya.

Dari Qatar dua pekan lalu, Bambang Sukmadi 32 tahun kepada ANTARA melalui jejaring sosial bercerita tentang kejayaan daerah tempat dia menghabiskan masa kecilnya; Bajubang.

Menurut dia, Bajubang bisa dikategorikan "desa metropolitan". Desa itu memiliki fasilitas lengkap dan dianggap mewah pada era itu. Fasilitas berupa bioskop, rumah sakit, lapangan golf, kolam renang dan sekolah, mulai dari SD, SMP dan SMA. Selain itu juga ada bar dan klub serta fasilitas olahraga lainnya.

"Hingga tahun 90-an, lapangan golf Pertamina menjadi satu-satunya lapangan golf terbaik di Jambi, banyak pejabat dari berbagai daerah di Jambi datang bermain golf di sana," kata karyawan perusahaan tambang minyak di Qatar ini.

Namun di balik itu ada ironisme sosial yang terjadi. Semua fasilitas itu hanya berlaku bagi karyawan atau keluarga Pertamina saja. Di sini, jurang sosial menganga lebar. Karyawan Pertamina yang umumnya tinggal di komplek, statusnya tidak sama dengan warga biasa yang tinggal di pinggiran desa.

Warga pinggiran ini disebut sebagai "orang ladang", sedang pegawai Pertamina, terlebih staf yang punya golongan tinggi di sebut "orang gedongan."

"Yang jelas karyawan Pertamina sudah tentu makmur dan sejahtera, sedangkan warga sekitar harus berusaha keras untuk mencapainya dan mereka tidak diperkenankan menggunakan fasiltas milik Pertamina," sebut anak pensiunan pegawai Pertamina Bajubang tahun 90-an itu.

Minggu pekan lalu ANTARA menyusuri jalur yang dulu menjadi jalan utama Pertamina. Dari Kenali Asam, terus ke Tempino dan Bajubang. Jalan yang dulu dapat ditempuh dengan hanya 45 menit perjalanan mengunakan sepeda motor, kini harus ditempuh dalam waktu yang lebih panjang. Terutama selepas Tempino menuju Bajubang. 

Jalan itu kini rusak parah. Lubang menganga di sana-sini. Padahal lima belas tahun lalu, jalan ini mungkin satu-satunya jalan terbaik yang ada di provinsi ini.  

"Keadaan sekarang sudah sangat berbeda. Terakhir saya pulang (ke Bajubang) Lebaran lalu. Setelah produksi emas hitamnya menurun dan tidak lagi ditemukan cadangan minyak di daerah itu, Bajubang mulai sepi, sudah ditinggalkan orang-orang," lanjutnya.

Karyawannya mulai berkurang. Banyak yang memilih pensiun dini atau pindah ke wilayah lain yang masih produktif. "Sekarang banyak rumah komplek yang kosong tak terawat, sebagian lagi bahkan dicuri oleh orang. Saat ini yang ada hanya orang-orang tua dan anak-anak usia sekolah," katanya.

Lapangan golf mulai ditanami kelapa sawit. Rumah sakit tidak lagi digunakan. Bangunannya terlihat angker dan sangat menyeramkan. 

Puncak kelesuan sosial itu terjadi sejak Kantor Pertamina EP UBEP Jambi yang menjadi penggerak nadi Bajubang pindah ke Kenali Asam pada 2011 lalu. Migrasi besar-besaran terjadi. Bajubang kini, sama seperti tetangganya yang berjarak 20 kilometer, Tempino, semakin terbengkalai, terbunuh sepi dan ditinggalkan orang-orang.

Laporan harian produksi minyak Pertamina EP Jambi mencatat, hasil minyak Bajubang terkecil dari 10 lokasi sumur milik Pertamina di berbagai daerah. Target produksi bulan Oktober kemarin hanya mencapai 100 bph. Jauh lebih kecil dari daerah-daerah lain.  

Setelah Minyak Tidak Ada Lagi

Sembilan puluh tahun sejak 1922 eksploitasi dan eksplorasi minyak bumi di Jambi oleh tambang kolonial dan perusahaan nasional, masih adakah minyak Jambi tersisa?

Dari hitung-hitungan tahun 2011 lalu, Jambi masih mampu memproduksi minyak 35.000 barel perhari (bph). Produksi ini dihasilkan dari sejumlah perusahaan pertambangan minyak di daerah tersebut.

Khusus untuk Pertamina EP Jambi, dalam sehari mereka memproduksi minyak rata-rata 4.300 bph atau 90 persen dari target produksi yang mencapai 4.931 bph. "Ada laporan harian produksi minyak dari sepuluh lokasi sumur minyak milik Pertamina," kata Humas Pertamina EP Jambi, D Saryono dua pekan lalu.  

Untuk mendongkrak produksi, Pertamina EP Jambi mulai  mengekplorasi tujuh sumur baru yang terdeteksi di Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi dan Batanghari. "Eksplorasi tujuh sumur itu untuk mengejar target produksi 1 juta barel perhari di seluruh Indonesia, sesuai dengan instruksi Presiden," terangnya.

Menurut Saryono, saat ini Pertamina Jambi memiliki hampir 700 sumur minyak yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Dari jumlah itu, hanya 300-an yang berproduksi. Sebagian sumur lainnya masuk kategori sumur tua sehingga dalam status "suspend" atau ditangguhkan.

Lantas berapa dana bagi hasil (DBH) yang diterima Jambi dari sektor minyak bumi? Dana bagi hasil minyak bumi di Jambi berdasar data dari Kementerian Keuangan RI tahun 2011 lalu mencapai Rp 349 M. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding dana bagi hasil dari sektor gas bumi yang mencapai Rp731 miliar. 

Tahun 2012, DBH dari minyak bumi untuk Jambi merosot tajam. Turunnya angka DBH ini disebabkan oleh menurunnya produksi dan maraknya pencurian minyak dari pipa-pipa milik Pertamina yang melintang sepanjang 250 kilometer antara Jambi-Pelambang.

Vice President Legal and Relations PT Pertamina EP, Aji Prayudi, seperti dikutip Gatra.com pekan lalu mengungkapkan, kerugian negara oleh tindak pencurian minyak selama ini telah mencapai Rp500 miliar. “Sampai sejauh ini, kerugian yang dialami Pertamina akibat berbagai kasus pencurian minyak mentah tersebut, mencapai Rp 500 miliar,” katanya. 

Gusrizal, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Jambi, Jumat tiga pekan lalu mengatakan, akibat pencurian itu Jambi juga dirugikan, karena dana bagi hasil jadi merosot hingga Rp48 miliar. Diterangkan dia seperti dikutip Tribun Jambi, pada 2011 target penerimaan DBH minyak bumi Jambi Rp 62,8 miliar lebih. Realisasi penerimaan jauh lebih besar Rp 113,2 miliar. Sementara, target penerimaan DBH minyak bumi pada 2012 ini mencapai Rp 81 miliar. Namun hingga Sepetember, realisasi baru mencapai Rp65 miliar.

Potensi Gas Bumi di Jambi

Sektor gas bumi di Jambi nampaknya masih cukup menjanjikan. Kepala Dinas Energi dan Sunber Daya Mineral Provinsi Jambi Azwar Effendi mengatakan, enam kabupaten di Jambi meliputi Kabupaten Muarojambi, Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Tmur, Sarolangun dan Bungo memiliki kandungan gas yang belum tergali atau dimanfaatkan secara optimal.

Sejauh ini, baru tiga perusahaan yang beroperasi menggarap potensi gas tersebut, yakni PT Petrochina dan Konoco Philip dengan jumlah produksi 50.000 BOE perhari. Satu lagi yang baru akan memulai pengeboran adalah PT Sugih Energy Tbk (SUGI) di lapangan minyak dan gas (migas) Selong I di Blok Lemang Jambi.

Dari 50.000 BOE gas yang dihasilkan per hari itu, 42 ribu BOE dihasilkan PT Petrochina dan delapan ribu BOE oleh PT Konoco Philip, yang semuanya dijual atau dieksor ke Singapura dan negara lain.

Presiden Direktur Sugih Energy Andhika Anindyaguna, di Jakarta, Rabu seperti dikutip ANTARA (24/10) mengatakan, berdasarkan studi volumetrik dari konsultan internasional minyak bumi DeGolyer & MacNaughton (D&M), Blok Lemang memiliki cadangan sebesar 511 juta barel minyak dan 467 miliar kaki kubik gas.

Izin operasi untuk Blok Lemang juga telah diberikan Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) pada 2007 dan berlaku hingga 2037.

Belum lama ini, Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan telah meninjau proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Desa Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi.

Menurut dia, gas di Sungai Gelam itu sudah ditemukan sejak 20 tahun lalu, namun tidak pernah dimanfaatkan, karena memang sedikit, namun sangat potensial dikembangkan sebagai pembangkit listrik. Jika proyek PLTMG Sungai Gelam ini berhasil, maka akan menjadi proyek percontohan bagi daerah-daerah lain, sebab masih banyak potensi gas yang belum termanfaatkan secara maksimal di berbagai daerah.

Gas di Sungai Gelam ini akan menghasilkan gas dengan kapasitas 100 Megawatt perhari dan akan dihidupkan dari pukul 17.00 WIB hingga 22.00 WIB. "Dengan tambahan listrik dari PLTG Sungai Gelam, maka surplus listrik Jambi akan lebih besar dan bisa membantu memenuhi kekurangan listrik di luar Jambi," tutupnya. (***) 

Pewarta: Oleh Nurul Fahmy

Editor : Nurul


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012