Jakarta (ANTARA Jambi) - Kalangan pengamat pangan menyatakan sistem pengelolaan dan penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) perlu diperbaiki untuk meminimalisir potensi penyelewengan dan program tersebut tidak perlu dihapus.
Guru besar ekonomi pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin di Jakarta, Rabu, menyatakan program Raskin tidak perlu dihapus tetapi pengadaannya disesuaikan pertahun atau tergantung dengan angka kemiskinan.
"Jika angka kemiskinan turun, harusnya pengadaan raskin juga diturunkan. Kalau jumlah orang miskinnya turun, tetapi jumlah raskin naik, berarti ada pertimbangan lain. Bisa jadi ada unsur politis," katanya.
Menurut dia, jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut program raskin tidak sesuai 6T yakni Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Mutu, Tepat Waktu, Tepat Harga dan Tepat Administrasi, berarti proses pelaksanaan di lapangan harus diperbaiki.
"Kalau ada yang salah, ditangkap saja orangnya. Jangan dihapus programnya," katanya.
Program raskin yang sudah berjalan lebih dari 15 tahun, tambahnya, mampu menjadi penyelamat warga miskin, oleh karena itu, jika dihapuskan mereka tidak akan terpenuhi sumber pangannya.
Sementara itu, menurut anggota pakar Dewan Ketahanan Pangan, Kudhori, ada banyak konsekuensi kalau program raskin dihapus.
Menurut dia, konsekuensi dihapuskannya raskin yakni orang miskin yang selama ini bergantung pada program tersebut akan terancam kekurangan gizi dan pangan.
"Sasaran yang sudah berjalan beberapa tahun itu kan 15,5 juta rumah tangga. Kalau satu rumah tangga ada lima orang, berarti kira-kira ada 75 juta orang yang tergantung pada raskin," katanya.
Konsekuensi kedua, jika program raskin ditiadakan akan berimbas pada petani karena dalam setahun, volume Raskin bisa mencapai lebih dari tiga juta ton, jika dikonversi ke gabah, jumlahnya tentu sangat besar.
"Selama ini keberadaan raskin itu menjadi instrumen stabilisasi gabah dan beras. Kalau program raskin tidak ada lagi, pasti gejolak harga akan terjadi, baik gejolak ke atas maupun gejolak ke bawah," katanya.
Kalau ke bawah, pas panen raya bisa jadi harga gabah jatuh di bawah harga pembelian pemerintah, tambahnya, oleh karena itu jika program raskin dihapus maka tidak ada lagi instrumen untuk stabilisasi harga.
Khudori menilai pemerintah sebaiknya mendesain ulang program raskin yang sudah berjalan hampir 15 tahun ini, karena di awal tahun program ini berjalan sudah ditemukan sejumlah keluhan antara lain soal kualitas beras, seperti beras berkutu, sasaran tidak tepat dan jumlahnya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Awalnya jumlah yang dijanjikan yakni 25 kilogram per keluarga per bulan, namun hanya terealisasi 15 kg saja.
"Nah tinggal bagaimana mendesain ini, supaya enam temuan KPK, yaitu Tidak Tepat Jumlah, Tidak Tepat Waktu, Tidak Tepat Sasaran, Tidak Tepat Mutu, Tidak Tepat Harga, Tidak Tepat Administrasi itu bisa diperbaiki," katanya.
Menurut Khudori yang harus diperbaiki salah satunya adalah di sisi penerima raskin.
Beras tersebut harusnya disalurkan sesuai nama dan alamat yang sudah didata, karena yang terjadi kini penerima raskin tidaklah 15,5 juta Rumah Tangga sebagaimana data.
"Tugas Bulog sampai hari ini kan hanya mendistribusikan sampai pada titik-titik tertentu. Dari titik distribusi ke sasaran itu diserahkan ke Pemda. Nah, aparat yang dibawah (Pemda) inilah yang seringkali menggunakan sistem lokal, yang oleh KPK disebut dengan 'Bagito' atau dibagi roto," katanya.
Sistem bagi rata yang dilakukan Pemda dilakukan memang untuk menghindari konflik lokal, namun sistem bagi rata tidaklah adil, karena Raskin akan jatuh ke warga yang tak berhak dan tak terdaftar.
"Harusnya aparat yang di bawah itu sesuailah, kalau memang enggak dapat tak usah dikasih, sesuai 'by name by address' saja itu," katanya.
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya permasalahan dalam program beras raskin, atas temuan itu, lembaga anti rasuah itu meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan program raskin. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014
Guru besar ekonomi pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin di Jakarta, Rabu, menyatakan program Raskin tidak perlu dihapus tetapi pengadaannya disesuaikan pertahun atau tergantung dengan angka kemiskinan.
"Jika angka kemiskinan turun, harusnya pengadaan raskin juga diturunkan. Kalau jumlah orang miskinnya turun, tetapi jumlah raskin naik, berarti ada pertimbangan lain. Bisa jadi ada unsur politis," katanya.
Menurut dia, jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut program raskin tidak sesuai 6T yakni Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, Tepat Mutu, Tepat Waktu, Tepat Harga dan Tepat Administrasi, berarti proses pelaksanaan di lapangan harus diperbaiki.
"Kalau ada yang salah, ditangkap saja orangnya. Jangan dihapus programnya," katanya.
Program raskin yang sudah berjalan lebih dari 15 tahun, tambahnya, mampu menjadi penyelamat warga miskin, oleh karena itu, jika dihapuskan mereka tidak akan terpenuhi sumber pangannya.
Sementara itu, menurut anggota pakar Dewan Ketahanan Pangan, Kudhori, ada banyak konsekuensi kalau program raskin dihapus.
Menurut dia, konsekuensi dihapuskannya raskin yakni orang miskin yang selama ini bergantung pada program tersebut akan terancam kekurangan gizi dan pangan.
"Sasaran yang sudah berjalan beberapa tahun itu kan 15,5 juta rumah tangga. Kalau satu rumah tangga ada lima orang, berarti kira-kira ada 75 juta orang yang tergantung pada raskin," katanya.
Konsekuensi kedua, jika program raskin ditiadakan akan berimbas pada petani karena dalam setahun, volume Raskin bisa mencapai lebih dari tiga juta ton, jika dikonversi ke gabah, jumlahnya tentu sangat besar.
"Selama ini keberadaan raskin itu menjadi instrumen stabilisasi gabah dan beras. Kalau program raskin tidak ada lagi, pasti gejolak harga akan terjadi, baik gejolak ke atas maupun gejolak ke bawah," katanya.
Kalau ke bawah, pas panen raya bisa jadi harga gabah jatuh di bawah harga pembelian pemerintah, tambahnya, oleh karena itu jika program raskin dihapus maka tidak ada lagi instrumen untuk stabilisasi harga.
Khudori menilai pemerintah sebaiknya mendesain ulang program raskin yang sudah berjalan hampir 15 tahun ini, karena di awal tahun program ini berjalan sudah ditemukan sejumlah keluhan antara lain soal kualitas beras, seperti beras berkutu, sasaran tidak tepat dan jumlahnya tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Awalnya jumlah yang dijanjikan yakni 25 kilogram per keluarga per bulan, namun hanya terealisasi 15 kg saja.
"Nah tinggal bagaimana mendesain ini, supaya enam temuan KPK, yaitu Tidak Tepat Jumlah, Tidak Tepat Waktu, Tidak Tepat Sasaran, Tidak Tepat Mutu, Tidak Tepat Harga, Tidak Tepat Administrasi itu bisa diperbaiki," katanya.
Menurut Khudori yang harus diperbaiki salah satunya adalah di sisi penerima raskin.
Beras tersebut harusnya disalurkan sesuai nama dan alamat yang sudah didata, karena yang terjadi kini penerima raskin tidaklah 15,5 juta Rumah Tangga sebagaimana data.
"Tugas Bulog sampai hari ini kan hanya mendistribusikan sampai pada titik-titik tertentu. Dari titik distribusi ke sasaran itu diserahkan ke Pemda. Nah, aparat yang dibawah (Pemda) inilah yang seringkali menggunakan sistem lokal, yang oleh KPK disebut dengan 'Bagito' atau dibagi roto," katanya.
Sistem bagi rata yang dilakukan Pemda dilakukan memang untuk menghindari konflik lokal, namun sistem bagi rata tidaklah adil, karena Raskin akan jatuh ke warga yang tak berhak dan tak terdaftar.
"Harusnya aparat yang di bawah itu sesuailah, kalau memang enggak dapat tak usah dikasih, sesuai 'by name by address' saja itu," katanya.
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya permasalahan dalam program beras raskin, atas temuan itu, lembaga anti rasuah itu meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan program raskin. (Ant)
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014