Jambi (ANTARA Jambi) - Sejumlah Orang Rimba asal Taman Nasional Bukit Duabelas, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi, menuntut pola kemitraan kepada perusahaan PT Wahana Perintis yang menggarap hutan menjadi Hutan Tanaman Produksi (HTI).

Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) tersebut mendatangi Dinas Kehutanan didampingi KKI Warsi untuk mencari solusi atas tuntutan tersebut.

Asisten Koordinator Project Orang Rimba Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) KKI Warsi Ade Candra saat dikonfirmasi, Rabu, membenarkan adanya tuntutan dari warga Orang Rimba tersebut.

Tuntutan cukup beralasan, sebab sebelum izin HTI dikeluarkan, Orang Rimba sudah terlebih dahulu hidup dan bertempat tinggal di kawasan tersebut.

Orang Rimba yang hidup di kawasan itu terdiri empat Temenggung, yakni Temenggung Marituha, Nyenong, Nyirang dan Temenggung Ngamal.

Ade menjelaskan, PT Wahana Perintis masuk pada tahun 1996, mereka menggarap 200 hektare hutan menjadi HTI. Namun setelah itu perusahaan sempat stagnan, dan melanjutkan penggarapan hutan sejak dua tahun lalu.

Perusahaan menggarap 6.900 hektare hutan yang berada di dua kabupaten, yakni Sarolangun dan Batanghari.

"Sejak tahun 1986 mereka cuma menggarap 200 hektare dan sempat stagnan, tidak tau apa penyebabnya, dan baru dua tahun ini digarap kembali. Di saat mereka garap ternyata mereka ketemu Orang Rimba di dalam hutan yang menjadi HTI," katanya.

Sebelum ada HTI, di kawasan hutan itu merupakan tempat tinggal dan sumber penghidupan Orang Rimba, di dalam hutan itu mereka bisa menjual hasil hutan seperti jernang, getah balam, jelutung, rotan, manau dan sialang.

Mereka mengumpulkan hasil hutan untuk bertahan hidup. Kuburan mereka juga di hutan itu, Orang Rimba yang meninggal tidak dikubur tapi ditinggalkan di hutan-hutan.

"Sejak itu dijadikan HTI, semuanya jadi hilang, sumber mata pencarian mereka hilang, tempat hidup mereka hilang kemudian tempat kuburan yang mereka sebut 'pasoroan' juga hilang," ujarnya.

Terkait hal itu, Orang Rimba sebenarnya sudah menyampaikan kepada perusahaan, mereka berkata, "ini adalah tanah kami ini tempat hidup anak cucu kami", mereka juga menanyakan kenapa hutan mereka dijadikan HTI, dan pihak perusahaan menjawab mereka sudah dapat izin dari Menteri Kehutanan.

"Mendapat jawaban dari perusahaan, hari ini kita ke Dinas Kehutanan mempertanyakan untuk dicarikan solusi bagimana Orang Rimba tidak kehilangan mata pencarian dan tidak kehilangan penghidupan," kata Ade.

Ia menjelaskan, berdasarkan keterangan salah satu Kabid di Dinas kehutanan, ada kewajiban dari perusahaan jika ada masyarakat yang hidup sebelum izin HTI dikeluarkan, yakni melakukan kemitraan berdasarkan Permenhut No 39.

Di Permenhut itu disebuikan perusahaan wajib melakukan pemberdayaan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya, terutama bagi masyarakat yang selama ini hidup bergantung dengan kawasan itu.

"Jadi kata Dinas Kehutanan ada peluang bagi Orang Rimba kalau memang selama ini mereka hidup di situ, dan tinggal di situ. Mereka memang telah kehilangan sumber penghidupan mereka dengan adanya HTI, dan perusahaan wajib untuk memberdayakan mereka dan wajib untuk melakukan kemitraan kepada mereka," jelasnya.

Di dalam undang-undang disebutkan, masing-masing kepala keluarga mendapat mendapat dua hektare. Orang Rimba saat ini seharusnya dapat kalau berdasarkan Peraturan Menteri. "Sebenarnya Orang Rimba sudah pernah minta itu tapi tidak pernah direspon oleh perusahaan," kata Ade.

Ia mengatakan, solusi yang didapat di Dinas Kehutanan, Orang Rimba harus menyampaikan kepada pemerintah secara tertulis, sehingga pemerintah bisa mendesak perusahaan untuk menjalankan aturan hukum, yakni mematuhi Permenhut itu.

"Itu aturan hukum, kalau perusahaan tidak menjalankan itu, menurut Dinas Kehutanan, bisa diberi sanksi, bisa dicabut izinnya," tambahnya.

Sementara itu, Temenggung Marituha wakil Orang Rimba mengatakan, mereka sudah terlebih dahulu berada di kawasan hutan yang dijadikan HTI dan hidup dengan memanfaatkan isi hutan yang ada.

"Sebelum perusahaan masuk, kami sudah ada di situ, nenek moyang kami ada di situ. Menteri-Menteri itu belum tau isi hutan itu apa saja," katanya.

Soal pola kemitraan, Temenggung Marituha tidak setuju jika satu kepala keluarga menerima dua hektare, tapi diharapkan menerima lima hektare.

"Kalau lima hektare mungkin bisa untuk hidup anak cucu kami ke depan. Yang jelas kami minta kepada bapak-bapak ini cepat diselesaikan," kata Marituha.(Ant)

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014