Jambi (ANTARA Jambi) - Hutan selama ini menjadi "rumah" bagi sejumlah suku terasing di pedalaman hutan di perbatasan Provinsi Jambi dengan Sumatera Selatan, mereka mencari makan, hidup dan tinggal di hutan, dan mereka nyaris tidak pernah mau tahu dengan kehidupan di luar hutan.

Namun, keberadaan sekelompok suku terasing yang hidup di kawasan Hutan Harapan di area PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) di pedalaman perbatasan Jambi-Sumsel kini mulai terusik dengan masih maraknya aksi perambahan dan pembalakan hutan oleh oknum tidak bertanggungjawab di kawasan Hutan Harapan.

Suku terasing yang umumnya dikenal dengan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) Bathin IX itu, lebih suka disebut dengan "Orang Rumah Tinggi", pasalnya tempat pemukiman mereka lebih tinggi dari rumah warga pada umumnya.

Untuk mencapai kawasan tinggal suku yang suka berpindah-pindah (nomaden) ini harus melalui medan yang sulit. Dari Jambi melalui jalur darat mengunakan kendaraan roda empat dengan melewati hutan dataran rendah dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Setelah itu harus menggunakan perahu kecil (tempek) melewati jalur Sungai Kapas dengan waktu tempuh sekitar satu jam ke arah hulu sungai.

Ketika Antara bersama sejumlah wartawan dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mendatangi eks lokasi pemukiman Orang Rumah Tinggi pada pekan lalu terungkap bahwa tujuan utama suku terasing ini membuat rumah dengan ketinggian diatas rata-rata untuk menghindari binatang buas.

Sebab, rumah-rumah yang mereka dirikan berada di tengah-tengah hutan yang populasi harimau dan binatang buas lain masih banyak. Namun, rumah tinggi itu kini hanya tinggal puing-puing tiang saja, yang menandakan kawasan itu pernah menjadi pemukiman adalah tumbuhan hultikultura yang tumbuh segar.

Meski tanpa jejak, Antara akhirnya bisa bertemu dengan salah satu Orang Rumah Tinggi yang betul-betul lahir di situ, yakni Anang Kus. Meski asli Orang Rumah Tinggi, namun dia sudah meninggalkan kampung halamannya sejak kecil.

Dari penuturan Anang Kus diketahui bahwa suku terasing Orang Rumah Tinggi merupakan keturunan Puyang Alam Krakai, nenek moyang Orang Batin IX yang hingga kini diyakini masih hidup.

Dari keturunan Puyang Alam Krakai ini yang hingga kini masih hidup adalah kelompok Mat Liar yang hidup di Sungai Mengkelah–Sungai Ibul. Mereka terdiri dari tiga keluarga yaitu Mat Attam–Sri, Mat Reman–Siti Putih dan Mat Liar–Siti Maryam.

Keturunan Puyang Alam Krakai lainnya, dari garis keturunan Alam Kemat menetap di kawasan rumah tinggi di anak Sungai Kapas. selain itu keturunan Puyang Krakai juga menempati sungai-sungai yang merupakan anak Sungai Kapas.

Secara luas, kelompok suku terasing ini juga sering disebut dengan Suku Kubu, sedangkan pemerintah menyebutnya Suku Anak Dalam (SAD), sementara mereka sepertinya tidak mau disebut Suku Kubu atau SAD, mereka lebih suka dengan sebutan suku terasing.

Anang Kus menjelaskan, kelompok rumah tinggi masih eksis di kawasan tersebut hingga tahun 1998. Pada tahun itu mereka yang berjumlah 10 KK berpindah lebih ke hilir Sungai Bahar dan terakhir bermukim di mitra zone Harapan Rain Forest.  Kini sisa-sisa kejayaan rumah tinggi masih terlihat di antaranya lesung, kebun buah durian, rambai serta manau.

Menurut cerita Anang Kus, kelompok Orang Rumah Tinggi meninggalkan rumah tinggi mereka karena waktu itu air sungai surut dan akses keluar sangat sulit. Kondisi itu membuat mereka menentukan pilihan untuk berpindah.

"Waktu itu kami sudah tergantung dengan kebutuhan dari luar, garam, rokok dan kebutuhan lainnya, pada tahun itu sungai sangat surut sehingga tidak ada akses keluar dan kami memutuskan pindah ke Bahar," kata Anang Kus kini hidup di kawasan mitra zone Harapan Rain Forest sekitar 24 Km dari rumah tinggi.

Pemukiman rumah tinggi itu dipimpin oleh perempuan bernama Mat Luas, pemimpin waktu itu biasa disebut Pesirah. Mat luas memimpin pemukiman Orang Rumah Tinggi hingga tahun 2000, itu pun karena Mat Luas sudah meninggal.

Setelah tanpa Pesirah, keanekaragaman kehidupan Orang Rumah Tinggi sudah mulai bergeser dari adat-adat sebelumnya. Menurut Anang Kus, dulu Mat Luas sangat dihormati oleh anggota kelompoknya, meskipun dia seorang perempuan. Mat Luas adalah Pesirah terakhir yang diangkat oleh kelompok Orang Rumah Tinggi.

Mat Luas meninggal di usia sekitar 80 tahun, anak cucunya mengantarkan jasadnya ke rumah tinggi sesuai amanatnya sebelum meninggal, Mat Luas dibawa menggunakan perahu ke rumah tinggi dan dimakamkan di samping makam adiknya yang meninggal setahun sebelumnya.

Tradisi mereka, jika ada yang berladang secara berpindah-pindah, anggota kelompok itu pasti akan kembali ke rumah tinggi. Mereka berladang dengan dengan sistem tabungan. Untuk memenuhi kebutuhan makan tahun ini, itu adalah hasil ladang dari tahun lalu, untuk tahun depan ditanam di tahun sebelumnya.

"Kami gunakan sitem itu supaya tidak ada keterputusan hasil ladang sebagai sumber makanan. Kami menanam padi dan juga ubi yang jadi makanan utama. Sedangkan untuk kebutuhan lauk kami berburu hewan hutan, babi, kijang rusa maupun kura-kura. Tapi sejak tahun 70-an babi sudah ditinggalkan," kata Anang.

Dari tahun ke tahun, peladang yang masuk ke hutan yang berinteraksi dengan penghuni rumah tinggi cukup banyak mengubah pola hidup mereka, seperti pemanfaatan periuk untuk menanak nasi.

Anangkus juga menyebutkan mereka dulu sangat tergantung dari hutan, semua kebutuhan tersedia di hutan. Mereka juga berpindah untuk membuka ladang dan menanamnya dengan berbagai tanaman untuk memenuhi kebutuhan harian seperti ubi dan padi.

Selain itu juga menanam tanaman buah seperti durian, rambai dan juga tanaman jernang. Jernang merupakan salah satu hasil hutan yang bernilai tinggi dan biasanya masuk komoditas ekspor. Di sekitar eks rumah tinggi saat ini, memang ditemukan tanaman buah dan jernang dengan jumlah yang cukup banyak.

Anangkus dan anggota kelompok rumah tinggi lainnya hanya akan kembali ke rumah tinggi untuk mengambil hasil buah. Namun mereka akan tetap mempertahankan kawasan eks rumah tinggi itu menjadi kawasan buah di hutan dan menjaga dari kerusakan oleh tangan manusia.

Kekhawatiran Anang cukup beralasan, karena kawasan di sepanjang Sungai Kapas sebagian sudah dimasuki oleh migran yang berladang maupun mengambil kayu di kiri kanan hutan Sungai Kapas.

Dirinya sangat berharap kawasan itu tetap diakui sebagai peninggalan nenek moyang mereka dari kelompok rumah tinggi. Pemerintah harus melibatkan mereka dalam proses pembangunan dan mempertahankan budaya suku terasing yang juga merupakan warga negara Indonesia.

Menurut cerita peladang di kawasan Hutan Harapan, Taufik (66), dirinya sering berinteraksi dengan kelompok suku terasing yang masih tersisa itu, di antaranya Mat Liar, Mat Kecik dan Mat Reman, mereka belum percaya bahwa Indonesia sudah merdeka dan bebas dari jajahan Belanda.

Hal itu diperkuat jika terjadi gempa bumi yang dirasakan oleh mereka, suku terasing ini selalu bertanya kepada Taufik dengan bahasa pedalaman berbau logat Palembang "dimana Belanda melepaskan bomnya". Meski sudah dijelaskan berulang kali, kata Taufik mereka belum juga tahu bahwa Belanda tidak lagi menjajah, tapi mereka meyakini Belanda selalu mengintai.

Jika menerawang ke belakang dengan adanya tanda-tanda sikap yang ditunjukan suku terasing di perbatasan Jambi-Sumsel ini, secara gamblang bisa diperkirakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang yang hidup di masa kolonial. Namun hal itu belum bisa dipastikan karena belum ada riset yang mengklaim asal-asul suku terasing itu.

Sementara itu, antropolog KKI Warsi Robert Aritonang mengatakan klaim wilayah merupakan hal yang sangat sensitif bagi kelompok-kelompok asli marginal, seperti yang dialami oleh kelompok Orang Rumah Tinggi.

Dengan ruang jelajah yang  sangat luas dan tidak adanya data otentik tentang pemilikan menjadi salah satu kesulitan untuk klaim wilayah. Namun bukan berarti tidak bisa, keberadaan pohon tanaman peninggalan nenek moyang dan kuburan merupakan bukti nyata klaim wilayah mereka.

Menurut dia, sejatinya persoalan yang dihadapi kelompok asli marginal seperti Orang Rumah Tinggi merupakan persoalan kompleks dan cukup rumit.

"Keberadaan kelompok suku terasing warga Bathin IX ini mengalami asimilasi dan akulturasi budaya serta kehilangan hampir sebagian besar wilayah penghidupannya, yakni hutan akibat pola pembangunan yang dilakukan pemerintah, pembalakan dan perambahan hutan," kata Robert.

Menurutnya, pola kehidupan Orang Rumah Tinggi dan juga Orang Rimba atau SAD Bathin IX yang sebenarnya sangat tergantung dengan hutan namun sebagian besar hutan di wilayah mereka sudah berganti menjadi perkebunan, transmigrasi dan peruntukan lain menyebabkan sebagian besar suku ini mengalami geger budaya dan mulai tersingkir kehidupannya.

Untuk itu, kata Robert, KKI Warsi melakukan kajian guna mengadvokasikan kepada pihak terkait agar suku terasing kelompok Bathin IX bisa mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai bagian dari warga masyarakat Indonesia.

"Kami melihat ada ketimpangan pola pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah juga yang harus bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di hutan, ataupun bagi mereka yang sudah berasimilasi dengan masyarakat umum dan migran," ujarnya.

Warsi saat ini sedang melakukan studi secara menyeluruh dan mendalam di semua wilayah sebaran suku terasing Bathin IX yang meliputi sembilan anak sungai, sehingga bisa didapatkan input yang memadai untuk strategi advokasi dan pendampingan.

Dari Kajian ini, yang akan dilakukan adalah pengembangan pendidikan, layanan kesehatan dan dukungan untuk akses lahan bagi kelompok masyarakat yang kehilangan sumber daya mereka, yakni hutan dan hewan di dalamnya yang menjadi sumber penghidupan mereka.

"Bagaimana melakukan strategi yang akan diambil, kami akan lihat hasil studi kami yang akan didapatkan akhir Desember ini," kata Robert.

Yang akan menjadi fokus KKI Warsi adalah kelompok yang terasimilasi dan teralkulturasi, namun belum mampu berdaya saing dengan kelompok masyarakat melayu dan migran, sehingga mereka tidak menjadi kelompok yang terkena dampak geger budaya.

Di Provinsi Jambi belasan ribu Orang Rimba atau Suku Kubu masih hidup dan menyebar di kawasan hutan di beberapa kabupaten, antara lain di Kabupaten Sarolangun, Tebo, Batanghari, Bungo, dan Kabupaten Merangin.

Namun, kehidupan mereka kini mulai terusik akibat aktivitas perambahan dan pembalakan hutan serta pembukaan kawasan perkebunan oleh sejumlah perusahaan yang mengubah hutan menjadi kebun sawit.

Dampaknya, beberapa Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan, dan suku terasing ini mulai dari tua hingga anak-anak, sebagian mulai keluar hutan dan masuk ke kota untuk mendapatkan makanan dengan cara meminta-minta.

Kondisi ini perlu menjadi perhatian pemerintah, saatnya mulai memikirkan untuk memukimkan mereka pada satu kawasan tanpa harus hidup nomaden dan berbaur dengan masyarakat pada umumnya.

Hal ini sudah dilakukan di Kabupaten Sarolangun, mereka mulai hidup normal layaknya warga umumnya, berladang atau berkebun bahkan anak-anak Orang Rimba ini mulai bersekolah atau setidaknya mulai belajar menulis dan membaca.(Ant)

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2014