Jakarta (ANTARA Jambi) - Di penghujung tahun 2014, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus melakukan gebrakan yang bisa dikatakan pelopor di Indonesia dan bisa menjadi contoh bagi provinsi lain yang memiliki hutan untuk mulai menargetkan pengurangan gas emisi rumah kaca dan perbaikan pengelolaan hutan.

"Target kami adalah pengurangan gas emisi rumah kaca lebih dari 55 megaton CO2e sampai tahun 2030 dari 'business as usual'. Sebanyak 86 persen atau setara dengan 47,3 megaton CO2e berasal dari sumbangan sektor hutan dan lahan," kata Gubernur Hasan Basri Agus, saat acara peluncuran "Indeks Tata Kelola Hutan Jambi 2014" belum lama ini di Jambi.

Dalam acara tersebut hadir selain Gubernur Jambi adalah Kadinas Kehutanan Jambi Irmansyah Rachman, bupati dan wakilnya, Senior Regional USAID Indonesia Eric Davies, Kepala BP REDD Indonesia Heru Prasetyo dan Kepala Unit Tata Kelola Pemerintahan dan Pengurangan Kemiskinan UNDP Indonesia, Nurina Widagdo.

Gubernur Jambi kemudian membagikan buku indeks tata kelola hutan di sembilan kabupaten kepada bupati atau wakilnya sebagai bahan refleksi untuk pengelolaan hutan yang lebih baik dan pengurangan gas emisi rumah kaca.

Dengan target pengurangan gas emisi rumah kaca itu, lanjut Gubernur, Pemda Jambi menargetkan penurunan rata-rata 1,58 megaton CO2e per tahun dari sektor hutan dan lahan. Komitmen Jambi diharapkan bisa berkontribusi terhadap upaya Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional, tambah Gubernur.

Gubernur Jambi mengatakan bahwa target pengurangan gas emisi rumah kaca bukanlah target pribadi tapi juga target semua pihak, yakni Pemerintah Pusat dan komunitas bisnis yang perlu kerja keras guna meningkatkan tata kelola hutan di Jambi.

"Ini suatu keharusan karena kita perlu secara berkesinambungan meningkatkan tata kelola hutan di Provinsi Jambi secara terbuka. Lebih jauh lagi, kami ingin meyakinkan bahwa tata kelola ini bebas dari praktik-praktik korupsi," kata Hasan Basri.

Pelopor
"Kami memberi apresiasi tinggi kepada Gubernur Jambi yang telah meluncurkan indeks tata kelola hutannya. Jambi adalah provinsi pertama dari 16 provinsi di Indonesia yang memiliki hutan terluas. Jambi adalah pelopor bagi provinsi lainnya untuk mengikuti langkah ini. Jambi memiliki komitmen mengurangi gas emisi rumah kaca dan kerusakan hutan. Kami akan selalu membuka tangan untuk membantu," kata Eric Davies, senior regional USAID Indonesia.

Sementara Direktur Eksekutif WWF Indonesia Dr Efransjah menyatakan hal yang sama. "Jambi merupakan salah satu rumah dari salah satu satwa kunci Indonesia, seperti Harimau Sumatera, serta penopang kehidupan jutaan rakyatnya. Hutan Jambi membutuhkan integeritas pemerintah daerah untuk kelestariannya," katanya.

Jambi merupakan pelopor provinsi yang telah melakukan langkah konkret untuk menekan laju kerusakan hutan di Indonesia.

Dengan diluncurkannya indeks tata kelola hutan itu menunjukan jambi mau membuka diri atas mismanajemen dan dugaan korupsi dalam pengelolaan tata kelola hutan selama ini, kata Nurina Widagdo, Kepala Unit Tata Kelola Pemerintahan dan Pengurangan Kemiskinan UNDP Indonesia.

Sebagaimana diketahui bersama, laju kerusakan hutan di Indonesia berdasarkan data kementerian kehutanan, pada periode 1990 hingga 2000, mencapai 2,26 juta hektare per tahun. Dan periode 2000 - 2012, laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 450.000 hektare per tahun.

Ironisnya, kerusakan hutan tersebut bukan hanya terjadi di kawasan hutan produksi melainkan juga di kawasan hutan konservasi dan lindung. Selama 10 tahun terakhir, laju kerusakan hutan konservasi dan lindung semakin kencang.

Kerusakan hutan telah meniadakan fungsi hutan sebagai tempat menyimpan karbon dan menyerap karbondioksida yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi manusia. Ini menyebabkan jasa hutan dalam memelihara lingkungan menurun drastis.

Akibatnya, suhu bumi semakin panas sehingga memicu berbagai fenomena alam yang ekstrim yakni naiknya permukaan air laut dan tenggelamnya daratan, timbulnya jenis penyakit baru dan hilangnya sumber air bersih dan habitat mahluk hidup.

Akibat kerusakan hutan telah banyak menimbulkan bencana seperti kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan dan banjir. Menurut catatan UNDP Indonesia dan REDD+, selama 2012-2013, telah terjadi 733 bencana di Indonesia akibat kerusakan lingkungan hidup.

Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi 6.645 bencana lingkungan hidup berupa tanah longsor, banjir, kekeringan, dan gelombang pasang selama periode 2008-2013.

Oleh karena itu, Indonesia bertekad menekan kerusakan hutan dan pengurangan gas emisi rumah kaca. Dalam pertemuan di G20 tahun 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan komitmennya untuk memangkas emisi gas rumah kaca sebanyak 41 persen pada tahun 2020 jika mendapatkan dukungan masyarakat internasional.

Untuk menunaikan janjinya, Pemerintahan SBY menyusun rencana aksi nasional pengurangan gas emisi rumah kaca dalam PP no 61 tahun 2011. Bappenas memfasilitasi pemerintah daerah dalam menyusun rencana aksi daerah pengurangan emisi gas rumah kaca.

"Jadi Jambi dan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus adalah pelopor daerah yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan kerusakan hutan," kata Nurina Widagdo, dari UNDP Indonesia.

Titik Nadir
Kerusakan hutan di Jambi, berdasarkan indeks tata kelola hutan di sembilan kabupaten tahun 2014, sudah berada pada titik nadir (titik terendah). Provinsi itu mempunyai kawasan hutan seluas 2,1 juta hektare atau 43 persen dari luas daratan Jambi.

Seluas 934 ribu hektare atau 44,31 persen dari 2,1 juta hektare hutan yang kini sudah bukan kawasan hutan lagi. Jumlah itu akan bertambah jika memasukkan 883 ribu hektare yang berubah dari status hutan primer menjadi hutan sekunder. Totalnya kerusakan hutan menjadi 86 persen dari seluruh luas kawasan hutan yang ada.

Degradasi hutan juga terjadi di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan hutan suaka alam seluas 136.000 hektare dan hutan lindung yang telah mengalami kerusakan hutan seluas 56.000 hektare. "Kerusakan hutan Jambi sudah berada di titik nadir," kata Kepala BP REDD Indonesia Heru Prasetyo.

Sementara itu, berdasarkan statistik Dinas Kehutanan Jambi 2013, pendapatan sektor kehutanan sebesar Rp19 miliar dan pendapatan dana reboisasi 1,8 juta dolar AS setara Rp21,6 miliar, tapi biaya rehabilitasi hutan yang rusak yang mencapai 934.000 hektare membutuhkan biaya Rp15,8 triliun (Rp17 juta per hektare) dan membutuhkan waktu 752 tahun.

"Ini sangat tidak sepadan antara biaya penerimaan dari penebangan hutan dibandingkan dengan kerusakan lingkungan hidup serta biaya rehabilitasi hutannya," tambah Heru.

Belum lagi jika dilihat dari aspek keadilan. Berdasarkan data statistik Dinas Hutan Jambi 2013, pemerintah telah mengeluarkan 168 izin pertambangan dengan luas 877.299 hektare hutan, tiga izin pemanfaatan hasil hutan seluas 105.230 hektare hutan dan izin pemanfaatan hutan tanaman dengan luas 663.721 hektare.

Bandingkan dengan masyarakat Jambi yang memanfaatkan hutan sebanyak 38.526 hektare hutan untuk hutan desa, 49.703 hekatre untuk hutan kemasyarakatan dan 28.429 hektare untuk hutan tanaman rakyat.  "Persentasenya 1,6 juta hektare hutan dimanfaatkan pengusaha dan 6,62 persen dimanfaatkan masyarakat," ungkap Kadinas Hutan Provinsi Jambi Irmansyah Rachman.

Oleh sebab itu, Gubernur Jambi meminta pemerintah pusat memberikan insentif kepada pemda, baik provinsi maupun kabupaten yang berhasil menekan laju degradasi hutan dengan penambahan penerimaan DAU (Dana Alokasi Umum) karena tanggung jawab mengelola hutan adalah tanggung jawab bersama, masyarakat setempat, pemda setempat, para pengusaha hutan dan Pemerintah Pusat.(Ant)

Pewarta: Adi Lazuardi

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015