Jambi (ANTARA Jambi) - "Kami sudah terbatas mencari penghidupan di hutan, tidak ada lagi daerah berburu serta mendapatkan hasil hutan seperti getah balam dan jernang," kata perwakilan orang rimba, mengeluh.

Perwakilan orang rimba atau Suku Anak Dalam juga mengatakan barang kebutuhan sehari-hari didapati di dalam hutan sebagai wilayah jelajah yang kini sebagian besar sudah habis.

Keluhan orang rimba itu diutarakan dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg di kawasan hutan adat Senamat Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, belum lama ini.

Dalam buku berjudul "Jejak Peradaban Suku Anak Dalam" yang disusun oleh Budhi Vrihaspathi Jauhari dan Dr Arislan MPd, disebutkan bahwa makanan pokok mereka adalah jenis umbi-umbian di hutan.

Umbi-umbian yang menjadi favorit untuk mereka makan seperti ubi kayu, ubi jalar, keladi, gadung, buah tompoi, duku, durian hutan dan cempedak.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya turut mendampingi PM Norwegia dalam dialog dengan orang rimba yang mendiami kawasan hutan Jambi.

Perwakilan orang rimba mengatakan kepada PM Norwegia bahwa kehidupan mereka kian terjepit karena hutan sudah berubah menjadi perkebunan sawit yang dikelola perusahaan.

Dari dialog itu, orang-orang rimba mengatakan mereka saat ini  terjepit dan sangat penting sekali menemukan cara untuk melindungi hutan agar mereka bisa tetap bertahan.

Mereka kesulitan mendapatkan hasil hutan untuk dijual dan kesulitan mencari sumber protein di hutan. Selain itu juga  merasa terdesak dan dilarang oleh warga desa jika ingin mengelola lahan pertanian.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan dari pertemuan dengan orang rimba itu ternyata ada persoalan yang bisa dipetik dan menjadi pemikiran pemerintah ke depan untuk dikembangkan kebijakannya.

Persoalan itu yakni posisi lahan, dimana Suku Anak Dalam atau orang rimba merasa kesulitan setelah hadirnya tiga perusahaan.

"Saya sudah cek dua perusahaan, sudah tahu namanya dan kita cari tahu lagi satu perusahaan yang mereka maksud, makanya tempat tinggal mereka (orang rimba) sebenarnya dimana," katanya.

Selain itu, lanjutnya, orang rimba juga mengatakan bahwa mereka kehilangan mata pencarian, dan berkali-kali mereka mengatakan ingin mengolah lahan pertanian.

"Mereka bilang berburu dan mengambil hasil hutan sudah susah, jadi mereka berkeinginan mengolah pertanian. Saya kira yang terpikir juga oleh mereka bahwa kita sesungguhnya kehidupan di hutan adalah melakukan pertanaman sambil menjaga alam," jelasnya.

Menteri juga menyatakan temuan di lapangan akan dilaporkan ke Presiden untuk diambil kebijakan seperti apa nanti. Namun kebiasaan berpindah-pindah dan memburu bagi orang rimba tetap jadi pertimbangan.

Siti Nurbaya menjelaskan, pemerintahan Jokowi sudah menegaskan bahwa hutan itu adalah untuk menyejahterahkan rakyat. Dan pemerintah saat ini hanya tinggal memformalisasikannya skema yang sudah disusun.

Menurutnya, sudah banyak skema untuk kehidupan orang rimba yang dikembangkan, misalnya secara defenitif menjadi desa hutan, hutan tanaman rakyat, atau hutan kemasyarakatan yang skemanya sudah disesuaikan dengan kondisi lokal.

Selain itu, lahan sangat penting diberikan kepada masyarakat yang marginal, apalagi yang dikelola perusahaan, sebab itu tinggal mencocokan dengan formalisasinya.

Tidak hanya itu, kekuatan berproduksi juga diterapkan, para orang rimba didorong untuk tetap menjaga alam mereka.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menekan laju deforestasi hutan, satu di antaranya dengan konservasi yang melibatkan masyarakat tradisional.
    
Laju Deforestasi

Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg mengatakan pengusaha perkebunan dan "pulp and paper" menjadi kunci untuk menekan laju deforestasi hutan.

"Mereka juga menjadi kunci untuk mengurangi deforestasi di dunia," kata Solberg pada pertemuan dengan para pengusaha perkebunan kelapa sawit dan juga 'pulp and paper' di Jambi.

Menurut dia, industri perlu memperhatikan kelestarian alam, apalagi di Provinsi Jambi yang memiliki hutan-hutan yang penuh dengan keanekaragaman hayati.

"Pertemuan ini juga untuk melindungi keanekaragaman hayati dan juga komunitas lokal," katanya.

Pemerintah Norwegia dan Indonesia telah menjalin kerja sama untuk mengurangi deforestasi hutan dengan melakukan moratorium sementara penebangan hutan sebagai bagian dari perjanjian dengan Norwegia.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Indonesia akan menerima pembayaran berdasarkan jumlah deforestasi yang berkurang.

"Indonesia telah bekerja sama sejak 2010, dan saya berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang telah melanjutkan kerja ini, saya sangat gembira Indonesia berkomitmen untuk melindungi hutan," jelas Solberg.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa kebijakan moratorium penebangan hutan tersebut tidak boleh menggangu aspek bisnis.

"Kami tidak mau berargumentasi terlalu banyak tentang penting atau tidak pentingnya sebuah moratorium,  namun intinya bagaimana kita bisa menjalani moratorium tanpa harus mengganggu aspek bisnisnya," kata Shinta.

Kebijakan moratorium, menurut Shinta juga sebagai upaya menjembatani permasalah pertanahan yang dihadapi oleh dunia usaha, masyarakat, dan kelompok adat.

Moratorium diakui Shinta sangat sulit dilakukan oleh pihak pengusaha namun para pengusaha siap untuk menjalankan moratorium ini, selama tidak mengganggu dalam aspek bisnis.

Shinta juga mengakui bahwa kebijakan moratorium yang sudah disepakati sejak tahun 2011 itu setidak telah berhasil mengurangi kerusakan hutan di Indonesia.

Oleh sebab itu, dirinya hanya berharap agar pemerintah dapat menentukan teknik dan mekanisme pelaksanaan moratorium yang tepat, agar tidak mengganggu jalannya bisnis.

"Gambaran kita pada awalnya moratorium tidak berhasil, namun berdasarkan data World Research Institut (WRI), ada penurunan kerusakan hutan, jadi saya pikir ini merupakan suatu langkah yang baik untuk mendapatkan hasilnya," katanya. (Ant)

Pewarta: Azhari

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015