Jakarta (ANTARA Jambi) - Hakim tunggal Sihar Purba pada Selasa (28/4) lalu memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan praperadilan yang diajukan Jero Wacik atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Politikus Partai Demokrat itu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2008-2011) dan Menteri ESDM (2011-2013).

"Permohonan praperadilan dari pemohon ditolak untuk seluruhnya," kata hakim tunggal Sihar Purba saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pertimbangan hakim dalam menolak permohonan Jero didasarkan pada Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 82 Ayat 1 huruf b KUHAP yang menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak termasuk objek praperadilan.

"Permohonan praperadilan pemohon bukan termasuk yurisdiksi praperadilan," ujar hakim.

Pasal tersebut mengatur bahwa pengadilan negeri sebagai lembaga praperadilan berwenang memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal tersebut, menurut hakim, sekaligus mematahkan pendapat saksi ahli pidana dari pihak Jero, Chairul Huda, yang menyatakan bahwa hakim praperadilan berwenang melakukan penemuan hukum termasuk dalam menguji perkara penetapan tersangka yang tidak sah.

"Pendapat Chairul Huda dapat dibenarkan jika terjadi kekosongan hukum, dalam artian hukumnya tidak ada dan tidak jelas, tapi dalam perkara yang diajukan oleh pemohon sudah diatur dengan jelas dalam Pasal 77 KUHAP," tutur hakim.

Dalam pertimbangannya hakim Sihar juga menyebut bahwa permohonan Jero Wacik telah masuk ke pokok perkara sehingga dalil-dalil serta keterangan saksi ahli dan fakta yang dihadirkan dalam persidangan bisa dikesampingkan.

Terkait putusan tersebut, anggota Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang berharap ditolaknya permohonan praperadilan yang diajukan Jero Wacik itu akan akan mengakhiri "drama" praperadilan yang selama ini berjalan.

"Kami berharap putusan ini juga mengakhiri dan menutup 'drama' praperadilan yang selama ini sudah berjalan," ujarnya.

Ia juga berharap putusan hakim tunggal Sihar Purba yang menolak seluruhnya permohonan praperadilan Jero Wacik, dapat menjadi penyelesaian akhir untuk proses praperadilan yang ditempuh beberapa tersangka yang ditetapkan KPK.

"Jadi, harapan ke depannya kalau ada tersangka lain yang mau mengajukan ke PN yang sama, lebih baik berpikir ulang kalau memang tidak ada dasar untuk menempuh proses ini," tuturnya.

Banyaknya permohonan praperadilan bermula dari dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan oleh hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan, Februari lalu.

Budi mempraperadilankan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK, yang menjegal langkahnya untuk menjadi orang nomor satu di jajaran Kepolisian Negara RI (Polri).

Beberapa tokoh yang ditetapkan sebagai tersangka baik oleh KPK maupun penegak hukum lain diketahui menempuh jalur praperadilan untuk "menghindari" atau setidaknya "menunda" proses hukum atas perkara pokok mereka.

Sebut saja mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, mantan Kadishub DKI Udar Pristono, dan mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Suroso Atmomartoyo.

Namun, satu per satu upaya praperadilan itu ditolak dan/atau dinyatakan gugur oleh hakim yang menangani perkara masing-masing. Sedangkan Hadi Purnomo tanpa alasan yang jelas mencabut permohonan praperadilannya.

Yang menjadi pokok pertimbangan para hakim, termasuk dalam permohonan praperadilan Jero Wacik, adalah Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 82 Ayat 1 huruf b KUHAP yang menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak termasuk objek praperadilan.

Rasamala juga menegaskan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut tidak memberi ruang kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum atau interpretasi yang lebih luas.

"Ini sudah jelas tidak ada ruang untuk interpretasi lebih luas atau melakukan penemuan hukum lebih luas di luar ketentuan hukum," tuturnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Sementara itu di hari yang sama, namun tempat berbeda, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bioremediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang objek praperadilan.

Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai objek praperadilan.

Dalam putusan yang dibuat MK pada Selasa (28/4) tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa pasal yang dimohonkan Bachtiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.

Alasan yang disampaikan hakim konstitusi Anwar Usman adalah bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah 'penetapan tersangka oleh penyidik' yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas.

Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menabahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebelumnya dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.

Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, lanjut Anwar, menyebutkan penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti.

Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU KPK yang menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.

Dalam putusan ini, tiga hakim "dissenting opinion". Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Mereka menganggap dalam Pasal 77, penetapan tersangka tetap bukan menjadi bagian dari objek praperadilan.

Menanggapi putusan tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi menilai putusan MK yang memperluas objek praperadilan akan menguras energi institusi penegak hukum.

"Ke depan tentu akan semakin menguras tenaga dan pikiran, bukan hanya KPK tapi juga Kejaksaan dan Kepolisian karena penetapan tersangka menjadi objek praperadilan," katanya di Gedung KPK Jakarta, Rabu (29/4).

Menurut Johan, KPK juga mempersiapkan diri untuk menghadapi gelombang atau bermunculannya praperadilan yang kemungkinan akan diajukan oleh para tersangka.

"Kami prediksi makin banyak praperadilan yang diajukan, tapi tidak hanya ke KPK melainkan juga ke penegak hukum lain. Jadi, yang perlu kami kuatkan adalah jajaran biro hukum untuk menghadapi praperadilan tersebut karena putusan MK itu harus dihormati," tambah Johan.

Ia percaya bahwa hakim praperadilan akan memutus secara independen dengan melihat kasus per kasus sehingga gugatan apa pun itu akan siap dihadapi oleh KPK.

Namun, ia tak menampik apabila banyak tersangka yang mengajukan praperadilan maka akan mempengaruhi kinerja KPK, pun melihat bahwa muatan pekerjaan dari Biro Hukum yang sudah tidak seimbang.

"Kalau melihat 'load' dari pekerjaan, apalagi kalau banyak praperadilan maka jumlah anggota Biro Hukum jauh dari ideal. Memang ada jaksa yang sudah diperbantukan dari direktorat penuntutan untuk ditempatkan di biro hukum, jadi nanti apakah ditambah (anggota biro hukum) hanya masih akan dibicarakan," jelas Johan.

Sedangkan Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengungkapkan bahwa gugatan praperadilan bukanlah suatu drama hukum sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

"KPK menghormati apa pun putusan MK dan tidak mengkhawatirkan putusan yang memberikan perluasan objek praperadilan, seperti efek Sarpin, karena kebebasan hakim terhadap kasus-kasus praperadilan dan berbasis prinsip legalitas masih membatasi eksistensi pasal 77 KUHAP," kata Indriyanto melalui pesan singkat.

KPK menyatakan akan menghadapi praperadilan yang mungkin diajukan secara profesional.

"KPK sejak sebelum adanya efek Sarpin, tetap selalu siap menghadapi gugatan-gugatan serupa, jadi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan berlebihan. Gugatan-gugatan apa pun bukan sebagai drama hukum, tetapi sesuatu kewajaran yang akan KPK hadapi secara profesional," tambah Indriyanto.

Saat ini publik dan penegak hukum sedang menanti, apakah putusan MK akan membuka episode baru dari "drama" praperadilan yang sebelumnya sudah terjadi atau justru mengakhiri "drama" tersebut. (Ant)

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015