Jakarta (ANTARA Jambi) - Sejak Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tindak pidana korupsi dalam kasus suap sengketa pilkada Lebak pada Desember 2014, praktis Rano Karno yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Gubernur memegang tampuk pemerintahan.

Rano Karno kemudian secara resmi menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten sejak Mei 2014. Setahun setelahnya, pemeran utama sinetron 'Si Doel Anak Sekolahan' itu tetap berstatus pelaksana tugas, tidak naik kelas menjadi gubernur.

Ternyata hal tersebut ada hubungannya dengan janji yang ditepati oleh Rano Karno. Setidaknya ada janji yang belum terpenuhi.

Menurut Kepala Desa Kanekes yang merupakan wilayah masyarakat Baduy, Jaro Saija, Rano Karno saat pemilihan berjanji akan kembali lagi ke Baduy jika sudah terpilih sebagai Wakil Gubernur, tapi sayangnya janji tersebut tak pernah ditepatinya.

"Janjinya seperti itu, tapi sampai sekarang belum pernah ke sini," ujar Jaro Saija saat ditemui di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu.

Padahal menurut orang Baduy, janji merupakan hal sakral yang harus ditepati oleh yang mengucapkannya. Jaro Saija masih mengingat jelas, saat itu Rano Karno datang ke Baduy untuk meminta dukungan saat Pilkada Banten.

Pada saat itu, Rano Karno berkonsultasi dengan para tetua adat Baduy. Awalnya Rano ingin langsung menjadi Gubernur Banten.

Namun kemudian dinasehati untuk bertahap, tidak "ujug-ujug" jadi Gubernur Banten. Dimulai dari Wakil Gubernur Banten dahulu, mudah-mudahan bisa naik kelas menjadi gubernur.

"Setiap pemilihan, memang banyak orang "gedean" (pejabat) yang datang ke daerah kami," jelas Saija yang baru 25 hari menjabat sebagai kepala desa.    

Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang masih memegang teguh adat dan tradisi Suku Baduy. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.360 hektare yang terletak di Pegunungan Keundeng. Jumlah penduduk Suku Baduy tersebut mencapa 11.763 jiwa dengan 3.495 kepala keluarga.

Penduduk Suku Baduy tersebar di 64 kampung di Desa Kanekes. Suku tersebut memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.

Jaro Saija justru mengaku heran dengan sikap para petinggi di Tanah Air yang justru suka bentrok. Masyarakat suku tersebut mematuhi semua titah yang diberikan oleh Jaro. Semua keputusan merupakan hasil musyawarah para tetua adat.

"Kami inginnya negara ini aman dan tenteram. Jangan ada ribut-ribut,"pintanya.

Pemerhati Baduy, Asep Kurnia, mengatakan secara spritual memang terhambatnya Rano menjadi Gubernur Banten disebabkan karena belum menyelesaikan janji yang diucapkannya.

"Ketika perayaan Seba Baduy Gede, Rano Karno mengeluhkan lamanya dia diangkat menjadi gubernur. Kami kemudian bertanya, apa janji yang belum diselesaikan," kata Asep yang juga tokoh masyarakat Baduy Luar itu.

Asep meminta Rano untuk datang ke Baduy, menyelesaikan janjinya agar tak ada lagi ganjalan untuk bisa duduk di kursi gubernur,

Rano diberi gelar atau julukan "Abah Gede" oleh masyarakat Baduy pada pelaksanaan tradisi Seba Baduy Gede akhir April 2014. Perayaan seba yang dilaksanakan masyarakat Baduy merupakan wujud rasa syukur setelah panen hasil bumi selama setahun memberikan kehiduan yang lebih baik

Dalam perayaan tersebut, masyarakat Baduy menyerahkan sjumlah peralatan dapur. Seba Baduy Gede diselenggarakan dua tahun sekali.
   
Patuh

Baduy merupakan suku yang mengasingkan diri dengan pola kehidupannya patuh terhadap hukum adat, hidup mandiri dengan tidak mengharapkan yang sifatnya bantuan dari orang lain dan menutup diri dari pengaruh budaya yang akan masuk dari luar.

Terdapat dua kelompok yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Luar tinggal di sebelah utara Kanekes. Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Tangtu yang menempati Kampung Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana.

Masyarakat Baduy Dalam bisa diketahui dari pakaiannya yang berwarna hitam atau putih, tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan sabun ketika mandi dan bahan kimiawi, dan tidak diperkenankan menggunakan alat transportasi.

Jaro Tangtu Tujuh selaku Ketua Adat Baduy Dalam, Ayah Mursid, menjelaskan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang diberi tugas dan amanat langsung dari Adam tunggal sebagai utusan sang Pencipta untuk meneguhkan mematuhkan wiwitan sesuai dengan hasil musyawarah. Masyarakat Suku Baduy menganut agama Sunda Wiwitan.

Agama Sunda Wiwitan, dengan nabinya Adam Tunggal. Dalam menjalankan keyakinannya mereka tidak memiliki kewajiban salat sebab Wiwitan Adam tugasnya adalah memelihara keseimbangan alam, mereka tidak mempunyai kitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam.

"Agama ini hanya hanya diperuntukkan masyarakat bagi masyarakat Baduy."

Mereka juga mengenal kiblat dan sahadat. Kiblatnya di selatan dan terdapat 19 syahadat.

Ayah Mursid menjelaskan istilah Baduy berasal dari sebuah nama sungai zaman dulu yakni sungai Cibaduy yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka. Hal itu juga juga berdasarkan nama salah satu bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka, yaitu Bukit Baduy.

Banyak versi mengenai asal-usul masyarakat Baduy. Mulai dari pelarian pengikut Prabu Siliwangi, berasal dari Serang, hingga berasal dari Suku Pengawinan (campuran).

Namun, seorang dokter asal Belanda yang pernah melakukan riset kesehatan pada 1928, Van Tricht,menyatakan bahwa masyarakat Baduy merupakan penduduk asli daerah tersebut.Terlepas darimana asalnya, masyarakat Baduy sampai saat ini masih mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar. (Ant)

Pewarta: Indriani

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015