Jambi, Antarajambi.com - Pengelolaan Perhutanan Sosial atau sebelumnya disebut Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan skema pengelolaan hutan yang dilakukan dari masyarakat, untuk dan oleh masyarakat.

Dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama, kegiatan Perhutanan Sosial ini diyakini bisa menjadi instrumen resolusi konflik, peningkatan kesejahteraan dan pelestarian hutan.

Namun demikian, pemahaman masyarakat atau stakeholder terkait Perhutanan Sosial ini masih belum seragam.

Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, Rudi Syaf mengatakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Perhutanan Sosial (PS) bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan kemandirian desa di sekitar kawasan hutan.

"Perhutanan Sosial merupakan skema pengelolaan hutan yang dilakukan dari masyarakat, untuk dan oleh masyarakat. Sehingga tercipta kemandirian desa di sekitar hutan," katanya saat workshop nasional dengan tema Integrasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) melalui Alokasi Dana Desa, di Jambi, Selasa (14/11).

Menurutnya dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama, kegiatan Perhutanan Sosial diyakini bisa meningkatkan kemakmuran masyarakat di sekitar hutan.

Wakil Direktur KKI WARSI, Adi Junedi menjelaskan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat, atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama guna meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Saat ini, katanya, ada tiga provinsi di Pulau Sumatera yang sedang gencar menerapkan skema Perhutanan Sosial itu, yakni Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu.

"Hingga tahun 2017, skema Perhutanan Sosial yang sudah mendapat legalitas di tiga provinsi ini masing-masing terdiri dari 204.000 hektare di Sumatera Barat, 108.930 hektare di Jambi dan 46.676 hektare di Bengkulu," kata Adi.

Namun berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) masih ada target perluasan Perhutanan Sosial di masing-masing provinsi itu. Yakni 766.420 hektare di Sumatera Barat, 229.322 di Jambi dan 107.252 hektare di Bengkulu.

Khusus di Jambi, penerapan skema PHBM atau Perhutanan Sosial itu dalam pengelolaan kawasan hutan diyakini bisa menjadi alternatif strategis dalam menangani berbagai persoalan kehutanan yang sering terjadi. Seperti konflik tenurial (lahan), kerusakan hutan, keamanan hutan, kemiskinan masyarakat di sekitar hutan dan berbagai problem lingkungan lainnya.

Adi mengatakan ada dua tantangan besar dalam mewujudkan target pengembangan perhutanan sosial tersebut. Pertama tahap persiapan permohonan izin, dalam hal ini dibutuhkan cukup banyak sumber daya, baik dalam hal sosialisasi program guna memberikan pemahaman tentang PHBM itu sendiri, pemetaan lokasi yang akan diusulkan, maupun penyiapan dokumen yang akan diajukan.

Kedua setelah izin berhasil didapatkan, masyarakat melalui lembaga pengelola seharusnya sudah bisa memanfaatkan kawasan. Adapun langkah yang harus dilakukan adalah menyusun dan menetapkan rencana pengelolaan, dilanjutkan dengan operasional kegiatan.

"Masalahnya lagi-lagi keterbatasan sumber daya menjadi alasan tersendatnya proses-proses tersebut di atas. Namun sesungguhnya celah untuk mengatasi hal-hal tersebut di atas cukup terbuka," katanya.

Menurutnya, dalam Permen LHK No 83/2016 diamanatkan bahwa kegiatan Perhutanan Sosial bisa didukung melalui Dana Desa. Kemudian dalam Permendes 4/2017 juga disebutkan bahwa dana desa bisa dialokasikan untuk pembangunan kehutanan dalam wilayah desa.

Tetapi masalahnya di tingkat tapak operasional tentang peraturan tersebut belum bisa dijalankan secara maksimal. Kendalanya adalah masih ada beragam tafsir yang menyebabkan adanya keraguan para pengambil kebijakan di daerah, untuk mengintegrasikan program Perhutanan Sosial ke dalam RPJMDes.

Tenaga Ahli Dirjen Kemendesa PDTT/Pokja Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa Penerima TORA, Muhammad Nur Udin yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, penggunaan dana desa untuk kegiatan Perhutanan Sosial, rencana itu terlebih dahulu harus dimasukkan ke dalam RPJMDes, dan jika belum tercantum dapat dimasukkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPD).

"Sebab dana desa ini bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Sehingga penggunaannya tidak boleh bertolak belakang dengan tujuan tersebut," katanya.

Terkait rencana desa untuk melakukan integrasi Perhutanan Sosial dengan dana desa, hal itu menurutnya bisa saja dilakukan asalkan ada program unggulan yang ingin dilakukan oleh pihak desa di sektor tersebut.

"Misalnya dengan menggandeng koperasi atau usaha tani yang sudah berhasil melakukan pemasaran yang kemudian diajak bergabung dalam kelompok tani hutan di Bumdesa," jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintahan Jokowi-JK telah menetapkan target pengembangan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektare dalam kurun waktu 5 tahun (2014-2019) sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Tujuannya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan hutan khususnya.

Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial pada KLHK, Erna Rosdiana di Jambi, sebelumnya mengatakan perhutanan sosial merupakan program wujud dari reformasi agraria di bidang kehutanan yang digulirkan pemerintahan Presiden Joko Widodo guna membantu masyarakat.

Dalam mengembangkan perhutanan sosial untuk membantu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan itu, saat ini warga diberikan kewenangan untuk menggali potensi atau produk lokal setempat guna dikembangkan sehingga dapat meningkatkan perekonomian setempat.

Masyarakat juga diberikan akses kelola dalam bentuk hak pengelolaan, izin usaha pemanfaatan, kemitraan dan penetapan.

Sedangkan untuk pemberdayaan masyarakat yang mengakses perhutanan sosial itu juga melibatkan sejumlah elemen yang terdiri dari berbagai kementerian dan stakeholder, mulai dari LSM, Akademisi, Pemerintah Daerah serta pihak Perbankan supaya dapat memberikan akses permodalan usaha pada sektor perhutanan sosial itu.

"Perhutanan sosial ini juga jangan hanya kasih lahan saja, tapi bagaimana juga kita memfasilitasi masyarakat untuk menggali potensi dan produk lokal yang tujuannya memeratakan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan," kata Rosdiana.

Dalam pengembangan konsep perhutanan sosial itu, kata dia, untuk kategori dan jenis tanaman yang dikembangkan harus sesuai dengan potensi lokal yang bisa digali berdasarkan aspirasi dari masyarakat.

"Yang jelas juga harus Agroforestri minimal ada 400 pohon yang ditanam untuk satu hektare, misalnya nanti masyarakat juga bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti madu alam dan lainnya," katanya.

Selain itu masyarakat yang menjadi pengelola juga diberikan legalitas akses untuk mengelola hutan secara klaster atau mengelompok dengan komoditas tanaman tertentu.

Program perhutanan sosial tersebut, lanjutnya, diharapkan juga mampu membuat kehidupan petani menjadi lebih baik karena pendapatan mereka yang bertambah dari hasil pemanfataan hutan, sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat.

"Pemerintah juga memperkuat akses permodalan masyarakat untuk mengembangkan perhutanan sosial, yang nantinya perbankan khususnya bank BUMN bisa memberikan modal seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan lainnya," katanya menambahkan.

Menanam Lada di Hutan

Warga Sungai Beras, Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi memiliki 400 hektare hutan yang ditetapkan sebagai hutan desa dengan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Perhutanan Sosial.

Pengelolaan hutan gambut di wilayah ini cukup unik. Masyarakat Desa Sungai Beras yang tergabung dalam kelompok tani memanfaatkan hutan dengan berkebun. Tapi tidak merusak ekosistim yang ada.

Di mana mereka menanam lada, kopi, nanas, jengkol dan tanaman lainnnya. Cara tanam mereka juga tidak harus dengan `land clearing`.

Ketua Kelompok Tani Senang Jaya Desa Sungai Beras, Hamid, mengatakan hutan lindung itu diusulkan pengelolaannya oleh masyarakat sejak tahun 2012. Pada 2013 barulah disahkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan.

Setelah ditetapkan hutan desa maka masyarakat mulai menggelola dengan berkebun. Ada enam kelompok tani yang terbentuk untuk 400 hektare luasan hutan desa itu.

"Yakni Kelompok Tani Senang Jaya, Pagar Indah 1, Pagar Indah 2, Sungai Beringin Jaya 1, Sungai Beringin Jaya 2 dan Kelompok Tani Lapis," kata Hamid.

Khusus Kelompok Tani Senang Jaya Sungai Beras memanfaatkan hutan gambut dengan menanam pohon jelutung sebagai penyeimbang kawasan hutan. Di samping itu mereka bertani menanam lada atau merica.

Tanaman lada dipilih karena berdasarkan kajian Warsi selaku pendamping kelompok tani cocok ditanam di kawasan gambut dan lada bernilai jual tinggi. Satu kilogram lada bisa mencapai harga Rp150-200 ribu.

"Akhirnya kita sepakat mengembangkan lada di hutan desa gambut ini. Saat ini sudah 1.000 bibit lada ditanam, dan targetnya sebanyak 10.000. Satu bibit lada bisa menghasilkan buah 1-2 kilogram," kata Hamid.

Pola menanam lada, kata Hamid, menggunakan satu pohon jenis apapun yang ada di hutan. Artinya masyarakat bertani tidak dengan membuka lahan.

"Tanaman lada seperti benalu, dia terus menempel di batang pohon, makanya kita tanam di setiap pohon yang ada di hutan. Kita berkebun tidak menghilangkan tanaman yang ada, paling hanya membersihkan bagian bawah pohon yang akan ditanam lada itu," katanya menjelaskan.

Hamid mengatakan hanya di Sungai Beras dan satu-satunya di Provinsi Jambi kelompok tani yang menanam lada di hutan gambut.

Selain lada, Hamid mengatakan, masyarakat juga menanam nenas dan jengkol di hutan yang kedalaman gambutnya lebih dari delapan meter itu.

"Untuk tanaman yang kita tanam memang belum manghasilkan, tapi kita yakini ini berhasil dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Sungai Beras. Kita targetkan lada itu panen tahun awal 2018," katanya.

Fasilitator Desa KKI Warsi Bimo Premono mengatakan, khusus tanaman jelutung saat ini sudah ditanam di kawasan hutan desa sebanyak 25 ribu batang.

"Bibit jelutung juga dibantu Dinas Kehutanan, dari Warsi juga ada. Pengelolaan hutan gambut ini juga upaya menjaga ekosistim hutan gambut di Jambi," kata Bimo.

Di kawasan hutan gambut Desa Sungai Beras ini juga dibuat pembibitan jenis tanaman mulai dari lada, jengkol, nenas dan jelutung.

Fasilitator KKI Warsi wilayah Tanjungjabung Timur Wazan Alkirom, mengatakan skema pengelolaan hutan adat oleh masyarakat ini menjadi solusi penyelesaian konflik dengan perusahaan perkebunan di sekitar desa yang mendapat izin HGU.

"Selain itu juga upaya merehabilitasi hutan, menjaga dari perambah dan menjaga hutan dari kebakaran yang menyebabkan kabut asap. Terbukti 2015 hutan desa Sungai Beras tidak terbakar karena masyarakat betul-betul menjaga kawasan hutan," kata Wazan.

Wazan mengatakan Warsi sebelumnya juga sudah melakukan kajian terhadap tanaman yang betul-betul cocok untuk di hutan gambut. Salah satunya dengan menanam lada dan itu mendapat respon positif oleh masyarakat khususnya kelompok tani Sungai Beras.

Wazan menambahkan, dalam menanam lada memang diperlukan pohon tegakannya dulu. Dan yang dimanfaatkan adalah pohon yang ada di hutan. Bukan dengan membuat "land clearing" atau merusak hutan.

Dengan skema Perhutanan Sosial ini, diharapkan masyarakat sekitar hutan ke depan dapat merasakan manfaat baik dari segi lingkungan ataupun perekonomian. Sehingga kemakmuran masyarakat desa semakin terasa.

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2017