Jakarta, (Antaranews Jambi) - Konferensi Internasional Alzheimer 2018 yang kini berlangsung di Chicago, Amerika Serikat (AS) menyerukan dorong kepada semua pemerintah di dunia, termasuk di Indonesia untuk berperan aktif dalam penanganan penyakit Alzheimer dan pencegahannya.
"Seruan itu disampaikan langsung President dan CEO Alzheimer's Association Chicago Prof Harry Johns pada acara pembukaan pada rapat paripurna pertama konferensi yang diikuti ahli penyakit saraf dunia," kata dokter ahli saraf dari Indonesia yakni dr Andreas Harry Sp.S(K) saat menghubungi Antara dari Chicago, AS, Selasa pagi.
Andreas Harry adalah peserta konferensi tahunan dari Indonesia yang diselenggarakan The Alzheimer's Association International Conference (AAIC), yang pada 2018 dipusatkan di Chicago, dan dihadiri ribuan peneliti dunia, yang berlangsung 22-26 Juli.
Ia mengutip pernyataan Harry Johns, yang menyatakan bahwa konferensi internasional alzheimer itu adalah pertemuan terbesar yang bertujuan untuk "Memajukan Ilmu Demensia", dan terdepan dalam memimpin pada ilmu dasar dan penelitian klinis.
Pada kesempatan itu dipaparkan mengenai "Dementia Alzheimer penuh dengan misteri" (Dancing Science), di mana diharapkan partisipasi semua negara.
"Kita harus mendorong pemerintah untuk berperan aktif dalam penanganan penyakit Alzheimer dan pencegahannya," katanya.
Dalam kesempatan itu juga disebutkan bahwa AS dengan penderita penyakit alzheimer (AD/Alzheimer Disease) sebanyak 5,5 juta orang telah menjadi problem kesehatan yang besar, dan menjadi penyebab kematian nomor 4 di negara "Paman Sam" itu.
Prevelansi sebesar 30-40 persen terjadi pada kelompok populasi usia 65 tahun (Sporadic Alzheimer Dementia late onset) telah cenderung terjadi pada kelompok usia di bawah 60 tahun (Sporadic AD early onset).
Ia menjelaskan bahwa AD adalah kelainan neurologi yang sangat khas terjadi, yang ditandadi dengan gangguan fungsi kognitif, perubahan perilaku (behaviour), dan - perubahan kepribadian (personality).
Kelainan patologi AD, kata lulusan spesialis saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, sangat khas terjadi atrofi pada korteks, hipocampus lobus temporal dan akumulasi "Neuro fibrillary tangles" (hyperphosphorilasi protein Tau) Intra seluler dan akumulasi "plaque amyloid peptida" (beta amyloid 40 - 42), dan extra seluler.
Secara epideminologi, beberapa tahun yang lalu, dikatakan penyebab didapatkan patologi yang khas tersebut disebabkan ada mutasi gen protein APP, presenilin 1 dan 2 (Familial AD early onset).
"Tetapi kenyataannya 90-95 persen AD adalah alzheimer sporadis 'late onset' dan tidak ditemukan mutasi gen protein, tetapi juga terjadi patologi yang khas juga," katanya.
Karena itu, atas hal tersebut terus dilakukan penelitian patofisiologi untuk sporadic AD.
Dalam konferensi itu pembicara lain menyajikan bahasan mengenai biomarker diagnostik AD, biopsychology AD dan bagaimana perawatan terbaik penderita AD.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018
"Seruan itu disampaikan langsung President dan CEO Alzheimer's Association Chicago Prof Harry Johns pada acara pembukaan pada rapat paripurna pertama konferensi yang diikuti ahli penyakit saraf dunia," kata dokter ahli saraf dari Indonesia yakni dr Andreas Harry Sp.S(K) saat menghubungi Antara dari Chicago, AS, Selasa pagi.
Andreas Harry adalah peserta konferensi tahunan dari Indonesia yang diselenggarakan The Alzheimer's Association International Conference (AAIC), yang pada 2018 dipusatkan di Chicago, dan dihadiri ribuan peneliti dunia, yang berlangsung 22-26 Juli.
Ia mengutip pernyataan Harry Johns, yang menyatakan bahwa konferensi internasional alzheimer itu adalah pertemuan terbesar yang bertujuan untuk "Memajukan Ilmu Demensia", dan terdepan dalam memimpin pada ilmu dasar dan penelitian klinis.
Pada kesempatan itu dipaparkan mengenai "Dementia Alzheimer penuh dengan misteri" (Dancing Science), di mana diharapkan partisipasi semua negara.
"Kita harus mendorong pemerintah untuk berperan aktif dalam penanganan penyakit Alzheimer dan pencegahannya," katanya.
Dalam kesempatan itu juga disebutkan bahwa AS dengan penderita penyakit alzheimer (AD/Alzheimer Disease) sebanyak 5,5 juta orang telah menjadi problem kesehatan yang besar, dan menjadi penyebab kematian nomor 4 di negara "Paman Sam" itu.
Prevelansi sebesar 30-40 persen terjadi pada kelompok populasi usia 65 tahun (Sporadic Alzheimer Dementia late onset) telah cenderung terjadi pada kelompok usia di bawah 60 tahun (Sporadic AD early onset).
Ia menjelaskan bahwa AD adalah kelainan neurologi yang sangat khas terjadi, yang ditandadi dengan gangguan fungsi kognitif, perubahan perilaku (behaviour), dan - perubahan kepribadian (personality).
Kelainan patologi AD, kata lulusan spesialis saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, sangat khas terjadi atrofi pada korteks, hipocampus lobus temporal dan akumulasi "Neuro fibrillary tangles" (hyperphosphorilasi protein Tau) Intra seluler dan akumulasi "plaque amyloid peptida" (beta amyloid 40 - 42), dan extra seluler.
Secara epideminologi, beberapa tahun yang lalu, dikatakan penyebab didapatkan patologi yang khas tersebut disebabkan ada mutasi gen protein APP, presenilin 1 dan 2 (Familial AD early onset).
"Tetapi kenyataannya 90-95 persen AD adalah alzheimer sporadis 'late onset' dan tidak ditemukan mutasi gen protein, tetapi juga terjadi patologi yang khas juga," katanya.
Karena itu, atas hal tersebut terus dilakukan penelitian patofisiologi untuk sporadic AD.
Dalam konferensi itu pembicara lain menyajikan bahasan mengenai biomarker diagnostik AD, biopsychology AD dan bagaimana perawatan terbaik penderita AD.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018