Kalau masyarakat adat Bayan di daerah lain umumnya melaksanakan acara puncak peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW atau Maulid di depan masjid seperti Masjid Kuno Bayan Beliq, muslim Desa Batu Grantung melaksanakannya di beruga atau gazebo di seberang bangunan adat.
Pemasangan kain kafan pada Beruga Agung berusia ratusan tahun menandai awal acara puncak peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW di Desa Batu Grantung, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
"Pemasangan kain kafan berarti dimulainya puncak Maulid, setelah sebelumnya di enam tiang beruga dipasang sarung dan diikat oleh tali terbuat dari benang," kata Raden Nyakrawasih (81), pemuka adat setempat.
Sementara pada langit-langit beruga, dipasang tali untuk menempelkan kain, bunga-bunga, serta aksesoris lainnya.
Kain kafan berwarna putih yang sudah berusia ratusan tahun itu disebut kain leliur, menyimbolkan bumi, sedangkan bunga-bunga di langit-langit merupakan bintang. "Kain kafan menunjukkan bahwa semua orang akan meninggal dunia," katanya.
Sebelum pemasangan kain kafan yang mengelilingi beruga itu, enam orang yang terdiri atas kiai, pemangku adat, dan praja mulud atau pemuda adat duduk bersama, merepresentasikan bahwa kedudukan semua manusia sama di mata Allah SWT.
Mereka yang masuk ke dalam beruga itu juga harus membasuh kaki sebagai wujud pensucian diri dari kotoran.
Pemasangan kain kafan penanda awal upacara berlangsung seiring dengan aktivitas para ibu memasak di depan rumah, termasuk menyembelih kambing dan ayam sesuai nazar.
Sebelumnya para pria sudah mengumpulkan kelapa serta mengupas dan memarutnya sejak pagi sambil berbincang sementara para perempuan membersihkan beras di sungai dan memasak.
Para pria yang terlibat dalam acara itu mengenakan pakaian khas Sasak yang meliputi apuk atau ikat kepala, sarung batik sasak dan ikat pinggang kain. Sementara para perempuan mengenakan sarung sampai dada.
Setelah makanan siap, sebelas orang termasuk kiai dan pemangku adat membawanya masuk ke dalam beruga. Kemudian kiai membacakan doa menggunakan kutipan ayat Al Quran dan bahasa Sasak
Setelah beberapa jam kegiatan memasak yang dilakukan kaum wanita, makanan itu dibawa ke dalam beruga dan 11 orang, termasuk kiai dan pemangku adat. Sebelum dimakan berdoa terlebih dahulu, yang didahului permintaan kepada kiai untuk segera dimulainya acara itu dengan menggunakan bahasa Sasak.
Usai pembacaan doa, mereka yang berada di dalam beruga menyantap makanan yang disajikan dan orang-orang yang tidak masuk dalam beruga mendapat makanan dalam kotak. Jamuan makan itu sekaligus mengakhiri acara Maulid.
Masyarakat adat Bayan memperingati Maulid setiap 15 Rabiul Awal, lebih lambat dari hari yang diyakini sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal.
"Seharusnya maulid itu pada 12 Rabiul Awal, tapi kami menyelenggarakan pada tanggal 15 Rabiul Awal. Ini (untuk) mengaburkan penjajah bahwa tidak ada kegiatan keagamaan. Bahkan digelar juga kegiatan peresean (pertarungan menggunakan tongkat rotan dan tameng dari kulit sapi)," kata Raden Nyakrawasih.
Beruga Batu Grantung
Tidak seperti beruga masyarakat adat Bayan lain yang umumnya bertiang enam, beruga agung tempat acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Batu Grantung memiliki delapan tiang.
Menurut riwayat di kalangan warga setempat, beruga agung di Desa Batu Grantung merupakan tempat eksekusi pelanggar hukum semasa Kerajaan Islam Bayan, yang pusatnya diyakini berada di dekat Masjid Kuno Bayan Beliq.
"Desa kami ini dahulunya tempat pengadilannya. Setelah mereka dinyatakan bersalah oleh pertemuan raja, pemangku adat, kiai, di istana kerajaan Islam, maka seseorang yang dinyatakan bersalah dibawa ke Batu Grantung," kata Raden Nyakrawasih.
Berdasarkan riwayat itu, pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW kain kafan hanya ditutupkan pada enam tiang beruga, tidak pada dua tiang lain yang diyakini sebagai tempat eksekusi.
Masyarakat adat Bayan dikenal sebagai pemeluk Islam Wetu Telu. Ada yang menganggap mereka hanya menjalankan salat dalam tiga waktu saja, pada siang hari (zhuhur), sore hari (ashar), dan saat matahari terbenam (maghrib), karena penyebaran agama Islam di daerah itu tidak sempurna setelah Kerajaan Majapahit runtuh.
Namun tokoh pemuda adat Bayan, Raden Kertamadji, menyatakan bahwa itu tidak benar.
"Banyak orang yang salah mengerti, kami tetap menjalankan shalat lima waktu, bahkan ada yang naik haji dan menjadi marbot masjid," katanya, "Kami Islam lima waktu juga."
Ia menjelaskan bahwa Wetu Telu menurut masyarakat adat Bayan meliputi tumbuh, bertelur, dan lahir. "Artinya tumbuh adalah tumbuh adalah tumbuhan, bertelur adalah binatang dan lahir adalah manusia," katanya, menambahkan bahwa ketiganya merupakan ciptaan Allah SWT.
Baca juga:
Gunungan Grebeg Maulud menarik ribuan warga di Yogyakarta
Shalawat berjalan warnai Maulid Nabi di Tidore Kepulauan
Pemasangan kain kafan pada Beruga Agung berusia ratusan tahun menandai awal acara puncak peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW di Desa Batu Grantung, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
"Pemasangan kain kafan berarti dimulainya puncak Maulid, setelah sebelumnya di enam tiang beruga dipasang sarung dan diikat oleh tali terbuat dari benang," kata Raden Nyakrawasih (81), pemuka adat setempat.
Sementara pada langit-langit beruga, dipasang tali untuk menempelkan kain, bunga-bunga, serta aksesoris lainnya.
Kain kafan berwarna putih yang sudah berusia ratusan tahun itu disebut kain leliur, menyimbolkan bumi, sedangkan bunga-bunga di langit-langit merupakan bintang. "Kain kafan menunjukkan bahwa semua orang akan meninggal dunia," katanya.
Sebelum pemasangan kain kafan yang mengelilingi beruga itu, enam orang yang terdiri atas kiai, pemangku adat, dan praja mulud atau pemuda adat duduk bersama, merepresentasikan bahwa kedudukan semua manusia sama di mata Allah SWT.
Mereka yang masuk ke dalam beruga itu juga harus membasuh kaki sebagai wujud pensucian diri dari kotoran.
Pemasangan kain kafan penanda awal upacara berlangsung seiring dengan aktivitas para ibu memasak di depan rumah, termasuk menyembelih kambing dan ayam sesuai nazar.
Sebelumnya para pria sudah mengumpulkan kelapa serta mengupas dan memarutnya sejak pagi sambil berbincang sementara para perempuan membersihkan beras di sungai dan memasak.
Para pria yang terlibat dalam acara itu mengenakan pakaian khas Sasak yang meliputi apuk atau ikat kepala, sarung batik sasak dan ikat pinggang kain. Sementara para perempuan mengenakan sarung sampai dada.
Setelah makanan siap, sebelas orang termasuk kiai dan pemangku adat membawanya masuk ke dalam beruga. Kemudian kiai membacakan doa menggunakan kutipan ayat Al Quran dan bahasa Sasak
Setelah beberapa jam kegiatan memasak yang dilakukan kaum wanita, makanan itu dibawa ke dalam beruga dan 11 orang, termasuk kiai dan pemangku adat. Sebelum dimakan berdoa terlebih dahulu, yang didahului permintaan kepada kiai untuk segera dimulainya acara itu dengan menggunakan bahasa Sasak.
Usai pembacaan doa, mereka yang berada di dalam beruga menyantap makanan yang disajikan dan orang-orang yang tidak masuk dalam beruga mendapat makanan dalam kotak. Jamuan makan itu sekaligus mengakhiri acara Maulid.
Masyarakat adat Bayan memperingati Maulid setiap 15 Rabiul Awal, lebih lambat dari hari yang diyakini sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal.
"Seharusnya maulid itu pada 12 Rabiul Awal, tapi kami menyelenggarakan pada tanggal 15 Rabiul Awal. Ini (untuk) mengaburkan penjajah bahwa tidak ada kegiatan keagamaan. Bahkan digelar juga kegiatan peresean (pertarungan menggunakan tongkat rotan dan tameng dari kulit sapi)," kata Raden Nyakrawasih.
Beruga Batu Grantung
Tidak seperti beruga masyarakat adat Bayan lain yang umumnya bertiang enam, beruga agung tempat acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Batu Grantung memiliki delapan tiang.
Menurut riwayat di kalangan warga setempat, beruga agung di Desa Batu Grantung merupakan tempat eksekusi pelanggar hukum semasa Kerajaan Islam Bayan, yang pusatnya diyakini berada di dekat Masjid Kuno Bayan Beliq.
"Desa kami ini dahulunya tempat pengadilannya. Setelah mereka dinyatakan bersalah oleh pertemuan raja, pemangku adat, kiai, di istana kerajaan Islam, maka seseorang yang dinyatakan bersalah dibawa ke Batu Grantung," kata Raden Nyakrawasih.
Berdasarkan riwayat itu, pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW kain kafan hanya ditutupkan pada enam tiang beruga, tidak pada dua tiang lain yang diyakini sebagai tempat eksekusi.
Masyarakat adat Bayan dikenal sebagai pemeluk Islam Wetu Telu. Ada yang menganggap mereka hanya menjalankan salat dalam tiga waktu saja, pada siang hari (zhuhur), sore hari (ashar), dan saat matahari terbenam (maghrib), karena penyebaran agama Islam di daerah itu tidak sempurna setelah Kerajaan Majapahit runtuh.
Namun tokoh pemuda adat Bayan, Raden Kertamadji, menyatakan bahwa itu tidak benar.
"Banyak orang yang salah mengerti, kami tetap menjalankan shalat lima waktu, bahkan ada yang naik haji dan menjadi marbot masjid," katanya, "Kami Islam lima waktu juga."
Ia menjelaskan bahwa Wetu Telu menurut masyarakat adat Bayan meliputi tumbuh, bertelur, dan lahir. "Artinya tumbuh adalah tumbuh adalah tumbuhan, bertelur adalah binatang dan lahir adalah manusia," katanya, menambahkan bahwa ketiganya merupakan ciptaan Allah SWT.
Baca juga:
Gunungan Grebeg Maulud menarik ribuan warga di Yogyakarta
Shalawat berjalan warnai Maulid Nabi di Tidore Kepulauan
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018