Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM akan melakukan evaluasi mengenai kebijakan bagi anak imigran berstatus pengungsi luar negeri, yang bersekolah di SD negeri di Kota Pekanbaru, karena adanya laporan dari pihak sekolah mengenai kendala di lapangan.
"Nanti akan kita lihat perkembangannya, ini baru tahun pertama. Nanti untuk tahun selanjutnya akan melakukan evaluasi," kata Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Riau, Mujiyono di Pekanbaru, Kamis.
Hal itu disampaikan Mujiyono pada acara sosialisasi mengenai keberadaan pengungsi luar negeri, yang dihadiri oleh pihak sekolah dan komite sekolah di Pekanbaru.
Pada forum tersebut, beberapa peserta mengeluhkan kendala bahasa dalam proses belajar-mengajar karena anak pengungsi masih ada yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Akibatnya, sering terjadi salah komunikasi antara anak imigran dengan guru dan juga siswa lainnya. Pihak sekolah mengalami kebimbangan karena terlalu banyak memberikan toleransi dan memberi perlakuan khusus kepada anak imigran dibandingkan anak lokal.
Mujiyono mengatakan masalah tersebut akan segera ditindaklanjuti karena apabila dibiarkan bisa menimbulkan kecemburuan sosial dari anak lokal. Menurut dia, syarat mutlak untuk bisa bersekolah di SDN untuk anak imigran adalah mampu berbahasa Indonesia.
"Seharusnya mereka bisa (bahasa Indonesia), agar jangan sampai ada kesenjangan sosial antara anak pengungsi dengan pribumi. Kalau mereka sekolah ya harus bisa bahasa," ujarnya.
Ia mengatakan akan segera menghubungi LSM yang merekomendasikan anak untuk bersekolah, yakni IOM (International Organization for Migration).
"Segera kita komunikasikan dengan IOM khususnya jangan sampai ada kecemburuan sosial karena ada perlakuan khusus dari pihak sekolah," ujarnya.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Junior Sigalingging, mengatakan saat ini di Riau ada 288 anak pengungsi luar negeri. Dari jumlah itu, sebanyak 81 anak yang bisa bersekolah di SDN di Pekanbaru.
"Tapi tidak tertutup kemungkinan dari 81 itu ada evaluasi. Anak sekolah itu kemampuan dimana, tidak dilihat dari segi umurnya saja. Jadi yang kelas 2 bisa saja di kelas 1 meski umurnya sudah melebihi di kelas 1," katanya.
Menurut dia, kebijakan untuk anak imigran jangan sampai membebani pihak sekolah terutama dalam pendanaan. Setiap anak imigran yang bersekolah tidak perlu diberi keistimewaan dibandingkan anak lokal lainnya terutama dalam pemberian nilai ujian.
Akses untuk bersekolah di sekolah negeri harus tetap mengutamakan anak lokal. Meski berhak ikut ujian, lanjutnya, anak imigran tidak akan mendapatkan ijazah apabila lulus sekolah.
Sebanyak 81 anak yang memenuhi syarat sekolah tersebut berdasarkan rekomendasi IOM Pekanbaru. Ada delapan sekolah yang menurut Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru telah menampung anak-anak pencari suaka sejak Oktober 2019.
Sekolah yang menerima anak pencari suaka meliputi SDN 159 (20 anak), SDN 56 (22 anak), SDN 141 (delapan anak), SDN 7 (tiga anak), serta SDN 170, SDN 48, SDN 190, dan SDN 182 yang masing-masing menampung tujuh anak imigran.
Meski belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai status pengungsi, pemerintah Indonesia telah lama menerima pengungsi dari luar negeri karena alasan kemanusiaan.
Berkenaan dengan penanganan pengungsi dari luar negeri, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Pengungsi Dari Luar Negeri.
Peraturan Presiden tentang pengungsi dari luar negeri tidak mengatur secara spesifik bahwa pencari suaka bisa bersekolah di sekolah negeri.
Kebijakan mengizinkan anak pencari suaka bersekolah di SDN di Kota Pekanbaru didasarkan pada surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Direktorat Penindakan dan Pengawasan Keimigrasian Kemenkumham, serta hasil koordinasi Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019
"Nanti akan kita lihat perkembangannya, ini baru tahun pertama. Nanti untuk tahun selanjutnya akan melakukan evaluasi," kata Kepala Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Riau, Mujiyono di Pekanbaru, Kamis.
Hal itu disampaikan Mujiyono pada acara sosialisasi mengenai keberadaan pengungsi luar negeri, yang dihadiri oleh pihak sekolah dan komite sekolah di Pekanbaru.
Pada forum tersebut, beberapa peserta mengeluhkan kendala bahasa dalam proses belajar-mengajar karena anak pengungsi masih ada yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Akibatnya, sering terjadi salah komunikasi antara anak imigran dengan guru dan juga siswa lainnya. Pihak sekolah mengalami kebimbangan karena terlalu banyak memberikan toleransi dan memberi perlakuan khusus kepada anak imigran dibandingkan anak lokal.
Mujiyono mengatakan masalah tersebut akan segera ditindaklanjuti karena apabila dibiarkan bisa menimbulkan kecemburuan sosial dari anak lokal. Menurut dia, syarat mutlak untuk bisa bersekolah di SDN untuk anak imigran adalah mampu berbahasa Indonesia.
"Seharusnya mereka bisa (bahasa Indonesia), agar jangan sampai ada kesenjangan sosial antara anak pengungsi dengan pribumi. Kalau mereka sekolah ya harus bisa bahasa," ujarnya.
Ia mengatakan akan segera menghubungi LSM yang merekomendasikan anak untuk bersekolah, yakni IOM (International Organization for Migration).
"Segera kita komunikasikan dengan IOM khususnya jangan sampai ada kecemburuan sosial karena ada perlakuan khusus dari pihak sekolah," ujarnya.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru, Junior Sigalingging, mengatakan saat ini di Riau ada 288 anak pengungsi luar negeri. Dari jumlah itu, sebanyak 81 anak yang bisa bersekolah di SDN di Pekanbaru.
"Tapi tidak tertutup kemungkinan dari 81 itu ada evaluasi. Anak sekolah itu kemampuan dimana, tidak dilihat dari segi umurnya saja. Jadi yang kelas 2 bisa saja di kelas 1 meski umurnya sudah melebihi di kelas 1," katanya.
Menurut dia, kebijakan untuk anak imigran jangan sampai membebani pihak sekolah terutama dalam pendanaan. Setiap anak imigran yang bersekolah tidak perlu diberi keistimewaan dibandingkan anak lokal lainnya terutama dalam pemberian nilai ujian.
Akses untuk bersekolah di sekolah negeri harus tetap mengutamakan anak lokal. Meski berhak ikut ujian, lanjutnya, anak imigran tidak akan mendapatkan ijazah apabila lulus sekolah.
Sebanyak 81 anak yang memenuhi syarat sekolah tersebut berdasarkan rekomendasi IOM Pekanbaru. Ada delapan sekolah yang menurut Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru telah menampung anak-anak pencari suaka sejak Oktober 2019.
Sekolah yang menerima anak pencari suaka meliputi SDN 159 (20 anak), SDN 56 (22 anak), SDN 141 (delapan anak), SDN 7 (tiga anak), serta SDN 170, SDN 48, SDN 190, dan SDN 182 yang masing-masing menampung tujuh anak imigran.
Meski belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai status pengungsi, pemerintah Indonesia telah lama menerima pengungsi dari luar negeri karena alasan kemanusiaan.
Berkenaan dengan penanganan pengungsi dari luar negeri, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang Pengungsi Dari Luar Negeri.
Peraturan Presiden tentang pengungsi dari luar negeri tidak mengatur secara spesifik bahwa pencari suaka bisa bersekolah di sekolah negeri.
Kebijakan mengizinkan anak pencari suaka bersekolah di SDN di Kota Pekanbaru didasarkan pada surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Direktorat Penindakan dan Pengawasan Keimigrasian Kemenkumham, serta hasil koordinasi Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019