Kehadiran Tol Padang-Pekanbaru yang membentang sepanjang 244 kilometer akan meningkatkan konektivitas antara Ranah Minang dengan Bumi Lancang Kuning sehingga pergerakan orang dan barang kian mudah dan lancar.
Jika sebelumnya perjalanan dari Padang, Sumatera Barat menuju Pekanbaru, Riau melewati Payakumbuh dengan jarak 310 kilometer memakan waktu sekitar delapan jam, dengan adanya tol tersebut maka waktu tempuh cukup 3,5 jam saja.
Belum lagi kalau cuaca buruk, kerap terjadi banjir hingga longsor di Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota, menyebabkan waktu tempuh kian lama.
Lalu lintas angkutan barang dari kedua provinsi pun akan kian lancar. Hasil sayur-mayur dari Tanah Datar, ikan segar hasil budidaya di Maninjau, Agam, cabai dari Alahan Panjang, jeruk dari Limapuluh Kota, bisa diangkut lebih cepat menuju Riau.
Para petani pun bisa tersenyum lepas tak khawatir lagi komoditas akan busuk di jalan karena waktu tempuh yang terlalu lama. Roda ekonomi pun kian berputar pertanda kesejahteraan masyarakat meningkat.
Arus kunjungan wisatawan dari Riau yang hendak menikmati Pantai Padang, Kawasan Wisata Mandeh di Pesisir Selatan, hingga wisata budaya yaitu Istana Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar juga kian ramai.
Setiap akhir pekan ratusan bus pariwisata yang mengangkut pelancong beriringan memasuki pintu masuk objek wisata yang ada di Ranah Minang.
Hotel-hotel penuh, restoran sesak, pedagang oleh-oleh keripik sanjai tersenyum lebar, wisatawan bahagia pulang membawa buah tangan.
Tapi tunggu dulu, semua itu baru akan terwujud jika Tol Padang-Pekanbaru yang peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi pada rangkaian peringatan Hari Pers Nasional di Padang 9 Februari 2018, selesai dikerjakan.
Akan tetapi kenyataannya usai peletakan baru pertama di Nagari Kasang, Kabupaten Padang Pariaman, pembangunannya sempat terhenti karena pembebasan lahan yang belum rampung.
Jika semula ditargetkan pada 2025 pembangunan jalan yang memakan anggaran sekitar Rp78,095 triliun akan rampung, dengan adanya sejumlah kendala mulai dari persoalan ganti rugi lahan hingga pengalihan trase maka kontraktor pelaksana yaitu PT Hutama Karya beserta pemerintah daerah harus bekerja lebih keras membebaskan lahan dan membangun jalan.
Persoalan ini membuat Komisaris PT Hutama Karya, Wahyu Muryadi heran atas lambannya pembangunan jalan tol di Sumatera Barat dibandingkan daerah lainnya di Sumatera.
"Saat kami lakukan evaluasi pembangunan Tol Padang-Pekanbaru itu, untuk bisa bertambah lima kilometer saja susahnya minta ampun, sampai berkali-kali rapat tetap tak bergerak," kata Wahyu pada diskusi kelompok terpumpun dengan tema "Win-win Solution Upaya Percepatan Pembangunan Tol Padang-Pekanbaru dan Dampaknya Bagi Perkembangan Ekonomi Sumatera Barat.
Menurut dia, saat ini pemerintah tengah membangun Tol Trans Sumatera dengan panjang 2.700 kilometer yang menghubungkan daerah yang ada di Sumatera dalam rangka menggenjot roda ekonomi berputar lebih cepat.
Ia membandingkan pembangunan tol di Sumatera Barat dengan tempat lain seperti Aceh dan ditemukan fakta, daerah lain relatif cepat dan tidak ada masalah.
Bahkan Presiden Jokowi baru saja melakukan kunjungan kerja meninjau Tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 130 kilometer yang akan diresmikan pengoperasiannya pada akhir April 2020.
"Apa pasal yang terjadi dengan pembangunan tol di Sumatera Barat, ini jadi pertanyaan besar, kami ingin lebih banyak mendengar sebagai upaya menggali apa masalahnya," kata dia.
Mantan Pemred Tempo tersebut juga mengkritik terminologi ganti rugi menjadi ganti untung bagi masyarakat yang lahannya terpakai untuk pembangunan tol.
"Ini bisa jadi pisau bermata dua karena kesannya orang jadi mencari untung dibalik pergantian kerugian secara wajar, dalam prinsip apapun kalau ada penggantian dilarang mencari untung dan harus dengan nilai yang wajar," katanya.
Ia menilai kalau persoalannya hanya soal uang bisa dibicarakan karena urusannya bukan tumpah darah apalagi ini demi kebaikan bangsa. Oleh sebab itu pihaknya ingin mendengar dan menampung aspirasi semua pihak agar ada solusi bersama terkait pembangunan jalan tol.
Realisasi 17 persen
Pimpinan Proyek Tol Padang-Pekanbaru PT Hutama Karya Infrastruktur Ramos Pardede menyebutkan hingga pekan keempat Februari 2020 realisasi pengerjaan tol itu mencapai 17 persen.
"Secara fisik 450 meter pertama sudah berwujud jalan tol kendati belum ada marka, artinya wujudnya sudah kelihatan," ujarnya.
Ia menargetkan pada 2020 akan rampung pengerjaan 4,2 kilometer dengan syarat tidak ada lagi kendala lahan. Setelah 4,2 kilometer sampai kilometer 30 baru akan dilanjutkan jika tanahnya sudah bebas secara simultan.
"Untuk pembebasan lahan merupakan urusan pemerintah daerah dan pihaknya fokus pada pengerjaan konstruksi," katanya.
Faktor utama lambannya pembangunan Tol Padang-Pekanbaru adalah rumitnya pembebasan lahan karena harga ganti kerugian terhadap lahan yang ditetapkan tim penilai tidak sesuai dengan keinginan masyarakat akibat terlalu rendah
Saat masyarakat Kasang melakukan aksi demonstrasi ke Kantor Gubernur Sumbar pada 23 Januari 2019 Koordinator Aksi Mardian heran atas rendahnya nilai ganti rugi.
"Bayar pajak mahal, pas diganti rugi harga lahan tiba-tiba jatuh. Bahkan ada yang diganti hanya seharga satu ekor ayam potong per meter persegi," katanya.
Hal senada disampaikan oleh pihak Padang Industrial Park (PIP) yang menilai harga ganti kerugian yang ditetapkan tim penilai tidak mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
NJOP dari empat hektare lahan PIP yang terkena imbas pembangunan jalan tol adalah Rp335 ribu per meter persegi. Namun harga yang ditetapkan untuk ganti kerugian hanya Rp50 ribu per meter persegi.
Sementara Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit menyampaikan dari provinsi-provinsi di Sumatera tinggal di Sumatera Barat yang belum ada jalan tolnya. Kehadiran Tol Trans Sumatera tersebut penting agar Sumbar tidak ketinggalan dari daerah lain yang ada di Sumatera.
Menurut dia, berlarutnya proses penggantian lahan masyarakat yang terkena pembangunan tol karena persoalan penilaian yang mematok harga terlalu rendah.
"Padahal sebelumnya presiden, menteri dan gubernur sudah menyatakan akan diberikan ganti rugi yang layak dan wajar," kata dia.
Nasrul menceritakan ia sempat mengusir tim penilai karena memberikan harga yang tidak masuk akal dan rendah dari nilai jual objek pajak untuk penggantian lahan warga.
Ia memastikan pembangunan Tol Padang-Pekanbaru sepenuhnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat diminta tidak langsung menolak ketika ada rencana pembangunan serta melihat dulu kajian yang dilakukan dalam pembangunan.
"Membangun tol ini tentu tidak sembarangan juga, ada kajian dari ahli dan juga memiliki analisis untuk dampak lingkungan. Apabila merusak lingkungan tentu tidak akan kita bangun," ujarnya.
Apalagi, katanya menambahkan, Sumatera Barat sangat membutuhkan Tol Trans Sumatera tersebut agar tidak ketinggalan dari daerah lain yang ada di Sumatera.
"Riau, Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara punya tol, sedangkan kita (Sumbar) tidak punya. Jangan sampai kita ketinggalan," katanya.
Solusi jalan tengah
Pengamat ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Syafruddin Karimi menyatakan untuk mempercepat pembangunan Tol Padang-Pekanbaru perlu dicari win win solution guna memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait dampak proyek besar di Sumatera Barat, Syafruddin menyampaikan perlu diberikan ganti kerugian yang adil bagi masyarakat yang lahannya terpakai.
Ia melihat salah satu dampak dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar di Tanah Air adalah terjadinya displacement impact atau pemindahan orang-orang yang ada di lokasi.
Menurut standar Bank Dunia dan ADB, orang-orang yang menghadapi displacement impact harus menerima tempat yang lebih baik tidak hanya sekadar kompensasi.
"Jadi orang dipindah kemudian di tempat yang baru harus berkembang dan mendapatkan manfaat pembangunan yang lebih baik," katanya.
Ia menilai konsep ini mesti diterapkan pada masyarakat terdampak pembangunan Tol Padang-Pekanbaru dan ada desain relokasi hingga apa usaha dan profesi yang mereka jalankan setelah di lokasi baru.
"Ini yang disebut win win solution, jadi kalau ada sawah yang jadi sumber penghidupan dijadikan jalan maka harus ada sumber penghidupan baru yang lebih menjanjikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020
Jika sebelumnya perjalanan dari Padang, Sumatera Barat menuju Pekanbaru, Riau melewati Payakumbuh dengan jarak 310 kilometer memakan waktu sekitar delapan jam, dengan adanya tol tersebut maka waktu tempuh cukup 3,5 jam saja.
Belum lagi kalau cuaca buruk, kerap terjadi banjir hingga longsor di Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota, menyebabkan waktu tempuh kian lama.
Lalu lintas angkutan barang dari kedua provinsi pun akan kian lancar. Hasil sayur-mayur dari Tanah Datar, ikan segar hasil budidaya di Maninjau, Agam, cabai dari Alahan Panjang, jeruk dari Limapuluh Kota, bisa diangkut lebih cepat menuju Riau.
Para petani pun bisa tersenyum lepas tak khawatir lagi komoditas akan busuk di jalan karena waktu tempuh yang terlalu lama. Roda ekonomi pun kian berputar pertanda kesejahteraan masyarakat meningkat.
Arus kunjungan wisatawan dari Riau yang hendak menikmati Pantai Padang, Kawasan Wisata Mandeh di Pesisir Selatan, hingga wisata budaya yaitu Istana Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar juga kian ramai.
Setiap akhir pekan ratusan bus pariwisata yang mengangkut pelancong beriringan memasuki pintu masuk objek wisata yang ada di Ranah Minang.
Hotel-hotel penuh, restoran sesak, pedagang oleh-oleh keripik sanjai tersenyum lebar, wisatawan bahagia pulang membawa buah tangan.
Tapi tunggu dulu, semua itu baru akan terwujud jika Tol Padang-Pekanbaru yang peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi pada rangkaian peringatan Hari Pers Nasional di Padang 9 Februari 2018, selesai dikerjakan.
Akan tetapi kenyataannya usai peletakan baru pertama di Nagari Kasang, Kabupaten Padang Pariaman, pembangunannya sempat terhenti karena pembebasan lahan yang belum rampung.
Jika semula ditargetkan pada 2025 pembangunan jalan yang memakan anggaran sekitar Rp78,095 triliun akan rampung, dengan adanya sejumlah kendala mulai dari persoalan ganti rugi lahan hingga pengalihan trase maka kontraktor pelaksana yaitu PT Hutama Karya beserta pemerintah daerah harus bekerja lebih keras membebaskan lahan dan membangun jalan.
Persoalan ini membuat Komisaris PT Hutama Karya, Wahyu Muryadi heran atas lambannya pembangunan jalan tol di Sumatera Barat dibandingkan daerah lainnya di Sumatera.
"Saat kami lakukan evaluasi pembangunan Tol Padang-Pekanbaru itu, untuk bisa bertambah lima kilometer saja susahnya minta ampun, sampai berkali-kali rapat tetap tak bergerak," kata Wahyu pada diskusi kelompok terpumpun dengan tema "Win-win Solution Upaya Percepatan Pembangunan Tol Padang-Pekanbaru dan Dampaknya Bagi Perkembangan Ekonomi Sumatera Barat.
Menurut dia, saat ini pemerintah tengah membangun Tol Trans Sumatera dengan panjang 2.700 kilometer yang menghubungkan daerah yang ada di Sumatera dalam rangka menggenjot roda ekonomi berputar lebih cepat.
Ia membandingkan pembangunan tol di Sumatera Barat dengan tempat lain seperti Aceh dan ditemukan fakta, daerah lain relatif cepat dan tidak ada masalah.
Bahkan Presiden Jokowi baru saja melakukan kunjungan kerja meninjau Tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 130 kilometer yang akan diresmikan pengoperasiannya pada akhir April 2020.
"Apa pasal yang terjadi dengan pembangunan tol di Sumatera Barat, ini jadi pertanyaan besar, kami ingin lebih banyak mendengar sebagai upaya menggali apa masalahnya," kata dia.
Mantan Pemred Tempo tersebut juga mengkritik terminologi ganti rugi menjadi ganti untung bagi masyarakat yang lahannya terpakai untuk pembangunan tol.
"Ini bisa jadi pisau bermata dua karena kesannya orang jadi mencari untung dibalik pergantian kerugian secara wajar, dalam prinsip apapun kalau ada penggantian dilarang mencari untung dan harus dengan nilai yang wajar," katanya.
Ia menilai kalau persoalannya hanya soal uang bisa dibicarakan karena urusannya bukan tumpah darah apalagi ini demi kebaikan bangsa. Oleh sebab itu pihaknya ingin mendengar dan menampung aspirasi semua pihak agar ada solusi bersama terkait pembangunan jalan tol.
Realisasi 17 persen
Pimpinan Proyek Tol Padang-Pekanbaru PT Hutama Karya Infrastruktur Ramos Pardede menyebutkan hingga pekan keempat Februari 2020 realisasi pengerjaan tol itu mencapai 17 persen.
"Secara fisik 450 meter pertama sudah berwujud jalan tol kendati belum ada marka, artinya wujudnya sudah kelihatan," ujarnya.
Ia menargetkan pada 2020 akan rampung pengerjaan 4,2 kilometer dengan syarat tidak ada lagi kendala lahan. Setelah 4,2 kilometer sampai kilometer 30 baru akan dilanjutkan jika tanahnya sudah bebas secara simultan.
"Untuk pembebasan lahan merupakan urusan pemerintah daerah dan pihaknya fokus pada pengerjaan konstruksi," katanya.
Faktor utama lambannya pembangunan Tol Padang-Pekanbaru adalah rumitnya pembebasan lahan karena harga ganti kerugian terhadap lahan yang ditetapkan tim penilai tidak sesuai dengan keinginan masyarakat akibat terlalu rendah
Saat masyarakat Kasang melakukan aksi demonstrasi ke Kantor Gubernur Sumbar pada 23 Januari 2019 Koordinator Aksi Mardian heran atas rendahnya nilai ganti rugi.
"Bayar pajak mahal, pas diganti rugi harga lahan tiba-tiba jatuh. Bahkan ada yang diganti hanya seharga satu ekor ayam potong per meter persegi," katanya.
Hal senada disampaikan oleh pihak Padang Industrial Park (PIP) yang menilai harga ganti kerugian yang ditetapkan tim penilai tidak mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
NJOP dari empat hektare lahan PIP yang terkena imbas pembangunan jalan tol adalah Rp335 ribu per meter persegi. Namun harga yang ditetapkan untuk ganti kerugian hanya Rp50 ribu per meter persegi.
Sementara Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit menyampaikan dari provinsi-provinsi di Sumatera tinggal di Sumatera Barat yang belum ada jalan tolnya. Kehadiran Tol Trans Sumatera tersebut penting agar Sumbar tidak ketinggalan dari daerah lain yang ada di Sumatera.
Menurut dia, berlarutnya proses penggantian lahan masyarakat yang terkena pembangunan tol karena persoalan penilaian yang mematok harga terlalu rendah.
"Padahal sebelumnya presiden, menteri dan gubernur sudah menyatakan akan diberikan ganti rugi yang layak dan wajar," kata dia.
Nasrul menceritakan ia sempat mengusir tim penilai karena memberikan harga yang tidak masuk akal dan rendah dari nilai jual objek pajak untuk penggantian lahan warga.
Ia memastikan pembangunan Tol Padang-Pekanbaru sepenuhnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat diminta tidak langsung menolak ketika ada rencana pembangunan serta melihat dulu kajian yang dilakukan dalam pembangunan.
"Membangun tol ini tentu tidak sembarangan juga, ada kajian dari ahli dan juga memiliki analisis untuk dampak lingkungan. Apabila merusak lingkungan tentu tidak akan kita bangun," ujarnya.
Apalagi, katanya menambahkan, Sumatera Barat sangat membutuhkan Tol Trans Sumatera tersebut agar tidak ketinggalan dari daerah lain yang ada di Sumatera.
"Riau, Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara punya tol, sedangkan kita (Sumbar) tidak punya. Jangan sampai kita ketinggalan," katanya.
Solusi jalan tengah
Pengamat ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Syafruddin Karimi menyatakan untuk mempercepat pembangunan Tol Padang-Pekanbaru perlu dicari win win solution guna memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait dampak proyek besar di Sumatera Barat, Syafruddin menyampaikan perlu diberikan ganti kerugian yang adil bagi masyarakat yang lahannya terpakai.
Ia melihat salah satu dampak dari berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar di Tanah Air adalah terjadinya displacement impact atau pemindahan orang-orang yang ada di lokasi.
Menurut standar Bank Dunia dan ADB, orang-orang yang menghadapi displacement impact harus menerima tempat yang lebih baik tidak hanya sekadar kompensasi.
"Jadi orang dipindah kemudian di tempat yang baru harus berkembang dan mendapatkan manfaat pembangunan yang lebih baik," katanya.
Ia menilai konsep ini mesti diterapkan pada masyarakat terdampak pembangunan Tol Padang-Pekanbaru dan ada desain relokasi hingga apa usaha dan profesi yang mereka jalankan setelah di lokasi baru.
"Ini yang disebut win win solution, jadi kalau ada sawah yang jadi sumber penghidupan dijadikan jalan maka harus ada sumber penghidupan baru yang lebih menjanjikan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020