Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi ke-36 secara virtual pada 26 Juni 2020 setelah sebelumnya Vietnam sebagai tuan rumah sempat mengusulkan agar KTT diadakan secara tatap muka.
Walaupun dilaporkan tidak ada isu khusus yang dibahas bersama dalam pertemuan tersebut, setiap kepala negara bebas mengangkat isu apa saja selain isu-isu internal ASEAN.
Isu COVID-19, penyakit menular yang pada awalnya mewabah di Kota Wuhan, China, dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara, menjadi isu penting dalam KTT yang digelar di tengah bayang-bayang krisis ekonomi global.
Terlepas dari urgensi COVID-19 bagi semua negara anggota ASEAN, KTT virtual para pemimpin ASEAN itu sendiri digelar di tengah belum meredanya krisis kemanusiaan Muslim Rohingya di Rakhine State, Myanmar, dan belum tampaknya solusi atas masalah klaim tumpang tindih sejumlah negara atas Laut China Selatan (LCS), kawasan perairan yang belakangan ini semakin memicu rivalitas China dan Amerika Serikat.
Di antara isu-isu non-COVID-19 yang layak mendapatkan perhatian yang memadai dari para pemimpin ASEAN adalah LCS.
Kendati isu LCS ini tidak dilihat sebagai prioritas dalam KTT tersebut, hingga hari ini masih ada tantangan di kawasan LCS.
Laporan-laporan menyebutkan beberapa insiden penerobosan kapal ikan China ke wilayah Malaysia dan Indonesia di dekat LCS sempat terjadi pada Januari lalu. Baru-baru ini dua kapal China juga menyerang dan menyita hasil tangkapan kapal nelayan Vietnam di LCS.
Terkait dengan insiden dengan kapal Malaysia, seorang mantan pejabat tinggi Malaysia mengatakan apa yang terjadi di laut menunjukkan kekuatan asimetris. Kapal-kapal Penjaga Pantai China berukuran lebih besar daripada kapal-kapal perang yang dimiliki Malaysia.
Di antara anggota ASEAN, Hanoi paling vokal dalam penentangannya terhadap klaim dan kegiatan Beijing, diikuti oleh Filipina. Delapan anggota yang tersisa sebagian besar memilih aksi diam. Kalau toh mengeluarkan pernyataan, komentar lebih difokuskan pada pentingnya menghindari dan menjaga stabilitas regional.
Beijing secara diplomatis berdalih kekuatan di luar kawasan tidak senang dengan ketenangan yang ada dan mencoba untuk menimbulkan masalah dan membuat kekacauan.
China mengklaim wilayah di LCS seperti ditunjukkan dengan sembilan garis putus-putus (nine dash lines). Apa yang diklaim China secara otomatis telah mengambil lebih kurang 30 persen laut Indonesia di Natuna, 80 persen laut Filipina, 80 persen laut Malaysia, 50 persen laut Vietnam, dan 90 persen laut Brunei.
Tentu klaim sepihak China tanpa melalui UNCLOS itu pun telah menjadi sengketa dengan beberapa negara anggota ASEAN. Manuver Beijing di wilayah ZEE Natuna, Indonesia, juga merupakan tindakan tidak patuh pada kesepakatan internasional.
Meski Indonesia tak memiliki sengketa wilayah dengan China di LCS, pergerakan kapal-kapal China ke perairan Natuna semakin mengkhawatirkan Jakarta.
Dalam sebuah pesan singkatnya, seorang warga di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, mengkhawatirkan perkembangan di wilayah itu. Begitu juga mereka yang tinggal di Natuna.
Apa yang beberapa waktu belakangan ini terjadi memantik kekhawatiran akan kebangkitan China di bidang ekonomi dan militer karena negara berhaluan ideologi Komunis ini cenderung menerapkan "zero sum game" di LCS ketimbang "non-zero sum game" atau "positive sum game".
Zero sum game adalah kondisi yang menggambarkan bahwa jumlah keuntungan dan kerugian dari seluruh peserta dalam sebuah permainan adalah nol. Artinya, keuntungan yang dimiliki atau didapatkan oleh seorang pemain -- dalam konteks ini negara -- berasal dari kerugian yang dialami oleh pemain lainnya.
Dalam merespons isu LCS dan sikap China yang cenderung "zero sum game", bagaimana Indonesia seharusnya bersikap?
Tentu saja sebagai salah satu anggota dan pendiri ASEAN, Indonesia bisa meminta seluruh anggota perhimpunan regional ini untuk bersatu menentang klaim historis China terhadap sebagian besar wilayah perairan penting bagi perdagangan dunia itu.
Sikap ini menunjukkan solidaritas mengenai penghormatan terhadap hukum internasional terutama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan mekanisme yang diatur oleh Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA).
Yang dibutuhkan sekarang adalah ASEAN yang kuat dan bersatu yang dapat secara efektif mewakili suara para anggotanya. Solidaritas dan soliditas ASEAN itu seharusnya dapat ditunjukkan pada KTT kali ini.
ASEAN telah mengembangkan Tata Perilaku (Code of Conduct/(COC), sebuah kerangka kerja yang dapat menyelesaikan perselisihan dan basis bagi pembangunan kepercayaan. Namun mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, situasi di lapangan, tepatnya di laut, bergerak lebih cepat daripada negosiasi mengenai COC.
Melihat perkembangan yang terjadi tampaknya penerapan dan penghromatan terhadap aturan sudah runtuh. Pembicaraan tentang kode etik untuk mengatur tindakan-tindakan di LCS sudah bertahun-tahun belum menghasilkan apapun sejauh ini.
Piagam PBB dan UNCLOS 1982 memiliki mekanisme yang cukup untuk negara-negara anggota ASEAN melakukan tindakan sesuai peraturan. Cara lain yang ditempuh dengan COC untuk menyelesaikan sengketa teritorial yang kompleks ini juga tampaknya belum berhasil. Proses negosiasi hingga kini sudah ditunda selama lebih enam bulan dan target penutupan COC sebelum 2021 tampaknya semakin sulit dicapai.
Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei sebagai para pihak yang terkait langsung dengan sengketa LCS, serta bisa juga Indonesia dalam konteks perairan Natuna kukuh berkomitmen untuk menjamin hukum internasional yang sudah dan menjadikannya satu-satunya pegangan dalam penyelesaian sengketa itu. Pasalnya, berapa lama lagi harus menunggu COC sedangkan kondisi di lapangan dari hari ke hari dan minggu ke minggu berubah ke arah ketegangan.
Di tengah pandemi global, Indonesia perlu menyerukan ASEAN hendaknya mengeluarkan sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan KTT menghimbau semua pihak yang terlibat di LCS untuk menahan diri, mematuhi hukum internasional, dan mengeluarkan solusi damai atas sengketa regional. Terkait dengan hal ini, deklarasi ASEAN menegaskan bahwa negara-negara memiliki hak untuk melakukan eksplorasi di ZEE mereka tanpa gangguan.
Selain itu, negara-negara anggota ASEAN pun harus terus memperkuat pasukan pertahanan pesisir mereka serta kesadaran dan kemampuan maritim rakyatnya. ASEAN terbuka menerima bantuan pihak-pihak lain untuk meningkatkan ketrampilan awak seperti SAR dan penegakan hukum.
Terlepas dari persoalan bola panas LCS ini, ASEAN tentu tidak dapat menafikan realitas kebangkitan dan kemajuan pesat China di berbagai bidang serta kerja sama perdagangan dan investasi yang sudah berjalan selama ini.
Data menunjukkan, dibandingkan dengan 2017, pada 2018 perdagangan antara China dan ASEAN naik sebesar 14,1 persen menjadi 587,87 miliar dolar AS.
Secara efektif China-ASEAN Free Trade Aggreement telah berjalan sejak 1 Januari 2019. Berdasarkan perjanjian ini, perusahaan-perusahaan dari kedua pihak dapat menikmati tarif yang cukup ringan dan berbisnis dan berinvestasi yang menguntungkan.
Bagi China, ASEAN pun tak bisa dipandang sebelah mata mengingat perhimpunan regional beranggotakan 10 negara ini merupakan mitra dagang ketiga terbesarnya setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir.
*)Mohammad Anthoni, mantan Redaktur Senior LKBN ANTARA
Baca juga: Indonesia dorong negosiasi CoC Laut China Selatan segera dilanjutkan
Baca juga: Penghormatan pada hukum internasional kunci selesaikan isu LCS
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020