Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memperkenalkan pola kemitraan ala petani sawit ke petani karet karena dinilai mampu menekan biaya produksi dan mendongkrak harga jual.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian di Palembang, Selasa, sebenarnya pola ini sudah dilakukan petani karet di Kabupaten Musi Rawas dan Lubuk Linggau.

Hanya saja kelompok kemitraan masih mengantar sendiri hasil produksi karetnya ke pabrik sehingga menanggung ongkos angkut dan susut produksi.

“Dengan pola yang baru ini, pabrik berkewajiban mengambil karet di lokasi petani dengan ongkos angkut dan susut ditanggung perusahaan dan dibayar sesuai KKK yang disepakati dalam perjanjian,” kata Rudi.

Melalui pola yang akan diperkenalkan di seluruh kabupaten/kota di Sumsel ini maka kedua belah pihak akan sama sama diuntungkan, dimana perusahaan dapat kepastian pasokan dan petani dapat kepastian harga.

Untuk tahap awal, lantaran Sumsel sudah memiliki ratusan Unit Penjualan dan Pengolahan Bokar (UPPB), maka Pemprov akan memitrakan UPPB dengan perusahaan karet.

Menurutnya, ini sebagaimana kemitraan antara petani plasma sawit dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan acuan harga pembelian yang sudah ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Provinsi Sumatera Selatan.

Untuk kemitraan antara UPPB dengan perusahaan karet (crumb rubber) ini nantinya diatur sesuai zona dan harga yang mengacu kepada harga yang diolah Dinas Perdagangan dan Gapkindo Provinsi Sumatera Selatan.

Untuk Kadar Karet Kering (KKK) yang akan menjadi acuan pembayaran disepakati antara kedua belah pihak antara UPPB dan perusahaan crumb rubber.

Ia optimistis langkah ini akan berhasil karena sejak lama petani karet di Sumsel didorong bergabung dengan Unit Penjualan dan Pengolahan Bokar (UPPB) karena menawarkan harga yang jauh lebih baik dibandingkan menjual ke pengepul.

Saat ini harga lelang dan harga kemitraan pada 2021 pada tingkat petani sudah cukup baik yakni berkisar Rp10.000—Rp12.000 per Kilogram atau sesuai harapan petani.

Namun yang menikmati harga lelang dan harga kemitraan tersebut baru 22 persen dari total jumlah Kepala Keluarga (KK) petani karet yang berjumlah 590.502 KK.

“Sisanya masih sangat tergantung dari harga pedagang pengumpul. Ini karena sudah ketergantungan/keterikatan antara petani tradisional dengan pedagang pengumpul disebabkan kebutuhan rumah tangga yang mendesak,” kata dia.

Untuk itu, Pemprov Sumsel terus mengenalkan sistem penjualan kemitraan, juga mengenalkan sistem Lelang 4S (Satu lokasi, Satu Mutu, Satu harga dan Satu hari lelang)

Saat ini, pada sistem kemitraan maupun Lelang 4S terdapat perbedaan harga sekitar Rp2.000-Rp4.000per Kg dibandingkan jika menjual ke pengepul.

Walau jauh lebih menguntungkan, pemerintah masih kesulitan untuk mengajak petani bergabung dengan UPPB karena ada upaya pihak tertentu ingin mengurangi aktivitas lelang karet ini dengan membeli karet di luar lelang dengan harga sama dengan harga lelang

Hal ini sudah terjadi di UPPB Sidomakmur Desa Sidomulyo Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Banyuasin, yang mana terjadi pengurangan volume lelang mingguan dari 150 ton menjadi 20 ton.

Terkait ini, Pemprov membantu UPPB mengakses KUR perbankan agar mampu menalangi kebutuhan petani tradisional seperti yang dilakukan para pengepul tradisional.

Sejauh ini luas areal perkebunan karet di Sumatera Selatan mencapai 1.311.442 Hektare dengan produksi 1.164.042 ton karet kering, yang mencakup 590.502 Kepala Keluarga (KK).

 

Pewarta: Dolly Rosana

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021