Kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap korban perempuan maupun anak masih terus terjadi, bahkan trennya menunjukkan peningkatan secara signifikan setiap tahun pada sejumlah daerah termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan.

Melihat kondisi serta desakan berbagai pihak, DPR RI akhirnya mengajukan inisiatif produk hukum melalui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau dikenal RUU TPKS. Namun demikian, butuh waktu lama hingga RUU itu baru saja disetujui untuk dibahas lebih lanjut di parlemen, dengan harapan segera ditetapkan menjadi undang-undang.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Sulsel Rosmiati Sain pun merespons upaya tersebut. Menurut dia, penantian panjang masyarakat atas kehadiran payung hukum mengenai saksi tegas perbuatan dan perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, akan segera terwujud.

"Saat ini RUU TPKS sudah menjadi RUU inisiatif DPR dan merupakan kabar baik bagi kita semua, terutama yang aktif mengadvokasi RUU TPKS ini," papar Rosmiati saat dikonfirmasi ANTARA.

Salah satu jenis kekerasan seksual yang diakomodir dalam draft RUU TPKS itu, kata dia, adalah kekerasan seksual berbasis dalam jaringan (online).

"Selain penanganan dan pemulihan, upaya pencegahan juga akan dimaksimalkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan berbagai literasi, bahan bacaan untuk masyarakat," tuturnya.

Baca juga: Wamenkumham: Daftar Inventarisasi Masalah RUU TPKS berjumlah 588

Secara terpisah, Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir mengungkapkan, kekerasan, pelecahan seksual terhadap perempuan dan anak seperti fenomena gunung es. Penanganan kasusnya pun jarang ditindaklanjuti hingga ke tingkat pengadilan oleh aparat penegak hukum (APH), membuat masyarakat mempertanyakan hak keadilannya.

Haedir pun menyinggung, kendati ada banyak peraturan tentang perlindungan perempuan dan anak, namun dinilai tidak cukup menyelamatkan para korban. Satu sisi korban terus berjatuhan, tetapi di sisi lain negara belum memberikan jaminan hukum, sehingga diperlukan langkah cepat memberlakukan aturan baru seperti RUU TPKS, tentunya didasari masukan dari berbagai pihak.

Koordinator Divisi Hak Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar Resky Pratiwi menambahkan, seiring meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang pengaduan kekerasan terhadap kelompok rentan, ada peningkatan pelaporan. Tercatat, 250 aduan dengan 90 laporan kasus kekerasan yang dialami perempuan, anak, hingga penyandang disabilitas di tahun 2021.

Resky menyebut, 65 persen kasus pengaduan diterima dari para korban yang mengalami kekerasan seksual, disusul 29 persen kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta 6 persen kekerasan fisik terhadap anak.

"Pengaduan yang kami terima, korban mengalami tindak kekerasan lebih dari satu kali. Baik itu istri, mantan istri, anak, hingga pekerja rumah tangga dan masih banyak kasus yang tidak diproses dengan alasan pembuktian, cacat prosedur serta hambatan lain dari APH," beber dia.

Data kekerasan

Data dilansir dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), Kemenpppa.go.id, tercatat Februari tahun 2022, laporan masuk sebanyak 3.690 kasus, 3.424 kasus diantaranya dialami perempuan, sisanya laki-laki.

Secara nasional sepanjang tahun 2019-2021, kasus ini terus meningkat. Pada tahun 2019 sebanyak 11.057 kasus, tahun 2020, sebanyak 11.278 kasus dan tahun 2021 meningkat menjadi 14.517 kasus.

Baca juga: Pemerintah masukkan kawin paksa dan perbudakan seksual di RUU TPKS

Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulsel, jumlah kasus di tahun 2019 sebanyak 1.964 kasus, dan tahun 2020 naik menjadi 1.996 kasus.

Kepala UPT (PPA) Sulsel Meisy Papayungan mengungkapkan, sejak Januari-Februari tahun 2022 kasus KDRT tercatat sudah 40 kasus ditangani DPPA Sulsel.

"Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu tidak hanya terjadi karena masalah ekonomi. Bahkan orang kaya, orang berpendidikan pun bisa saja melakukan kekerasan kepada anggota keluarganya," ujar Meysie.

Sementara data Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Makassar, sepanjang 2021, telah menerima laporan 1.551 kasus. Sebanyak 774 atau 49 persen kasus kekerasan termasuk pelecehan seksual terhadap korban anak-anak.

"Kita berharap penegak hukum menjatuhkan hukuman berat seperti kebiri kimia kepada pelaku, agar tidak mengulangi perbuatannya. Tujuannya, memberi efek jera bagi mereka yang punya penyakit kelainan seksual," tegas Kepala UPTD PPA Makassar Achi Soleman

Untuk data kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021, lanjut Achi, sebanyak 380 kasus, disusul kasus KDRT 184 kasus, anak berhadapan dengan hukum (ABH) sebanyak 98 kasus,
anak korban narkotika dan zat adiktif lainnya (Napza) 22 kasus, anak dengan retardasi mental (RN) 76 kasus, anak dengan situasi darurat 15 kasus dan penyandang disabilitas dua kasus.

Harapan kepastian hukum 

Salah seorang korban KDRT, berinisial M yang melaporkan suaminya berinisial FH (28) terkait kasus kekerasan yang dialami sejak Januari 2022, belum mendapat angin segar dari penanganan kasusnya yang kini ditangani pihak PPA Polrestabes Makassar.

Bahkan saat berada di Rumah Aman milik DPPPA Sulsel, korban tertekan karena kembali mendapat intimidasi dari suaminya yang berprofesi dosen di universitas swasta Makassar, dengan membuat keributan di Rumah Aman itu. Ia lantas berharap, segera mendapat keadilan dan perlindungan hukum.

Baca juga: Wakil Ketua MPR minta pembahasan RUU TPKS segera dilakukan

Begitu pula ibu anak korban kekerasan seksual lainnya berinisial W, yang melaporkan kasus sodomi anaknya pada 28 Januari 2022 dilakukan pelaku berinisial MR (45) dengan modus iming-iming uang Rp10-Rp15 ribu kepada korban untuk kuota bermain game online.

Sejauh ini belum mendapat titik terang pada penanganan kasus anaknya. Pelaku masih bebas berkeliaran meski masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sebab mangkir dari pemanggilan polisi. Ia pun berharap polisi menangkap pelaku serta segera mendapat kepastian hukum.

Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar Inspektur Satu Muhammad Rivai menyatakan, pihaknya tetap menangani sejumlah kasus kekerasan perempuan dan anak. Meskipun sejauh ini kasus-kasus itu masih dalam proses penyelidikan.

"Semua kasus yang dilaporkan tentu kita tindaklanjuti, karena tentu ada proses-prosesnya, pemeriksaan saksi, pengumpulan barang bukti, gelar perkara sampai pada penetapan tersangka hingga dilimpahkan ke pengadilan," katanya.
 

Pewarta: M Darwin Fatir

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022