Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi dikarenakan buruknya pengelolaan wilayah gambut di Provinsi Jambi.
Manager Kajian Walhi Jambi Dwinanto di Jambi, Jumat, mengatakan buruknya pengelolaan wilayah gambut tersebut masih terjadi, bahkan termasuk di wilayah gambut yang berizin.
Saat ini, wilayah gambut berizin tersebut diantaranya dikelola oleh perusahaan perkebunan sawit maupun perusahaan perizinan berusaha pemanfaatan Hutan Tanaman Industri atau HTI setempat.
Ia memastikan prioritas penataan kesatuan hidrologi gambut dengan melakukan evaluasi tata kelola perizinan sangat penting sebagai langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang sangat strategis, khususnya di Provinsi Jambi.
Provinsi Jambi saat ini tercatat memiliki luas lahan gambut mencapai 904.424 hektare atau terluas ketiga setelah Provinsi Sumatera Selatan seluas 2.101.761 hektare dan Riau 5.355.374 hektare.
Meski demikian, berdasarkan analisis data satelit landsat 8 dan sentinel 2, yang juga diperkuat dengan melakukan pantauan lapangan oleh Walhi Jambi, kebakaran hutan dan lahan pada 2019 di Provinsi Jambi mencapai 165.186,58 hektare.
"Dengan komposisi wilayah yang terbakar seluas 114.900,2 hektare yang berada di wilayah gambut," tegas Dwinanto.
Sementara itu, peristiwa kebakaran lahan terjadi 9 Agustus 2023 di Desa Talang Duku Kabupaten Muaro Jambi, juga tidak bisa dipisahkan dengan tata kelola gambut yang terjadi di wilayah tersebut.
Menurut Dwinanto, objek kebakaran lahan masyarakat yang berada di Desa Talang Duku Kabupaten Muaro Jambi, tepat berada di wilayah kesatuan hidrologi gambut Sungai Batanghari tepatnya di sungai Kumpeh.
Penguasaan wilayah tersebut juga telah dikuasai pengelolaannya oleh delapan perusahaan perkebunan sawit dan satu perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan HTI. Tata kelola buruk dilakukan oleh perusahaan dengan melakukan proses pengeringan air gambut di wilayah konsesi.
Kondisi itu dapat mudah memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan pada seluruh wilayah Kesatuan Hidrologi Gambut, baik yang berada di dalam wilayah konsesi perusahaan itu sendiri maupun di wilayah kelola masyarakat yang berada di wilayah sekitarnya.
Ia pun menegaskan upaya pencegahan melalui surat edaran Kepolisian Daerah Jambi tentang larangan melakukan pembakaran terhadap hutan dan atau lahan di wilayah Provinsi Jambi tidak akan cukup.
"Karena hal tersebut tidak bisa menjawab dari akar persoalan terjadinya peristiwa Karhutla," kata Dwinanto lagi.
Menurut dia, jika prioritas pencegahan yang dilakukan tidak dengan menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan industri di wilayah gambut, maka kebakaran hutan dan lahan berpotensi menjadi peristiwa yang terus berulang dengan kerugian besar setiap tahunnya.
Baca juga: Walhi minta upaya selesaikan konflik lahan warga dengan PT FPIL
Baca juga: WALHI sebut ada tiga kerugian yang disebabkan plastik sekali pakai
Baca juga: Walhi menolak Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia Provinsi Jambi
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023
Manager Kajian Walhi Jambi Dwinanto di Jambi, Jumat, mengatakan buruknya pengelolaan wilayah gambut tersebut masih terjadi, bahkan termasuk di wilayah gambut yang berizin.
Saat ini, wilayah gambut berizin tersebut diantaranya dikelola oleh perusahaan perkebunan sawit maupun perusahaan perizinan berusaha pemanfaatan Hutan Tanaman Industri atau HTI setempat.
Ia memastikan prioritas penataan kesatuan hidrologi gambut dengan melakukan evaluasi tata kelola perizinan sangat penting sebagai langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang sangat strategis, khususnya di Provinsi Jambi.
Provinsi Jambi saat ini tercatat memiliki luas lahan gambut mencapai 904.424 hektare atau terluas ketiga setelah Provinsi Sumatera Selatan seluas 2.101.761 hektare dan Riau 5.355.374 hektare.
Meski demikian, berdasarkan analisis data satelit landsat 8 dan sentinel 2, yang juga diperkuat dengan melakukan pantauan lapangan oleh Walhi Jambi, kebakaran hutan dan lahan pada 2019 di Provinsi Jambi mencapai 165.186,58 hektare.
"Dengan komposisi wilayah yang terbakar seluas 114.900,2 hektare yang berada di wilayah gambut," tegas Dwinanto.
Sementara itu, peristiwa kebakaran lahan terjadi 9 Agustus 2023 di Desa Talang Duku Kabupaten Muaro Jambi, juga tidak bisa dipisahkan dengan tata kelola gambut yang terjadi di wilayah tersebut.
Menurut Dwinanto, objek kebakaran lahan masyarakat yang berada di Desa Talang Duku Kabupaten Muaro Jambi, tepat berada di wilayah kesatuan hidrologi gambut Sungai Batanghari tepatnya di sungai Kumpeh.
Penguasaan wilayah tersebut juga telah dikuasai pengelolaannya oleh delapan perusahaan perkebunan sawit dan satu perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan HTI. Tata kelola buruk dilakukan oleh perusahaan dengan melakukan proses pengeringan air gambut di wilayah konsesi.
Kondisi itu dapat mudah memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan pada seluruh wilayah Kesatuan Hidrologi Gambut, baik yang berada di dalam wilayah konsesi perusahaan itu sendiri maupun di wilayah kelola masyarakat yang berada di wilayah sekitarnya.
Ia pun menegaskan upaya pencegahan melalui surat edaran Kepolisian Daerah Jambi tentang larangan melakukan pembakaran terhadap hutan dan atau lahan di wilayah Provinsi Jambi tidak akan cukup.
"Karena hal tersebut tidak bisa menjawab dari akar persoalan terjadinya peristiwa Karhutla," kata Dwinanto lagi.
Menurut dia, jika prioritas pencegahan yang dilakukan tidak dengan menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan industri di wilayah gambut, maka kebakaran hutan dan lahan berpotensi menjadi peristiwa yang terus berulang dengan kerugian besar setiap tahunnya.
Baca juga: Walhi minta upaya selesaikan konflik lahan warga dengan PT FPIL
Baca juga: WALHI sebut ada tiga kerugian yang disebabkan plastik sekali pakai
Baca juga: Walhi menolak Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia Provinsi Jambi
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023