"Kepolisian sedang meneliti apakah dalam kasus ini ada unsur pidananya atau tidak...".
Sikap
tegas Kepolisian Republik Indonesia disampaikan Kepala Polri Jenderal
Polisi Badrodin Haiti ketika ditanya wartawan baru-baru ini tentang
apakah polisi akan turun tangan menangani kasus dugaan pencatutan nama
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya
Novanto dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Kasus
itu terungkap setelah Ketua DPR Setya Novanto bertemu dengan Direktur
Utama PT Freeport Maroef Sjamsoeddin yang adalah seorang jenderal
purnawirawan.
Pada pertemuan Setya dan Maroef itu, juga hadir
seseorang bernama Muhammad Riza Chalid yang disebut-sebut sebagai
pengusaha bidang perminyakan dan "sahabat" atau mitra Setya Novanto.
Sikap
tegas Kapolri tentang kemungkinan Polri ikut menangani kasus ini karena
dugaan Setya menyatakan kontrak pemerintah Indonesia dengan Freeport
yang akan berakhir pada 2020 akan diperpanjang asalkan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla diberi saham perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat
itu, masing-masing 11 dan sembilan persen.
Pertemuan Ketua DPR
dengan pengusaha jenderal purnawirawan itu seketika menjadi pusat
perhatian jutaan orang Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Rupanya pertemuan itu direkam untuk kemudian diterima
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan akhirnya
dilaporkan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan pimpinan Surahman Hidayat.
Seketika itu pula, pembelaan dan kecaman muncul.
"Pertemuan
Pak Setya Novanto itu hanya bersifat omong kosong atau bagaikan
pertemuan di warung kopi," kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang dikenal
sebagai salah satu "rekan" Setya.
Usai pertemuan Koalisi Merah
Putih dengan Setya, lagi-lagi Fadli membela sang rekan dengan
mengatakan, "Kami bisa menerima penjelasan Pak Setya Novanto".
Wakil
Ketua DPR lainnya, Fahri Hamzah, "setali tiga uang" dengan juga membela
mati-matian Setya Novanto. Dia berkata, "eksekutif tidak boleh
mengintervensi legislatif".
Perdebatan sengit pun pecah mengenai
apakah laporan Sudirman Said itu akan disidangkan oleh MKD atau tidak,
dan apakah sidang itu dilaksanakan tertutup seperti biasa atau terbuka
untuk umum sehingga seluruh rakyat Indonesia bisa mendengarkan secara
langsung pembicaraan di MKD itu.
Setelah melewati "debat kusir"
akhirnya sidang dibuka dan dinyatakan terbuka pada Rabu (2/12) dan
dilanjutkan keesokan harinya dengan memanggil Direktur Utama PT Freeport
Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Pertanyaan tak bermutu
Puluhan
juta rakyat Indonesia melalui televisi akhirnya bisa menyaksikan sidang
MKD itu untuk mendengarkan penjelasan Menteri ESDM dan komentar atau
tanggapan para wakil rakyat yang terhormat.
Pertanyaan demi pertanyaan pun terlontar.
Selain
pertanyaan bersifat teknis, juga muncul beberapa pertanyaan tidak lazim
yang beberapa kalangan menyebutnya "tidak bermutu".
"Kenapa Pak Sudirman mau menjadi anak buah Maroef Sjamsoeddin?," tanya seorang wakil rakyat yang terhormat itu.
Menteri ESDM spontan menjawab, "Saya bukan anak buah Pak Maroef Sjamsoeddin".
Jika publik merenungkan dengan tenang pertanyaan dari anggota MKD itu, maka akan sangat terasa ucapan wakil rakyat itu aneh.
Mengapa
aneh? Karena Sudirman Said yang seorang menteri justru "anak buah"
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla.
Yang
justru terlihat kemudian dari wakil itu hanya ingin menguji nyali
Sudirman Said, bukan memverifikasi informasi-informasi yang sudah dia
peroleh. Anggota DPR itu terlihat seperti ingin menguji apakah Menteri
ESDM mampu menghadapi teror mental itu atau tidak.
Ada lagi
pertanyaan lain yang "tidak bermutu" kepada Sudirman, "Apakah mempunyai
surat keputusan presiden tentang pengangkatan saudara sebagai Menteri
ESDM?"
Lalu ada juga pertanyaan yang terlihat memalukan, "Apakah Pak Sudirman datang sebagai pribadi atau sebagai Menteri ESDM?"
Malah
ada satu pernyataan enteng tapi tampak memalukan ketika seorang wakil
rakyat itu berkata, "DPR adalah lembaga tinggi negara".
Wakil
rakyat itu pasti tidak sadar atau tidak tahu bahwa sekarang sudah tidak
ada lagi lembaga tinggi negara seperti pada masa lalu MPR. Yang sekarang
ada adalah "lembaga negara", mulai dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi hingga Presiden.
Menghakimi
Semua
orang di Tanah Air pasti tahu bahwa DPR adalah lembaga negara yang
bersifat politis sehingga anggota-anggotanya bisa memajukan pertanyaan
"apa saja".
Para anggota MKD ini pasti sadar bahwa sidang MKD
hari Rabu itu ditonton oleh jutaan warga, terutama dari televisi. Mereka
kerap terlihat ingin memperlihatkan kehebatan mereka dalam bertanya
atau memojokkan yang ditanya.
Salah satu indikasinya adalah pertanyaan yang diajukan anggota dewan, "apa bedanya arti kata merekam dengan menyadap".
Padahal
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang sudah dan akan terus dipedomani
jutaan rakyat Indonesia terang benderang menerangkan bahwa menyadap
adalah tindakan merekam suara atau gambar tanpa sepengetahuan orang yang
menjadi sasaran.
Tidak sadarkah para anggota DPR itu bahwa
pertanyaan demi pertanyaan yang mereka ajukan sudah seharusnya dibarengi
kesadaran bahwa mereka dan kualitas mereka sedang disaksikan oleh
jutaan rakyat Indonesia.
Yang sangat terlihat justru adalah
hasrat untuk menyudutkan, kalau tidak bisa disebut menghakmi, pejabat
negara yang nota bene bawahan Presiden itu.
Salah satu indikasi
itu terlihat manakala seorang wakil rakyat menyatakan Sudirman Said
patut diduga bagian dari pemburu rente sehingga melanggar undang-undang.
Pernyataan itu spontan membuat Sudirman terusik, lalu berkata, "Saya keberatan dengan tuduhan Yang Mulia."
Manakala
sang wakil rakyat menganulir kalimatnya dengan mengatakan tidak menuduh
Menteri SDM itu, Sudirman langsung memotong, "Yang mulia menuduh
saya..Yang Mulia menuduh saya..dan menghakimi saya telah melanggar
hukum."
Pertanyaan demi pertanyaan segelintir anggota DPR itu
justru memperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa mereka tidak
menjaga kalimat-kalimatnya bisa sama terhormatnya dengan predikat "yang
terhormat" pada diri mereka.
Pemilihan Umum 2019 memang masih
lama, masih empat tahun lagi. Namun sejak sekarang rakyat sudah bisa
melihat tingkat kualitas anggota DPR. Ini akan jadi bekal rakyat dalam
memilih calon-calon mereka untuk periode 2019-2024.
Rakyat
Indonesia sudah semakin pintar, semakin jeli, semakin intelek. Oleh
karena itu, rakyat hampir pasti tak akan mau memilih orang-orang yang
cuma bisa "omong doang" untuk menjadi wakil mereka pada 2019-2024.
Sudirman Said anak buah Maroef Sjamsoeddin?
Kamis, 3 Desember 2015 13:27 WIB
......Saya bukan anak buah Pak Maroef Sjamsoeddin......