Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menyampaikan alasan penyaluran bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen yang hanya berlangsung selama dua bulan pada awal tahun 2025 ditujukan sebagai langkah menahan kenaikan inflasi di kuartal pertama saat penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Sebagai informasi, Pemerintah bakal memberikan bantuan pangan sebanyak 10 kilogram (kg) per bulan yang akan diberikan kepada masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta penerima selama Januari-Februari 2025, serta pemberian diskon biaya listrik sebesar 50 persen selama dua bulan bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2200 VA guna mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.
Desil 1 merupakan kategori kelompok masyarakat miskin atau masyarakat dengan pendapatan paling rendah, sementara desil 2 masih termasuk kelompok berpenghasilan rendah tetapi lebih baik dibandingkan Desil 1.
Kedua kebijakan ini juga diberikan sebagai bentuk insentif di tengah penetapan tarif PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang.
“Januari itu, karena ada Nataru (Natal dan Tahun Baru) biasanya (inflasi) rate-nya lebih tinggi. Yang lain misalnya nanti menjelang lebaran sama nanti di akhir tahun, Natal gitu ya. Sehingga critical nih di kuartal I ini. Kenapa (insentif) dua bulan? Ya tadi kita harapkan pada saat inflasi relatif tinggi, ada bantuan pangan yang backup masyarakat kelas menengah gitu ya. Kemudian juga bantuan diskon listrik. Ini kita harapkan inflasinya terjaga kemudian daya beli yang diciptakan dari bantuan pangan maupun diskon listrik itu kita harapkan jadi leverage untuk pertumbuhan ekonomi di kuartal I,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan dalam media briefing di Jakarta, Selasa.
Selain itu, berdasarkan kalkulasinya, Ferry memproyeksikan bahwa kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tahun depan hanya akan menyumbang tambahan inflasi sebesar 0,3 persen secara tahunan (yoy).
Prediksi inflasi itu juga didukung dengan adanya insentif lain berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk tepu terigu, Minyakita, dan gula industri. Dengan kebijakan ini, tarif PPN pada ketiga barang pokok tersebut tetap sebesar 11 persen meskipun tarif umum telah dinaikkan menjadi 12 persen.
Ferry menilai bahwa kuartal I-2025 merupakan periode krusial karena cenderung menjadi momen penting sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025.
“Jadi kalau kayak mesin idealnya itu di awal udah kita siapkan dorongannya gitu ya. Sehingga inflasinya stabil, pertumbuhan ekonominya bisa terjaga,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa tim pengendalian inflasi akan terus memantau pergerakan harga secara rutin.
Selain pembagian bantuan pangan dan disko tarif listrik, Pemerintah juga bakal memberikan insentif mengikuti penetapan PPN 12 persen tahun depan.
Pemerintah tetap memberikan fasilitas bebas PPN atau PPN tarif 0 persen berkenaan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Barang dan jasa tersebut termasuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum.
Untuk menjaga daya beli, Pemerintah melanjutkan pemberian sejumlah insentif yang telah berlaku sebelumnya seperti PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar dengan dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp2 miliar.
PPN DTP kendaraan listrik (EV) atas penyerahan EV roda empat tertentu dan bus tertentu, Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM) DTP EV atas impor EV roda empat tertentu secara utuh (Completely Built Up/CBU) dan penyerahan EV roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (Completely Knock Down/CKD), serta Pembebasan Bea Masuk EV CBU.
Di samping itu, terdapat juga kebijakan baru yang akan diterapkan oleh Pemerintah untuk masyarakat kelas menengah, mulai dari pemberian PPnBM DTP Kendaraan Bermotor Hybrid, pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Padat Karya dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami PHK, serta disko sebesar 50 persen atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada sektor industri padat karya
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan bahwa beragam insentif itu tidak hanya ditujukan untuk menyasar masyarakat umum, melainkan juga disiapkan stimulus bagi dunia usaha, terutama untuk perlindungan kepada UMKM dan Industri Padat Karya yang merupakan tulang punggung (backbone) perekonomian nasional.
“Insentif tersebut berupa Perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen sampai dengan tahun 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang telah memanfaatkan selama tujuh tahun dan berakhir di tahun 2024,” jelasnya pada Senin (16/12).
Untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.
Pemerintah juga menyiapkan Pembiayaan Industri Padat Karya untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas dengan skema subsidi bunga sebesar 5 persen.